Nasional

Petuah Gus Mus soal Kepantasan Seseorang Berbicara Sesuatu

Sen, 16 Desember 2019 | 05:30 WIB

Petuah Gus Mus soal Kepantasan Seseorang Berbicara Sesuatu

KH Ahmad Mustofa Bisri. (Foto: NU Online/Fathoni)

Jakarta, NU Online
Secara etika keilmuan, kepatutan atau kepantasan seseorang berbicara sesuatu bisa dilihat berdasarkan bidang keahlian atau kepakarannya. Makin tinggi kepakaran seseorang, makin terpercaya ketika orang tersebut berbicara soal keahlian di bidangnya itu.

Namun, kini hal itu seolah tercampakkan begitu saja saking banyaknya orang yang terlalu banyak bicara tentang sesuatu tanpa kepakaran mumpuni sehingga kerap memunculkan kegaduhan dan hoaks. Fenomena tersebut kian menganga seiring berkembangnya berbagai platform media sosial.

Menyikapi fenomena tersebut, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) mengutarakan tentang kepantasan seseorang berbicara sesuatu. Menurutnya, yang lebih pantas berbicara tentang agama, apalagi mengatasnamakan agama ialah yang lebih memahami agama, begitu juga seterusnya di bidang lainnya.

“Menurutku, yang lebih pantas berbicara tentang dan --apalagi-- mengatasnamakan agama, ya mereka yang lebih memahami agama; yang lebih pantas berbicara tentang dan --apalagi-- mengatasnamakan manusia, ya mereka yang mengerti manusia; yang lebih pantas berbicara tentang dan --apalagi-- mengatasnamakan rakyat, ya mereka yang lebih mengenal rakyat,” ujar Gus Mus, Senin (16/12) lewat instagramnya dikutip NU Online.

Dalam postingannya itu, Gus Mus yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyematkan lukisan bergambar Gus Dur dan Mahatma Gandhi karya Djoko Susilo.

Secara eksplisit, Gus Mus tidak menyebutkan keterangan terkait penyematan lukisan Gus Dur dan Gandhi dalam postingannya itu. Namun, melihat peran kedua tokoh bangsa tersebut, Gus Mus ingin menegaskan bahwa perbedaan agama, suku, ras, budaya, dan pemikiran tidak boleh menjadi penghalang untuk memperkuat persaudaraan.

Lewat postingan lukisan Gus Dur dan Gandhi, Gus Mus ingin mengajak kepada seluruh masyarakat agar tetap mengikuti kepakaran seseorang. Apalagi kepakaran tersebut dijalankan dengan gerakan nyata di bidang agama, sosial, budaya, politik dan lain-lain dalam menggerakkan perdamaian bangsa.

Fenomena bahwa orang dengan bebas dan terbuka berbicara tentang apapun tanpa harus memiliki kepakaran kian marak di medsos. Bahkan pada tingkatan tertentu, kepakaran seseorang tidak dipercaya lagi. Mereka lebih mengedepankan emosionalitas ketimbang rasionalitas sehingga disebut Tom Nichols dalam The Death of Expertise (2018) sebagai kelompok antirasionalisasi.

Fenomena itu ditandai dengan meningkatnya emosi di atas nalar sehat dalam debat publik, pengaburan garis antara fakta, pendapat, dan hoaks, serta penolakan terhadap temuan ilmiah perubahan iklim dan vaksinasi.

Di sini, peran internet menjadi sangat penting sebagai agen yang membuat gelombang antirasionalisasi kian deras. Informasi terlampau banyak beredar. Sehingga, pakar yang diterjemahkan Nichols sebagai orang yang paham isu spesifik, punya pandangan otoritatif atas isu dan akurat, menjadi tak punya taring menghadapi gempuran hoaks.

“Internet tak hanya membuat kita semua lebih pintar, tapi juga bodoh. Sebab, internet bukan hanya magnet buat orang yang penasaran, tapi jebakan pula bagi orang yang lugu. Internet mengubah semua orang jadi ahli secara instan,” tulis Nichols (2018: 127).

Menurut Nichols, alih-alih menjadi wadah diskusi cerdas, platform itu justru menjadi tempat pertemuan rentetan pendapat, rumor, ketidakpastian, informasi tak layak, dan diskusi yang tak logis. Orang pun lebih mudah menyerah pada bias informasi ini.

Di sini, pakar menurut Nichols harus turun dari menara gading dan ikut bertanggung jawab agar kelompok antirasionalis ini tak makin menggila. “Kadang obat kegagalan pakar adalah tim pencari fakta yang rekomendasinya dihargai,” tulisnya.

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon