Daerah

Umat Islam Harus Mampu Bedakan antara Ajaran Agama dan Budaya

Sab, 7 Desember 2019 | 14:00 WIB

Umat Islam Harus Mampu Bedakan antara Ajaran Agama dan Budaya

Foto: KH Bukhori Muslim, Dosen UIN Raden Intan Lampung pada Tasyakkuran dan Doa Bersama Rektor Baru Universitas Lampung (Unila) di Bandarlampung, Sabtu (7/12). (Foto: NU Online/Faizin)

Bandarlampung, NU Online
Kehancuran akibat propaganda berkedok agama sudah nyata-nyata terlihat saat ini. Berbagai negara di belahan dunia khususnya di kawasan Timur Tengah porak poranda akibat peperangan yang diawali dari sentimen kelompok dan agama. Libia, Syiria, Yaman dan berbagai negara lainnya cukuplah menjadi contoh bagaimana bahayanya hembusan kebencian yang didasari dengan motif agama memecah belah bangsa.
 
Padahal agama Islam tidak mengajarkan kebencian dan perpecahan. Agama Islam adalah agama yang cinta damai dan penuh dengan kemudahan-kemudahan. Sebagian kelompok yang hobi mempropaganda dengan kedok agama senantiasa menebarkan paham agama Islam itu sulit dan jika seseorang belum meninggalkan dunianya untuk agama, maka agamanya belum sempurna (kaffah).
 
“Nenek moyang bangsa Indonesia bisa menerima Islam karena kemudahan-kemudahan yang ada dalam Islam. Coba kalau Islam ada sedikit saja susahnya, tidak bisa Indonesia menjadi negara yang mayoritas beragama Islam,” demikian ditegaskan KH Bukhori Muslim, Dosen UIN Raden Intan Lampung pada Tasyakkuran dan Doa Bersama Rektor Baru Universitas Lampung (Unila) di Bandarlampung, Sabtu (7/12).
 
Ia memberi contoh kemudahan yang diberikan oleh Islam adalah mengenai menutup aurat. Saat ini banyak orang yang membandingkan antara jilbab yang berfungsi sebagai cara menutup aurat sesuai perintah agama dengan cadar yang hanya merupakan budaya. “(Ada yang menyatakan) jika belum bercadar Islamnya belum kaffah. Yang sunah diwajib-wajibkan,” ungkapnya menggambarkan sebagian masyarakat yang mempersulit diri mereka dalam agama.
 
Saat ini menurutnya, ada fenomena tradisi budaya Nabi sebagai orang Arab dipaksakan sebagai ajaran Islam. Seharusnya menurut Wakil Ketua MUI Provinsi Lampung ini, umat Islam harus bisa membedakan antara budaya Arab dengan ajaran agama Islam. Paham yang membiaskan seperti ini banyak menemui lahan empuk dan mempengaruhi masyarakat yang lemah pengetahuan agamanya. “Dan pada akhirnya mereka dengan entengnya mengkafirkan dan membidahkan seseorang,” katanya.
 
Masalah etika dan akhlakul karimah lanjutnya juga menjadi krisis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Seharusnya umat Islam di Indonesia mencontoh akhlak Nabi yang memang diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Setelah Nabi wafat, ulama lah yang menjadi panutan dan cermin dalam hal akhlakul karimah.
 
“Maka tidak berlebih-lebihan, tolong bapak dan ibu coret dari daftar ulama, kiai, bahkan habib sekalipun kalau ternyata sosok dia tidak mencerminkan akhlak yang mulia,” tegasnya.
 
Jika ada sosok yang mengaku ulama, kiai, ataupun habib yang menyampaikan ceramah dengan bringas dan kasar, bisa dipastikan jamaah akan bubar. Apalagi yang disampaikannya penuh dengan informasi bohong atau hoaks serta memecah belah itu menurutnya sudah merupakan kasus yang ia sebut sebagai mal praktik rohani.
 
“Kalau mal praktik jasmani, masih badan kita yang kena. Tapi kalau sudah mal praktik rohani, neraka resikonya. Tidak main-main,” tandasnya.
 
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Syamsul Arifin