Nasional

Pernikahan Usia Dini Berpotensi Lahirkan Anak Stunting

Jum, 12 Februari 2021 | 04:30 WIB

Pernikahan Usia Dini Berpotensi Lahirkan Anak Stunting

Stunting pada anak salah satunya disebabkan karena perempuan menikah pada usia dini.

Jakarta, NU Online
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengkampanyekan syarat pernikahan pada perempuan minimal berusai 21 tahun. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menegaskan pada usia 21 tahun pertumbuhan tubuh perempuan sudah melewati sempurna.

 

"Bahwa perempuan itu bisa tumbuh normal sempurna, siap untuk hamil umur 20 tahun. Kalau hamil kurang dari 20 tahun perempuan masih (masa) tumbuh, tulangnya masih tambah padat, ada yang masih (berproses) memanjang. Begitu dia hamil kalsium (untuk pertumbuhannya) diambil oleh janin," kata Hasto Wardoyo kepada NU Online, belum lama ini.


Ia menyayangkan ada sebagian pihak yang justru mempromosikan pernikahan usia dini. Ia mengatakan perempuan yang hamil pada umur 16-17 tahun, bertubuh cenderung pendek, dan  mudah bungkuk pada usai 50-60 tahun. "Suaminya tidak tahu ia menghamili perempuan belasan tahun, usai 50-60 tahun jadi bungkuk," ujarnya.

 

Dengan mengkampanyekan usia pernikahan minimal 21 tahun, Hasto berharap, jikapun masyarakat ‘meleset’, ‘melesetnya’ ke usia 20 tahun. Berbeda halnya saat dikampanyekan usia 20 tahun, masyarakat bisa ‘meleset’ ke usia 19 tahun.


Dampak pernikahan usia dini, sebut Hasto, berpengaruh bukan hanya kepada orang tua, dalam hal ini ibu. Namun yang dikhawatirkan terutama jika berdampak kepada bayi, salah satunya adalah stunting. Menurutnya, stunting di mana kondisi bayi yang lahir yang ukurannya di bawah standar normal jumlahnya saat ini masih cukup besar. Angkanya hampir 23 persen dari keseluruhan kelahiran.

 

Bayi yang lahir stunting, ada potensi terhambatnya perkembangan intelektual. “Sudah badan pendek, kecerdasannya kurang. Siapa yang memproduksi bayi? Adalah ibu-ibu atau perempuan hamil. Mau hamil banyak yang tidak sehat, anemia, hemoglobin kurang protein kulit tipis tidak berlemak akibat nikah muda,” terang Hasto.

 

Hasto menyadari, ada sebagian masyarakat yang karena faktor budaya dan sosial misalnya, menganggap usia pernikahan di atas 20 tahun bagi perempuan dianggap usai tua. Karena itu, menurut dia, diperlukan kerja sama semua pihak untuk menumbuhkan kesadaran pencegahan nikah usia muda.

 

“Allah telah memberikan ilmu kepada kita. Ilmu dalam kehidupan ini bagian sunatullah. Dokter mempelajari tubuh manusia. Apa yang dipelajari ini ilmu Allah, bagian kecil yang jika ditulis dengan tinta selautan pun tidak cukup,” kata dia.

 

Peran NU Mencegah Stunting
Nahdlatul Ulama melalui Fatayat NU telah beberapa waktu turut mengkampanyekan pencegahan stunting. Seperti pada awal 2018, Koordinator Program Kampanye Gizi Nasional Cegah Stunting PP Fatayat NU Umi Wahyuni, mengatakan banyak upaya yang dilakukan oleh Fatayat NU, di antaranya membentuk Barisan Nasional Fatayat Cegah Stunting di 8 provinsi dan 13 kabupaten/kota. 

 

Fatayat NU juga terus mengadvokasi para policy makers untuk berpihak kepada masalah kualitas hidup anak Indonesia dengan memasukkan salah satunya isu stunting pada program-program prioritas.

 

Peran semua pihak dan lintas sektor baik dari pemerintah atau non-pemerintah serta pihak swasta seyogianya mau dan bersedia berperan aktif terhadap isu stunting. Sebagai organisasi perempuan yang berbasis keagamaan, Fatayat NU menggandeng para tokoh agama dari lintas iman untuk bersama-sama berikhtiar menanggulangi kasus ini sesuai dengan dalil dan ajaran agama masing-masing. Khusus isu stunting ini, pada awal Agustus 2017 lalu, Fatayat NU telah mengundang pimpinan lintas agama untuk berkomitmen dalam aksi mengurangi angka stunting.

 

Selain soal makanan bergizi yang harus dipenuhi pada 1000 hari pertama kehidupan, faktor keluarga, pola asuh dan lingkungan yang sehat turut menyumbang akan berhasilnya capaian pencegahan stunting. Sanitasi yang higienis, menggunakan jamban sehat, menghindari asap rokok serta perilaku sehat lainnya dapat secara efektif menekan angka stunting.

 

Di lain pihak praktik perkawinan anak yang besar menyumbangkan angka stunting di Indonesia. "Kita miris juga dengan masih tingginya praktik kawin anak di Indonesia. Ketika anak menikah di usia 10-19 tahun dia berpotensi melahirkan anak stunting, dan di sinilah rantai kemiskinan sulit terputus," kata Umi.

 

Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori