Nasional

Eks Ketua MK Sebut Sistem Politik Ketatanegaraan RI Harus Dimodernisasi

NU Online  ·  Sabtu, 23 Agustus 2025 | 12:00 WIB

Eks Ketua MK Sebut Sistem Politik Ketatanegaraan RI Harus Dimodernisasi

Ilustrasi: gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Periode 2003-2008, Jimly Asshidiqie, kembali menyuarakan gagasan terkait perlunya reformasi lanjutan dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia.  


Menurutnya, momentum menuju 100 tahun Indonesia merdeka dan lebih dari dua dekade pasca-Reformasi adalah waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap konstitusi dan struktur kelembagaan negara. Ia mengingatkan bahwa tantangan global dan domestik menuntut perubahan besar.


“Kita harus memodernisasi sistem politik ketatanegaraan kita, ini soal serius sambil kita evaluasi,” tegasnya di hadapan peserta seminar Dialektika Konstitusi: Refleksi UUD NKRI Tahun 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (21/8/2025).


Ia menilai, dengan telah terbentuknya pemerintahan baru dan kekuatan politik yang relatif stabil, inilah saatnya MPR memainkan peran strategis untuk memimpin perubahan. 


“Momentum kepemimpinan Pak Muzani dan kawan-kawan di MPR ini sesudah terbentuknya pemerintahan yang baru relatif sangat kuat, ini saya rasa momentum tepat untuk kita memperbaiki sistem konstitusi kita itu. Jadi jangan cuma urusan GBHN,” ujarnya.


Jimly menegaskan bahwa ia tetap konsisten mendorong agenda perubahan konstitusi, meskipun sudah tidak lagi memegang jabatan. 


“Jadi maksud saya momentum 2025 ini, bagaimana ini? Saya walaupun sudah nggak punya jabatan, saya rajin wara-wiri, saya datang ke partai ini meyakinkan perlunya agenda perubahan transformasi konstitusi gelombang kedua,” jelasnya.


Jimly secara khusus menyoroti struktur lembaga perwakilan seperti MPR, DPR, dan DPD. Ia mempertanyakan arah dan fungsi DPD yang dinilainya belum efektif. 


“Mana ini dari rumusan UUD yang sebetulnya, misalnya tentang struktur MPR, DPR, DPD ini mau gimana, mau kita apakah DPD ini? Kan wujuduhu ka adamihi, adanya kok mirip-mirip dengan tiadanya,” ujarnya.


Tak hanya itu, ia juga menyoroti keberadaan Komisi Yudisial (KY) yang menurutnya belum optimal menjalankan fungsi sebagaimana diharapkan saat reformasi dulu. 


“Komisi Yudisial, ini apa gunanya ini Komisi Yudisial ini? Kalau hanya untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung, bukankah sama kaya Pansel (Panitia Seleksi)?” tanyanya.


Ia menilai, fungsi pengawasan etika terhadap hakim belum sepenuhnya independen karena masih berada di bawah Mahkamah Agung (MA). Dia menyayangkan minimnya perhatian dari para legislator terhadap lembaga yang tidak langsung terkait dengan kekuasaan politik.


“Padahal dulu idenya dia ini menjadi lembaga pengawasan hakim yang tadinya itu internal jadi eksternal, tapi tidak tercapai. Siapa yang mikirin ini?,” katanya.


Dalam praktiknya, lanjut dia, orientasi kerja hakim tetap mengacu pada atasan, bukan pada independensi fungsional masing-masing hakim. 


“Sehingga hakim secara fungsional setiap hakim itu tidak independen. Yang independen strukturnya kekuasaan kehakiman. Tapi hakim masing-masing tidak independen,” ungkapnya.


Menurut Prof Jimly, kasus-kasus korupsi di lembaga kehakiman, seperti tertangkapnya hakim agung, merupakan puncak dari sistem yang belum diperbarui secara serius. 


“Zarof (Zarof Ricar, Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan MA) itu ketangkep itu puncak dari sistem yang tidak baru, gitu loh. Ini soal serius,” ucapnya.


Ia lalu mengungkapkan pengalamannya sebagai anggota Tim Satu Atap di masa lalu dengan misi memperkuat independensi MA. 


“Itulah tim yang menjadikan Dirjen di Kementerian Kehakiman, Dirjen Departemen Agama dipindahkan, tujuannya adalah untuk memperkuat independensi Mahkamah Agung. Tapi nyatanya apa? Tercapai? Tidak,” terangnya.