Nasional

Pakar Pendidikan: Kenaikan UKT Seharusnya Bukan Ditunda, Tapi Dihapus

Jum, 31 Mei 2024 | 20:00 WIB

Pakar Pendidikan: Kenaikan UKT Seharusnya Bukan Ditunda, Tapi Dihapus

Ilustrasi UKT pendidikan tinggi. (Ilustrasi: NU Online)

Jakarta, NU Online 
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menangguhkan rencana kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) setelah masyarakat dan mahasiswa bereaksi di berbagai tempat di samping melalui saluran media sosial di ragam platform. 


Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan menengarai penangguhan kenaikan UKT tersebut bersifat sementara.


"Penangguhan tersebut tentu menggembirakan bagi mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Namun yang harus diwaspadai adalah yang namanya penangguhan itu sifatnya sementara," kata Edi, dalam keterangan singkatnya kepada NU Online, Rabu (29/05).


Edi memprediksi tahun depan kemungkinan UKT akan tetap naik. Akan tetapi, menurutnya yang jadi masalah itu soal kenaikannya, tapi karena kesan kenaikannya yang ugal-ugalan.
 

"Kalau naiknya disebabkan oleh inflasi yang tidak seberapa besar tentu tidak masalah, tapi kalau naiknya drastis dan menutup pintu calon mahasiswa untuk studi lanjut, ini yang masalah," tutur Edi.


Bahkan, ia menilai, batalnya kenaikan UKT menjadi bukti dari kebijakan populis yang sudah melekat dari pemerintahan Jokowi.


Yakni, kata dia, pemerintahan Jokowi tidak ingin dianggap tidak merakyat di akhir pemerintahannya, akhirnya Mendikbud Ristek Nadiem Makarim dipanggil dan diminta untuk membatalkan kenaikannya.


Lebih lanjut Edi menegaskan, bahwa masalah dasarnya bukan kebijakan kenaikan UKT, melainkan kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang secara otomatis menjadikan pemerintah mengurangi porsi pendanaan untuk kampus negeri. 


Permendikbud Ristek No. 2/2024 dalam kasus kenaikan UKT ini, kata Edi, merupakan kebijakan yang memberikan ruang bebas bagi kampus terkait batas bawah dan kelonggaran golongan UKT.


"Harapannya kampus PTN-BH terutama bisa bermain untuk otak-atik besaran UKT agar ada pemasukan lebih untuk menutup anggaran pemerintah yang amat sangat terbatas dan kampus tidak bisa mencari pemasukan dari selain jalur mahasiswa," tambah Edi.


Senada dengan Edi, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid Matraji menyatakan pembatalan kenaikan UKT hanya sekadar upaya meredam aksi protes mahasiswa tanpa mengubah kebijakan fundamental yang mendasarinya. 


Menurut dia, selama UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 tetap berlaku, semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Hal ini yang mengalihkan tanggung jawab pembiayaan pendidikan ke pihak universitas dan menyebabkan tingginya UKT. 


“Selama Permendikbudristek No.2 tahun 2024 tidak dicabut dan PTN-BH tidak dikembalikan menjadi PTN, maka bisa dipastikan, tarif UKT akan kembali naik di tahun 2025,” ujar Ubaid Matraji melalui keterangan tertulis diterima NU Online, Selasa (28/5/2024). 


Karena itu, Ubaid mengimbau agar mahasiswa terus menggelorakan protes terhadap kebijakan UKT yang dianggap tidak berkeadilan ini. 


“Mahasiswa jangan merasa puas dan senang dengan pernyataan Mendikbudristek sebab tahun depan akan kembali naik dan mahasiswa lama juga dipastikan akan terkena imbasnya,” kata Ubaid. 


Ubaid menyebut kebijakan pemerintah saat ini menunjukkan arah yang jelas untuk mempertahankan status PTNBH, yakni melakukan agenda komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Hal ini berarti biaya pendidikan tinggi tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, tetapi diserahkan pada mekanisme pasar. 


"Anggaran pendidikan sebesar 665 triliun di APBN 2024 itu sangat mungkin dan leluasa untuk dialokasikan dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Tetapi perlu diketahui hal ini tidak mungkin dilakukan jika kebijakan pemerintah pro pada komersialisasi dan lliberalisasi pendidikan tinggi," jelasnya.