Nasional

UKT Mahal, LPTNU Dorong Pemerintah Perjelas Posisi PTN sebagai Pelayanan Publik, Bukan Ladang Bisnis

Sel, 14 Mei 2024 | 15:00 WIB

UKT Mahal, LPTNU Dorong Pemerintah Perjelas Posisi PTN sebagai Pelayanan Publik, Bukan Ladang Bisnis

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Polemik kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) tak kunjung kelar usai pendidikan tinggi berganti status menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). Perubahan status tersebut membuat PTN berupaya sebanyak-banyaknya meraup biaya, salah satunya dari mahasiswa seiring dengan makin mahalnya operasional pendidikan.


Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan Tinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPT PBNU), M. Faishal Aminuddin, menekankan kepada pemerintah agar memperjelas keberpihakan bahwa PTN merupakan bagian dari pemenuhan pelayanan publik. Faishal menilai, PTN seharusnya memprioritaskan keterjangkauan bagi masyarakat luas.


"Pemerintah perlu menegaskan keberpihakannya bahwa PTN adalah bagian dari pemenuhan pelayanan publik, dan bukan memaksa menjadikannya entitas bisnis. Idealnya PTN, entah PTN-BH, BLU atau Satker bentuknya, memprioritaskan aspek keterjangkauan terhadap masyarakat luas. Bukan berlomba-lomba menjadikan dirinya sebagai kampus 'elite' yang memasang harga tinggi untuk pelayanannya," kata Faishal kepada NU Online, Selasa (14/5/2024).


Ia mendorong pemerintah bisa lebih tegas dalam menjaga keseimbangan antara kemandirian PTN dan tugas utamanya sebagai penyedia layanan pendidikan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.


"Jika hal tersebut terjadi pada perguruan tinggi swasta (PTS), tidak menjadi masalah karena yang berlaku adalah hukum pasar. PTS yang bermutu tinggi membutuhkan biaya yang juga besar. Masyarakat bisa memilih untuk masuk PTS dengan membayar lebih mahal. Namun hukum pasar tidak tepat jika dilekatkan pada kasus PTN," katanya.


Faishal menilai, hampir semua PTN-BH mematok UKT yang relatif mahal. Munculnya gejolak di beberapa PTN-BH, kata dia, bisa disebabkan oleh berbagai hal misalnya, daya beli masyarakat mulai mengalami penurunan sehingga definisi "mahal" menjadi bergeser.


"Itu jika muncul di PTN-BH yang semula adem ayem meski UKT-nya sudah tinggi sejak sebelumnya. Bagi PTN-BH yang semula UKT nya tidak pernah naik karena statusnya belum PTNBH, namun setelah PTN-BH tiba-tiba naik drastis," ungkap dosen di Fakultas Ilmu Politik Universitas Brawijaya (Unibraw), Malang, Jawa Timur tersebut.


Faishal menjelaskan bahwa kenaikan UKT di PTN yang baru berubah status menjadi PTN-BH, sering mengejutkan calon mahasiswa. Mereka sebelumnya menganggap kampus tersebut masih terjangkau.


"Misalnya, dalam kasus Unsoed. Mereka sudah lama tidak menaikkan UKT dan setelah menyandang status PTN-BH, mulai dinaikkan. Ini yang membuat kaget dari semula yang 'murah', tiba-tiba menjadi 'mahal' tanpa melalui proses adaptasi 'terjangkau' lebih dulu," jelasnya. 


Faishal juga menyoroti perbedaan status PTN yang terdiri dari PTN-BH, Badan Layanan Umum (BLU), dan Satuan Kerja (Satker). PTN-BH, yang dianggap bisa menghidupi dirinya sendiri, dinilai semakin didorong untuk mencari pendanaan dari masyarakat lantaran subsidi pemerintah semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan PTN-BH harus menanggung biaya operasional yang tetap seperti gaji pegawai, pengadaan barang dan jasa, pemeliharaan infrastruktur, dan biaya operasional lainnya.


"PTN-BH akhirnya membuka semua potensi pendanaan dari luar seperti membuka berbagai program studi, penerima mahasiswa baru dalam jumlah besar dan menaikkan biaya kuliah semaksimal mungkin," paparnya.