Nasional

Masjid Istiqlal Siapkan Fasilitas untuk Difabel saat Shalat Idul Adha

Sen, 5 Agustus 2019 | 11:45 WIB

Jakarta, NU Online
Masjid Istiqlal Jakarta akan meningkatkan layanan keagamaan bagi jamaah, khususnya para penyandang disabilitas. Komitmen tersebut rencananya ditunjukkan pada gelaran shalat Idul Adha pada 11 Agustus 2019 di masjid nasional ini.
 
Syamsuddin HA, Wakil Kepala Bidang Riayah Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal (BPPMI), mengatakan, Masjid Istiqlal sesungguhnya sudah menyediakan sarana bagi para tunadaksa, khususnya sejak ada bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008. Sarana itu meliputi lift khusus dan tempat wudhu khusus.
 
“Sayangnya peruntukkan layanan tersebut belum maksimal. Dan kadang tidak terpakai ketika shalat Id karena Pintu ar-Rahman (untuk akses kaum difabel) seringkali diharuskan steril oleh protokol Istana karena kunjungan presiden atau wakil presiden,” ujarnya.
 
Pada 10 Dzulhijah 1440 Hijriah kali ini akses tersebut diusulkan dibuka. Tak hanya itu, Masjid Istiqlal juga akan menyediakan penerjemah dalam bahasa isyarat bagi para tunarungu untuk bisa mengakses materi khutbah. Syamsuddin menyadari, sebagai masjid terbesar se-Asia Tenggara, Masjid Istiqlal punya tanggung jawab memberi contoh bagi masjid-masjid lain di Indonesia.
 
Hal demikian ia sampaikan di sela-sela acara diskusi terbatas “Masalah-masalah Aktual Bidang Paham Keagamaan Islam” yang digelar Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama di Jakarta, Senin (5/8).
 
Dirjen Bimas Islam Kemenag Muhammadiyah Amin mendorong komitmen layanan bagi kaum difabel ini terealisasi dengan maksimal. Ia berharap tak menjadikan kendala biaya sebagai alasan karena akses beribadah secara nyaman adalah hak setiap umat, termasuk untuk mereka yang punya keterbatasan secara fisik.
 
“Gebrakan ini mesti diviralkan biar menjadi teladan bagi masjid-masjid provinsi. Dan saya minta, ini menjadi program tahunan. Bahkan kalau bisa diteruskan tiap Jumat,” imbaunya.
 
Tak Cukup dengan Rukhsah
 
Bahrul Fuad, salah satu tim penulis buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas” yang diterbitkan LBM PBNU, menambahkan, selama ini fiqih menempatkan kaum difabel pada kategori orang sakit (marîdl). Karena itu, layak bagi mereka menerima rukhsah atau dispensasi dalam hal ibadah. Misalnya, boleh bertayamum, shalat sambil duduk, tidak ikut shalat Jumat, atau lainnya.
 
“Masalahnya, kalau marîdl kan temporer. Sekarang sakit, besok bisa jadi sudah sembuh. Sementara kita-kita ini (kelompok difabel) permanen. Kalau rukhshah (keringanan), mau sampai kapan?” kata pria yang akrab disapa Cak Fu ini.
 
Menurutnya, pendekatan yang digunakan mestinya adalah kesetaraan hak. Pada kasus penyandang tunarungu, misalnya, bukan hanya soal sah atau tidak saat ia tak mampu mendengar khutbah, tapi kapan mereka dipenuhi hak-haknya untuk bisa mengakses khutbah tersebut sebagaimana umat Islam kebanyakan.
 
“Negaralah yang memiliki kewajiban memberi akses layanan tersebut kepada kelompok ini,” tuturnya.
 
Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah aktivis antara lain dari Majelis Taklim Tuli Indonesia (MTTI), Deaf Muslim Community (DMC), Lakpesdam PBNU, dan sejumlah subdit di lingkungan Bimas Islam. (Mahbib)