Risalah Redaksi

Memberi Ruang Kelompok Disabilitas untuk Mengabdi dan Berkreasi

Sab, 3 Agustus 2019 | 13:45 WIB

Memberi Ruang Kelompok Disabilitas untuk Mengabdi dan Berkreasi

Ilustrasi dari sampul buku "Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas" terbitan LBM PBNU

Kegagalan drg Romi Syofpa Ismael menjadi PNS di Kabupaten Solok Selatan menjadi perhatian publik dikarenakan kondisinya sebagai penyandang disabilitas, sekalipun ia lulus dengan nilai terbaik dalam ujian tersebut. Kemauannya untuk bersuara mampu menarik perhatian publik sampai akhirnya pemerintah mengembalikan haknya sebagai PNS, tetapi banyak orang dengan kondisi yang sama dengannya tak mampu bersuara. Mereka hanya bisa pasrah menjalani nasib.

Menjadi penyandang disabilitas merupakan tantangan yang berat karena banyaknya tekanan yang harus dihadapi, serta kebijakan dan fasilitas yang kurang mendukung. Apa yang dialami oleh drg Romi hanya sebagian dari masalah yang dialami oleh para penyandang disabilitas. Dengan segala keterbatasannya, mereka harus bersaing dengan orang-orang yang memiliki fisik sempurna. Sementara jumlah ketersediaan pekerjaan yang ada jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pelamar. Dengan demikian, jika tidak diberlakukan afirmasi khusus, akan susah bagi para penyandang disabilitas untuk mengakses pekerjaan sesuai dengan keahlian atau ketrampilan yang mereka miliki. Sayangnya, belum banyak yang menyediakan jalur afirmasi ini. 
    
Ketidaksempurnaan fisik pada sebagian orang merupakan bawaan lahir. Namun, ketidaksempurnaan tersebut bisa menjadi pendorong untuk mengukir prestasi dan memberi kontribusi kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan perbaikan kehidupan manusia. Banyak kisah inspiratif yang dilakukan oleh mereka, salah satunya adalah kreativitas dari Anjas Pranomo, mahasiswa penyandang disabilitas di Universitas Brawijaya Malang yang mampu menciptakan sejumlah aplikasi yang diperuntukkan bagi kelompok disabilitas. 

Keberadaan penyandang disabilitas sudah ada sejak zaman dahulu. Abdullah ibn Ummi Maktum merupakan sahabat Rasulullah yang sejak lahir mengalami kebutaan. Ia menjadi salah satu muadzin bersama Bilal. Bahkan surat Abasa ayat pertama hingga enam belas diturunkan terkait dengannya. Hal ini menunjukkan adanya perintah untuk memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya.

Nahdlatul Ulama telah membahas masalah disabilitas dalam munas yang berlangsung di Lombok pada tahun 2017. Dalam keputusan tersebut, Islam memandang bahwa semua manusia memiliki kedudukan setara, termasuk para penyandang disabilitas. Yang membedakan manusia satu dengan lainnya adalah tingkat ketakwaannya. 

Dalam Islam, disabilitas dipandang sebagai sebuah ujian, tinggal bagaimana mereka memandang kondisinya. Penyandang disabilitas juga memiliki kewajiban untuk menjalankan ibadah dan memiliki hak atas fasilitas publik, karena itu NU mendorong fasilitas ibadah dan dan fasilitas publik ramah terhadap kebutuhan kelompok disabilitas. 

Kelompok disabilitas menghadapi banyak tantangan berat di Indonesia mengingat banyak fasilitas publik belum memberikan dukungan agar mereka dapat mengakses dengan mudah tanpa bantuan orang lain. Susah sekali bagi mereka untuk pergi dengan transportasi publik seperti bus umum atau kereta. Fasilitas untuk mereka belum tersedia secara komprehensif. Di stasiun atau terminal sudah tersedia kursi khusus untuk kelompok disabilitas tetapi akses untuk menuju tempat ini bukan hal yang mudah. 

Tempat ibadah juga belum ramah bagi penyandang disabilitas. Sebagian besar masjid tampaknya belum menyediakan jalur khusus bagi pengguna kursi roda. Bahkan dikabarkan beberapa masjid menolak pengguna kursi roda masuk di dalamnya karena kekhawatiran lantai masjid terkena najis dari roda-roda yang memutari beragam benda di jalanan.

Akibatnya, banyak penyandang disabilitas yang hanya terdiam di rumah karena lingkungan yang kurang mendukung akses mereka. Mereka menjadi orang yang terlupakan dari masyarakat. Bahkan banyak keluarga yang menganggapnya sebagai sebuah beban. Hal ini tentu saja semakin menambah tekanan psikologis. Mereka adalah makhluk yang membutuhkan dukungan sosial dan mental seperti manusia biasa lainnya. 

Saat ini sudah terdapat kebijakan sekolah inklusi, yaitu menyatukan tempat pendidikan bagi siswa normal dan siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Hal ini merupakan sebuah kemajuan yang layak diapresiasi. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi seperti ketersediaan guru yang mampu memahami dan mengajar siswa dengan kebutuhan khusus tersebut. Pola pendidikan dengan mengarahkan mereka untuk mandiri sangat penting. Menanamkan nilai bahwa mereka juga mampu mandiri dan melakukan sesuatu yang bermakna. Bukan dengan membuat mereka selalu tergantung kepada pihak lainnya. 

Perilaku masyarakat juga cukup beragam. Ada yang bersedia membantu dengan sukarela tetapi tak jarang, banyak yang cuek atau bahkan menyerobot fasilitas umum yang seharusnya diperuntukkan bagi mereka. Dalam budaya tertentu, perlakuan buruk terhadap disabilitas bisa mengakibatkan kualat. Karena itu, mereka memperlakukan penyandang disabilitas dengan baik. Orang takut keluarga atau keturunannya mengalami hal yang sama. Tetapi keyakinan ini didasarkan pada ketakutan, bukan upaya untuk memberdayakan mereka. 

Menumbuhkan kesadaran bahwa kelompok disabilitas merupakan bagian dari masyarakat kita dan kemudian mendorong serta memfasilitasi mereka untuk berkembang sesuai dengan bakat dan minatnya akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri sekaligus membuat mereka mampu mandiri dan berkembang. Sejarah membuktikan, keterbatasan fisik tidak menghalangi mereka untuk berprestasi dan memberi kontribusi yang besar kepada masyarakat dan peradaban dunia. Dengan adanya perkembangan pendidikan, infrastruktur, dan teknologi tentu semakin besar peluang mereka untuk berkreasi. (Achmad Mukafi Niam)