Jakarta, NU Online
Saat puasa, umat Islam harus menahan diri dari segala hal yang membatalkannya, seperti makan dan minum. Menelan ludah sendiri tidak menjadi bagian yang dapat merusak atau membuat puasa tersebut menjadi batal. Hal tersebut dengan catatan air liur tersebut masih murni belum tercampur apa pun.
Namun, menjadi pertanyaan saat ludah tersebut bercampur dengan darah, bagaimana hukum puasanya?
Kemunculan darah dari gusi dalam mulut memang kerap terjadi. Hal demikian terkadang tetiba saja tertelan bersamaan air liur tanpa sengaja.
Menjawab pertanyaan di atas, Ustadz M Ali Zainal AbidinĀ menyampaikan bahwa hal tersebut dapat dihukum batal puasanya. Sebab, liur yang ditelannya tidak lagi murni, bahkan bercampur dengan najis. Pandangannya ini ia dasarkan pada pendapat Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitabnya, Asnal Mathalib.
āJika seseorang menelan air liurnya yang masih murni maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya, meskipun air liurnya ia kumpulkan (menjadi banyak). Dan menelan air liur dapat membatalkan puasa ketika air liurnya terkena najis, seperti seseorang yang gusinya berdarah, atau ia mengonsumsi sesuatu yang najis dan mulutnya tidak ia basuh sampai masuk waktu subuh. Bahkan meskipun air liur (yang terkena najis) warnanya masih bening. Begitu juga (puasa menjadi batal ketika menelan) air liur yang bercampur dengan perkara suci yang lain, seperti orang yang membasahi dengan air liur pada benang jahit yang ditenun, lalu air liurnya berubah warna,ā demikian tulis Ustadz Ali menerjemahkan penjelasan Syekh Zakariya sebagaimana dikutip NU Online dari artikelnya berjudul Hukum Ludah Tertelan Ketika Gusi Berdarah Saat PuasaĀ pada Rabu (12/3/2025).
Meskipun demikian, Ustadz Ali memberikan catatan tambahan, bahwa jika darahnya mengalir terus, maka orang tersebut harus berupaya untuk mengeluarkan semampunya. Namun jika masih terdapat bekas darah dan sulit menghindarinya sehingga tertelan bersama air liur, maka puasanya dihukumi tidak batal.
Pendapat demikian ia merujuk pada kitab Asna al-Mathalib. Syekh Zakariya dalam kitab tersebut mengutip pandangan Imam al-AdzraāI yang menyebut gusi berdarah yang terus-menerus sehingga sulit dihindari itu ditoleransi.
ā(sebab) tidak ada jalan untuk menuntutnya agar membasuh darah ini pada seluruh waktu siang, sebab kenyataannya darah ini terus-menerus mengalir atau meresap, dan terkadang ketika dibasuh justru darah gusi semakin bertambah mengalir,ā demikian tulis Ustadz Ali mengutip al-AdzraāI yang termaktub dalam Asna al-Mathalib.
Pandangan serupa juga diutarakan Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj. Jika menghindari darah gusi merupakan hal yang tidak mungkin karena kesulitannya maka dimaaf atau tidak sampai membatalkan puasanya.
āDan sangat jelas sekali bahwa dihukumi maāfu (tidak batal) bagi orang yang menelan air liur yang bercampur dengan darah gusinya. Sekiranya tidak mungkin baginya untuk menghindari (munculnya) darah,ā tulis Ustadz Ali Zainal mengutip Syekh Ibnu Hajar al-Haitami.
Adapun ukuran darah gusi yang dimaaf itu adalah jika intensitasnya lebih sering ketimbang tidak munculnya darah tersebut.Ā
āYang dimaksud dengan āterkena cobaan berupa mengalirnya darah gusiā adalah sekiranya munculnya darah ini lebih sering. Sekiranya jarang sekali tidak munculnya darah (dalam mulut) pada dirinya,ā tulis pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember itu mengutip pandangan Syekh Sulaiman al-Bujairami dalam Hasyiyah al-Bujairami.
Terpopuler
1
Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
2
Kronologi 3 WNI Tertangkap di Gurun Pasir Hendak Masuk Makkah, 1 Orang Meninggal
3
Prof Masud Said Ungkap Peran KH Tolchah Hasan dalam Pendidikan hingga Kebangsaan
4
Alasan Tanggal 11-13 Dzulhijjah Disebut Hari Tasyrik dan Haram Berpuasa
5
Gus Yahya: Ketegasan dan Konsolidasi Internasional Kunci Wujudkan Solusi Palestina-IsraelĀ
6
7 Hal yang Perlu Diperhatikan dalam RUU Sisdiknas bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Terkini
Lihat Semua