Ramadhan

Menelan Air Liur yang Bercampur Darah Gusi saat Puasa

Sen, 13 Mei 2019 | 06:15 WIB

Fenomena munculnya darah gusi dalam mulut adalah hal yang sering terjadi pada masyarakat. Kondisi ini sering menjadi kendala bagi keberlangsungan aktivitas keseharian, terlebih di saat menjalankan ibadah Ramadhan. Bahkan darah itu kadang tiba-tiba tertelan bersama dengan air liur kala menjalankan ibadah puasa. Hal demikian jelas menimbulkan kebimbangan tersendiri. Masihkah ibadah puasanya dihukumi sah dengan menelan air liur yang bercampur dengan darah gusi? Atau puasanya langsung dihukumi batal seketika itu juga?

Ditegaskan dalam mazhab Syafi’i bahwa menelan air liur adalah sesuatu yang tidak sampai membatalkan puasa jika air liur yang tertelan adalah air liur yang murni tanpa tercampur apa pun, baik itu perkara yang suci ataupun perkara najis. Sebaliknya, jika air liur sudah tidak murni lagi, tapi telah tercampur dengan perkara yang suci, seperti ingus misalnya. Atau tercampur dengan perkara najis, seperti darah gusi, maka menelan air liur dalam keadaan demikian adalah hal yang dapat membatalkan puasa. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Asna al-Mathalib:

لو (ابتلع ريقه الصرف لم يفطر ولو بعد جمعه ويفطر به إن تنجس) كمن دميت لثته أو أكل شيئا نجسا ولم يغسل فمه حتى أصبح وإن ابيض ريقه وكذا لو اختلط بطاهر آخر – كمن فتل خيطا مصبوغا تغير به ريقه

“Jika seseorang menelan air liurnya yang masih murni maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya, meskipun air liurnya ia kumpulkan (menjadi banyak). Dan menelan air liur dapat membatalkan puasa ketika air liurnya terkena najis, seperti seseorang yang gusinya berdarah, atau ia mengonsumsi sesuatu yang najis dan mulutnya tidak ia basuh sampai masuk waktu subuh. Bahkan meskipun air liur (yang terkena najis) warnanya masih bening. Begitu juga (puasa menjadi batal ketika menelan) air liur yang bercampur dengan perkara suci yang lain, seperti orang yang membasahi dengan air liur pada benang jahit yang ditenun, lalu air liurnya berubah warna” (Syekh Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, Juz 5, Hal. 305)

Namun demikian, batalnya puasa ketika menelan air liur yang bercampur dengan gusi dalam referensi di atas rupanya tidak berlaku secara umum. Sebab hukum di atas dikecualikan dalam satu kasus, yakni ketika seseorang terkena cobaan berupa mengalirnya darah gusi secara terus-menerus, atau darah gusi ini mengalir pada sebagian besar waktu yang digunakan untuk menjalankan ibadah puasa. Maka dalam keadaan demikian, hal yang wajib baginya adalah mengeluarkan darah semampunya, jika ternyata masih terdapat bekas darah yang sulit untuk dibuang atau sulit untuk dihindari (yasyuqqu al-ihtiraz) lalu tertelan bersamaan dengan air liurnya maka hal demikian tidak sampai membatalkan puasa, seperti yang dijelaskan dalam syarah dari referensi di atas:

ـ (قوله كمن دميت لثته) قال الأذرعي لا يبعد أن يقال من عمت بلواه بدم لثته بحيث يجري دائما أو غالبا أنه يتسامح بما يشق الاحتراز عنه ويكفي بصقه الدم ويعفى عن أثره ولا سبيل إلى تكليفه غسله جميع نهاره إذا الفرض أنه يجري دائما أو يترشح وربما إذا غسله زاد جريانه .

Kesimpulan yang sama juga dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:

“Imam al-Adzra’i berkata: “tidak jauh untuk diucapkan bahwa seseorang yang sering dikenai cobaan berupa gusi berdarah yang terus mengalir atau pada umumnya waktu (puasa) maka ditoleransi (ma’fu) kadar (darah gusi) yang sulit untuk dihindari, cukup baginya untuk membuang darah tersebut dan di hukumi ma’fu bekas darah yang tersisa. (sebab) tidak ada jalan untuk menuntutnya agar membasuh darah ini pada seluruh waktu siang, sebab kenyataannya darah ini terus-menerus mengalir atau meresap, dan terkadang ketika dibasuh justru darah gusi semakin bertambah mengalir” (Syekh Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 5, hal. 305).

ـ (أو) ابتلعه (متنجسا) بدم أو غيره وإن صفا (أفطر) ؛ لأنه بانفصاله واختلاطه وتنجسه صار كعين أجنبية ويظهر العفو عمن ابتلع بدم لثته بحيث لا يمكنه الاحتراز عنه

“Atau seseorang menelan air liur yang terkena najis dengan sebab terkena darah atau cairan lain, meskipun berwarna bening, maka hal demikian dapat membatalkan puasa, sebab dengan terpisahnya air liur, bercampurnya air liur dan terkena najisnya air liur, maka air liur tersebut seperti benda lain. dan sangat jelas sekali bahwa dihukumi ma’fu (tidak batal) bagi orang yang menelan air liur yang bercampur dengan darah gusinya. Sekiranya tidak mungkin baginya untuk menghindari (munculnya) darah” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, juz 13, hal. 332).

Sedangkan yang dimaksud dengan orang yang terkena cobaan berupa seringnya munculnya darah gusi pada pengecualian di atas, yakni sekiranya darah gusi yang mengalir  lebih sering terjadi pada dirinya dibanding dengan tidak munculnya darah tersebut. Dalam hal ini Syekh Sulaiman al-Bujairami menjelaskan:

والمراد بالابتلاء بذلك أن يكثر وجوده بحيث يقل خلوه عنه

“Yang dimaksud dengan ‘terkena cobaan berupa mengalirnya darah gusi’ adalah sekiranya munculnya darah ini lebih sering. Sekiranya jarang sekali tidak munculnya darah (dalam mulut) pada dirinya” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami, juz 1, hal. 410)

Bagi orang yang tidak dalam kriteria di atas, maka ketika ia benar-benar tahu bahwa ada darah gusi yang ia telan, maka puasanya dihukumi batal, walaupun komponen darah gusinya hanya sedikit. Berbeda ketika ia tidak merasakan tertelannya darah gusi yang bercampur dengan air liur yang masuk pada tenggorokannya, misalkan ia hanya sebatas ragu-ragu apakah air liur yang tertelan bercampur dengan darah gusi atau tidak, maka dalam keadaan ini puasanya tetap dihukumi sah, seperti yang ditegaskan dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyaah al-Kuwaitiyyah:

ومذهب الشافعية والحنابلة : الإفطار بابتلاع الريق المختلط بالدم ، لتغير الريق ، والدم نجس لا يجوز ابتلاعه وإذا لم يتحقق أنه بلع شيئا نجسا لا يفطر ، إذ لا فطر ببلع ريقه الذي لم تخالطه النجاسة

“Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpandangan bahwa menelan air liur yang bercampur dengan darah dapat membatalkan puas, hal ini disebabkan berubahnya air liur, sedangkan darah adalah benda najis yang tidak boleh untuk ditelan. Jika tidak benar-benar nyata bahwa dirinya telah menelan sesuatu yang najis, maka tidak dihukumi batal puasanya, sebab menelan air liur yang tidak tercampur najis adalah hal yang tidak membatalkan puasa” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan, Mausu’ah al-Fiqhiyaah al-Kuwaitiyyah, juz 28, hal. 64)

Sedangkan jika darah gusi hanya sebatas tampak pada sela-sela gigi atau menempel pada gusi tanpa mengalir ke bagian lain, dan tidak sampai tertelan dalam tenggorokan maka hal demikian jelas tidak sampai membatalkan puasa, namun sebaiknya darah tersebut cepat dibersihkan dengan berkumur lalu membuangnya, agar tidak tertelan dalam bagian tenggorokannya. 

Walhasil, menelan air liur yang bercampur darah gusi adalah hal yang dapat membatalkan puasa, kecuali bagi orang yang terkena cobaan berupa keluarnya darah pada gusinya secara terus-menerus atau pada sebagian besar waktu puasanya. 

Sehingga sebaiknya bagi orang yang mengetahui gusinya berdarah, maka sesegera mungkin agar membersihkannya dengan cara berkumur atau cara lain yang dapat menghilangkan darah gusi tersebut. Hal ini tak lain dilakukan agar menghindari tertelannya darah tersebut menuju tenggorokan yang jelas-jelas dapat membatalkan puasanya. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember