Internasional HAJI 2022

Menyambangi Pasar Hewan An’am, Penyedia Kambing untuk Hewan Kurban dan Dam

Jum, 24 Juni 2022 | 13:00 WIB

Menyambangi Pasar Hewan An’am, Penyedia Kambing untuk Hewan Kurban dan Dam

Pasar Hewan An’am. (Foto: MCH)

Makkah, NU Online
Idul Adha di Indonesia identik dengan penyembelihan hewan kurban dan pelaksanaan ibadah haji. Di Indonesia, menjelang Idul Adha, para penjual hewan kurban dadakan bertebaran di mana-mana untuk mencari peruntungan. Di Jabodetabek atau kota-kota lainnya, mereka membuat lapak di pinggir-pinggir jalan. Orang yang berminat dapat memilih-milih hewan sesuai kriteria yang dikehendakinya.


Di kota suci Makkah, Idul Adha merupakan bulan yang paling sibuk dengan kedatangan jutaan jamaah haji dari seluruh dunia. Selain penyembelihan hewan kurban, sebagian jamaah haji juga menyembelih kambing atau unta sebagai pembayaran dam karena pilihan haji tertentu, karena adanya pelanggaran, atau ada wajib haji yang ditinggalkan. Jika hewan kurban dapat disembelih di mana saja, hewan dam, semuanya harus disembelih di tanah Haram.


Keberadaan pasar hewan menjadi krusial sebagai penyedia hewan-hewan yang akan disembelih, baik untuk qurban atau dam. Untuk mengenal lebih banyak tentang proses ini, tim media center haji (MCH) Kementerian Agama RI yang sedang melakukan peliputan haji mengunjungi pasar hewan An’am, yang lokasinya sekitar 15 kilometer dari Masjidil Haram berdasarkan pemeriksaan aplikasi Google Map pada Kamis (24/06/2022). Namun daerah ini dikenal sebagai kilo asy’ariyah atau kilometer  10 dari kota Makkah. Mungkin perbedaan jarak ini tergantung dari pengambilan titik jaraknya. NU Online yang menjadi bagian tim MCH turut berkunjung ke area tersebut.


Awalnya kami diinformasikan bahwa pasar ini disebut sebagai pasar hewan Kakiyah yang terkenal dari zaman dahulu, namun ternyata pasar tersebut lokasinya tidak di situ dan sudah digusur. Ketika kami bertanya kepada petugas, mereka menyebut pasar ini An’am dan kami pun semakin yakin dengan adanya papan bertuliskan Anam dalam huruf Arab dan latin. An’am dalam bahasa Arab berarti hewan.


Kunjungan ini penting sebagai bagian dari peliputan karena jamaah haji Indonesia menggunakan model haji tamattu’, yaitu memisahkan haji dengan umrah. Namun sebagai konsekuensinya, jamaah  haji mesti membayar dam dengan menyembelih seekor kambing. Ada 100 ribuan jamaah haji asal Indonesia yang akan membeli kambing sehingga sangat relevan untuk mengetahui lebih jauh soal kondisi hewan ternak di Arab Saudi.


Tak seperti pasar hewan di Indonesia yang umumnya hanya beroperasi pada pagi hari, ternyata pasar ini tetap buka hingga sore hari. Dengan diantar oleh Pak Abdurrahman, sopir Indonesia yang menjadi mukimin, kami meluncur ke tempat yang lokasinya tidak jauh dari checkpoint masuk kota Makkah dari Jeddah. Jalanan mulus dan lalu lintas lancar menjadikan perjalanan dari kantor daerah kerja Makkah hanya memerlukan waktu sekitar 15 menitan.


Begitu mobil masuk pasar yang terdiri dari beberapa blok, para penjual segera menghalangi laju mobil. Beberapa orang ngotot berdiri di depan dan samping mobil sehingga kendaraan susah bergerak. Suara keras dan keagresifannya dalam menawarkan dagangan membuat kami terkejut. Untung Pak Sopir tampak sudah pengalaman mengendalikan situasi seperti ini. Bahkan ketika sopir memutuskan untuk mencari tempat berteduh, ada seorang pemuda jangkung berkulit hitam yang terus mengejar rombongan kami. Ia pun terus menerocos dalam bahasa Arab, sekalipun kami sudah menjelaskan kedatangan ini bukan untuk membeli hewan.


Terik panas khas daerah gurun yang menyengat menemani keberadaan para jurnalis yang ikut dalam rombongan. Suhu udara berkisar 36-38 derajat celcius. Suhu yang sudah sangat panas untuk ukuran Indonesia, tapi masih cukup bersahabat untuk situasi di Arab Saudi ketika musim panas yang rata-rata suhunya bisa mencapai 42-43 derajat celcius dan puncaknya dapat mendekati 50 derajat celcius.


Kami pun berteduh di area pemotongan hewan, yang lokasinya masih satu area, namun berbeda blok. Kondisinya lumayan bersih dibandingkan dengan tempat pengumpulan kambing yang penuh kotoran, bau, atau bekas makanan hewan yang tersisa. Tak perlu heran, namanya pasar hewan, di mana-mana akan selalu seperti itu. Tak ada pepohonan yang dapat menjadi peneduh atau minimal membuat pandangan mata sedikit lebih segar. Bukit gersang tak jauh dari pasar tampak kokoh sebagai pembatas pasar di bagian belakang; sementara di depannya, jalan raya lebar di mana mobil-mobil melaju kencang. Lokasi ini jauh dari pemukiman.


Sepanjang mata memandang dari lapak-lapak penjual, hanya ada kambing dan domba dengan berbagai jenisnya. Terdapat kambing kacang, sebagaimana banyak ditemui di Indonesia. Ukurannya jadi tampak kecil dibandingkan dengan domba-domba Arab yang gendut dan berbulu tebal. Selain domba berbulu putih, ada pula domba berwarna coklat muda, namun ukurannya tidak terlalu besar. Yang juga terlihat membedakan dengan di Indonesia, ekornya berbulu tebal, menjuntai ke bawah hampir menyentuh tanah. Tampak menggemaskan untuk dielus-elus.


Umumnya kambing-kambing yang dijual terlihat lincah dan gemuk. Tak terlihat kambing dengan tulang-tulang menonjol dengan perut buncit akibat kurang makan. Namun kami sempat melihat seekor kambing berukuran kecil yang mati di area sebelum depan sebelum masuk ke ruang penjagalan.   


Beberapa teman keheranan melihat kambing yang menurut saja ketika digiring menuju ke tempat penyembelihan. Ketika dikeluarkan dari kandang, domba maupun kambing tersebut tetap berada dalam gerombolan. Seperti rombongan bebek yang digiring oleh pengembalanya, puluhan kambing yang dikeluarkan dari kendang tidak memisahkan diri atau panik, lalu berlarian ke sana-ke mari sebagaimana kambing di Indonesia. “Kambingnya sekolahan,” celetuk seorang jurnalis TV yang ikut rombongan ketika kami mengobrol soal perilaku kambing itu. Kami pun tertawa.


Kambing atau domba dikumpulkan sesuai dengan ukurannya. Pak Dur yang lancar berbahasa Arab membantu kami berkomunikasi dengan salah satu pedagang. Untuk kambing kecil ukuran 10 kiloan, dijual 250 riyal (950 ribuan). Yang 15 kiloan dibanderol 300 riyal (1,14 jutaan), sedangkan yang berukuran 30 kiloan dihargai 500 riyal (1,9 jutaan). Untuk ukuran 15 kiloan, sudah cukup pantas disembelih. Yang harga 500 riyal, sudah seperti kambing bandot di Indonesia. Pak Abdurrahman yang sudah lama di Arab Saudi menyampaikan, harga hewan akan naik drastis sampai puncak musim haji. “Baru turun ketika jamaah haji sudah pada pulang,” tuturnya.


Pak Dur, panggilan yang kami sematkan kepada pria asal Madura juga membantu melobi penjaga supaya kami diizinkan untuk melihat proses pemotongan kambing. Lokasi pemotongan hewan dalam area tertutup. Kondisinya bersih, tidak ada kotoran yang tertinggal di area itu. Sebelum disembelih, kambing-kambing digulingkan secara berjejeran, lalu seorang jagal mulai menggorok bagian leher kambing-kambing itu, sambil kakinya menginjak lehernya. Tak banyak perlawanan dari kambing yang meregang nyawa. Selang-selang air yang berjejeran digunakan untuk menyemprot kambing yang habis disembelih.


Setelah benar-benar mati, kulit kambing bagian paha disayat, lalu digantung di sebuah kaitan dari besi untuk kemudian diambil dagingnya. Prosesnya berlangsung sangat cepat. Sudah menjadi rutinitas yang dilakukan oleh para jagal. Sangkur pisau tergantung di pinggang para jagal. Untuk setiap pemotongan kambing, biaya yang dikeluarkan 60 riyal atau sekitar 228 ribu dengan asumsi kurs 1 riyal sama dengan 3.800 rupiah.


Dari perbincangan singkat dengan para pedagang kambing di sana, sebagian merupakan Muslim asal Mali, sebuah negara di Afrika. Beberapa anak juga terlihat di sana, salah satunya adalah Ali yang sedang belajar hadits di Masjidil Haram. Ia ikut membantu pamannya di pasar tersebut karena sekolahnya sedang libur pada musim haji.


Seorang pengawas berseragam usia paruh baya pun menyapa kami dengan ramah. Ia mengaku orang tuanya berasal dari Malaysia. Beberapa kosa kata bahasa Melayu yang sama dengan bahasa Indonesia diucapkannya.


Arab Saudi atau negara-negara di Timur Tengah, sejak dahulu identik dengan hewan-hewan ternak seperti kambing dan unta. Bahkan Rasulullah pernah pula menjadi penggembala. Tradisi itu terus hidup hingga kini, di tengah modernisasi dan kemajuan teknologi. Hewan ternak menjadi sumber protein, juga menjadi bagian penting dalam ritual agama Islam. Makanan-makanan khas di  Arab banyak yang memiliki komponen daging sebagai bahannya. Pasar hewan, menjadi pusat distribusi, antara mereka yang ingin menjual dan membeli.


 
Pewarta: Achmad Mukafi Niam

Editor: Aiz Luthfi