Wawancara

Ironi Negara Agraris, Petani Terus Terkikis

Jum, 13 Juli 2018 | 02:45 WIB

Ironi Negara Agraris, Petani Terus Terkikis

Agus Sunyoto (Foto: NU Online)

“Petani itulah penolong negeri.” Dawuh pendiri NU KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) tersebut menunjukkan bahwa peran petani di Indonesia sangat penting dalam menyediakan bahan makanan setiap hari.

Namun, peras keringat, banting tulang, dan kerja keras mereka tidak pernah terbayar lunas dengan yang namanya keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Karena mereka lebih sering didera kerugian saat menjual hasil panennya.

Indonesia yang dijuluki negara agraris juga dihadapkan pada fenomena punahnya pertanian yang sesungguhnya mempunyai filosofi dan kearifan lokal yang tinggi. Karena hampir sudah tidak ada generasi muda yang tertarik untuk bertani.

Tradisi lumbung padi yang mempunyai nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong di tengah masyarakat juga saat ini sudah tidak lagi menjadi tradisi.

Dari problem-problem di atas, lalu seperti apa kebijakan pemerintah serta pendidikan di universitas dengan fakultas pertaniannya? Berikut wawancara jurnalis NU Online Fathoni Ahmad dengan Budayawan sekaligus sejarawan Agus Sunyoto beberapa waktu yang lalu:

Bagaimana Anda melihat fenomena petani di Indonesia?

Iya. Di kampung saya itu, orang satu kampung, pekerjaannya tani. Identitas pekerjaan di KTP itu tani, tani, tani. Tapi sudah tidak ada yang punya tanah. Mereka sekarang hanya buruh tani karena tanahnya sudah dibeli real estate, sudah dibeli pabrik, habis.

Jadi dua tiga tahun lagi, sawah di belakang pesantren saya itu bakal dibangun perumahan. Karena lahan di sekelilingnya sudah dibangun perumahan. Tinggal nunggu saja, sawah sudah habis, petaninya gak punya tanah.

Dahulu anak petani mewarisi lahan pertanian, tapi untuk sekarang?

Dahulu anak petani mewarisi lahan pertanian, saat ini tidak ada karena petani di desa sudah tidak mempunyai tanah. Saya itu tahun 1995 rencana mau bangun sekolah, sekolah menengah pertanian. Tanggapan teman-teman saya, loh kalau bisa jangan bikin sekolah pertanian, kita ini anaknya petani, sudah gak terlalu tertarik dengan pertanian.

Kita tahu, orang tua kita itu rugi terus. Saya ingat tahun 1995, Ketua Ansor Kediri Abu Muslih itu orang tuanya petani. Ketika kita bincang tentang pertanian, dia sudah menggunakan pemikiran modern. Dia ngomong ke ibunya: mak, kita punya sawah 500 meter persegi. Dari luas tersebut, diitung sewa tanah setahun berapa.

Kemudian membayar tukang yang nyangkulin tanah, nggarem, beli bibit, setelah itu beli pupuk. Lalu beli insektisida, termasuk membayar orang yang bertanam itu. Nanti setelah panen, membayar yang manen padi, setelah itu dijual, itu tahun 1995.

Dengan luas 500 meter persegi, setelah dihitung, rugi 50.000 rupiah. Itu belum dihitung ongkos tenaga, dan lain-lain. Muslih bicara ke emaknya. Mak, ini kita rugi 50.000. emaknya hanya menjawab enteng, lah iya, dari dulu memang petani itu rugi. Cuma kalau kita ngikutin untung-rugi, nggak bakal ada lagi orang yang bertani. Jadi sekalipun rugi, petani itu harus tetap ada.

Tradisi petani dahulu bertani bukan untuk dijual, bagaimana anda melihat ini?

Iya, sebagian aja dijual. Dan kebanyakan petani dahulu menjual hasil panen karena terpaksa. Dia kan sudah diutangi sama pengijon itu. Jadi ya petani itu tengkulak-tengkulak itu. Nah itu namanya sudah keterlaluan, kalau sampai masyarakat yang tinggal di wilayah yang subur, di mana Indonesia itu tidak ada gurun pasir, semuanya menghasilkan makanan.

Kalau sampai ada yang kelaparan, sudah keterlaluan. Jazirah Arab itu gurun pasir, satu-satunya sumber daya alam mereka minyak, itu juga bisa makmur kok. Lah Indonesia, minyak ada, emas ada, tembaga banyak, uranium, alumunium, timah, semuanya ada di sini. Hasil laut, hasil hutan, dan lain-lain, berlimpah Indonesia itu. Keterlaluan kalau masih ada yang kelaparan.

Bagaimana sistem pendidikan dengan jurusan pertaniannya?

Dunia pendidikan sangat ironi dengan keadaan pertanian dan nasib para petani saat ini. Banyak yang dari jurusan pertanian justru tidak pernah terjun ke sawah. Malah tidak sedikit yang kerja di Bank dan kantor, tidak ada kaitannya dengan pertanian. Tidak jarang pendidikan pertanian malah justru merusak.

Kenapa generasi muda sekarang tidak tertarik dengan profesi pertanian?

Iya, karena mereka jug merasakan bapak-ibunya rugi terus setiap panen hasil tani mereka. Bahkan kadang tidak cukup untuk membayar utang pupuk, dan lain-lain.

Mindset yang harus dibangun seperti apa agar pertanian tetap bertahan?

Kita harus bertani dengan melihat konteks dan potensi lokal. Misalnya di daerah timur Indonesia, itu produk pertanian besar adalah sagu. Tapi sejak zaman orde baru diubah, orang timur harus makan beras.

Akhirnya ketika pasokan beras berkurang, cadangan sagu yang ada di timur terbengkalai, kenapa? Masyarakat sudah tidak bisa mengelola sagu. Sudah tidak biasa makan sagu. Akhirnya muncullah fenomena kelaparan di Papua, dan macam-macam.

Tentang fenomena lumbung padi yang seolah sudah punah?

Fenomena lumbung sudah habis sekarang. Misalnya di pesantren saya itu, ketika anak-anak MI diajari lagu-lagu daerah, judulnya lumbung desa, itu tanya, yang namanya lumbung itu apa? Karena sekarang sudah tidak ada lumbung. Di situlah tragisnya sudah tidak ada lumbung.

Sekarang setiap rumah, orang yang agak kaya itu punya yang namanya rice cooker. Sudah, itu bukan budaya kita.
Dulu, ada lumbung desa, lumbung dusun, setiap orang kaya itu ada lumbung padi di depan rumahnya. Persediaan bahan makanan. Bahkan di pinggir rumah-rumah di kota-kota besar masih menyediakan kendi berisi air minum di depan rumahnya. Itu sampai tahun 1980-an saya masih melihat di jalanan kota Surabaya.

Jadi orang yang lewat tidak perlu meminta minum, orang kehausan langsung minum air di kendi di situ. Orang zaman dulu begitu, sekarang sudah hilang, nggak ada tradisi itu. 

Apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan kearifan lokal berupa pertanian itu?

Ya semuanya sudah berubah. Artinya kalau sudah begitu pendidikan harus diubah. Pendidikan kita kan pendidikan Barat, pendidikan sekuler, menciptakan buruh, bukan menciptakan petani yang mandiri.

Bisa dijelaskan filosofi lumbung padi?

Lumbung merupakan salah satu pertahanan pangan masyarakat. Muncul berawal dari kebersamaan. Jadi misal terjadi paceklik, nggak sampai kekurangan pangan karena ada persediaan.

Fenomena rugi terus-menerus dari seorang petani?

Faktor tersebut yang menjadi sebab generasi penerus pertanian tidak ada. Karena ia tahu keluarganya rugi terus. Ini karena patokan harga bibit, gak jelas, harga pupuk gak jelas, insektisida, dan lain-lain semuanya tidak jelas.

Giliran nanti setelah panen harga ditentukan, harga padi kering giling sekian. Sudah, gak boleh lebih. Itu sudah ketidakadilan. (*)