Tokoh

Mengenal KH Abi Sudjak, Pendiri NU Sumenep Madura

Ahad, 11 Juni 2023 | 08:00 WIB

Mengenal KH Abi Sudjak, Pendiri NU Sumenep Madura

Makam Syekh KH Abi Sudjak di Sumenep, Madura. (Foto: NU Online/Firdausi)

Sebelum mengenal lebih dalam sosok KH Abi Sudjak, muassis (pendiri) NU Sumenep, terlebih dahulu Nahdliyin mengenal almaghfurlah KH Muhammad Ilyas Syarqawi yang pertama kali mendapat mandat dari Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari untuk memimpin NU di tingkat cabang.


Kepemimpinannya yang berlangsung selama 3 bulan, jabatannya diberikan kepada temannya KH Abi Sudjak Pengasuh Pondok Pesantren Asta Tinggi Banasokon, Desa Kebonagung, Kecamatan Kota, Sumenep, Jawa Timur. Diberikannya jabatan itu karena Desa Guluk-Guluk berada di pedesaan yakni 23 kilometer arah barat Kota Sumenep. Sedangkan kediaman Kiai Abi Sudjak berada di jantung Kota Sumenep.


Nasab Kiai Abi Sudjak
Syech al-'Alawiyah KH Abi Sudjak lahir pada tahun 1885. Ia putra dari pasangan KH Djamaluddin dan Nyai Hj Siti Shalehah. Ayahnya putra dari KH Moh Maghfur bin KH Muhammad Aqib (Kiai Anjuk) bin Syekh Abd Manan (Bhuju' Kosambi). Secara nasab, Kiai Anjuk merupakan keturunan kelima dari Kiai Abdul Allam, Prajjan, Camplong, Sampang yang garis silsilahnya sampai ke Sunan Giri (Generasi ke-4).


Ibu Kiai Abi Sudjak putri dari KH Thalabuddin atau kakak kandung dari KH Zainal Arifin Tarate Sumenep yang silsilahnya bersambung dengan Sayyid Abdul Karim (Bhuju' Bhalang) bin Syits bin Abdul Alim bin Kunita bin Zainal Abidin (Sunan Cendana Kwanyar, Bangkalan).


Sebagaimana dalam buku silsilah pesantren Tarate, Kiai Abi Sudjak menikah dengan Nyai Hj Siti Fatimah binti Kiai Zainal Arifin. Pasangan ini dikaruniai putra-putri, yaitu KH Moh Munir, Nyai Hj Makki (istri mendiang KH Usymuni bin Kiai Zainal Arifin bin Kiai Thalabuddin), Nyai Hj Mas'udah, Nyai Hj Rukhaniyah, Nyai Hj Tal'atit Badriyah, Nyai Hj Muti'atur Rahbiniyah, Nyai Halisyah (Ny Enca).


Salah satu putranya yang mirip dengan Kiai Abi Sudjak, yakni Kiai Munir. Beliau aktivis NU dan politisi nasional. Pengabdiannya pada jam'iyah dibuktikan dengan keterlibatannya dalam pembangunan gedung PBNU di Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat.


Gedung PBNU yang megah itu, sebenarnya berdiri di atas tanah wakaf Kiai Munir. Banyak yang tidak tahu kepemilikan tanah tersebut, karena kediaman Kiai Munir kala itu berhadap-hadapan dengan kantor PBNU.


Pasca Nyai Fatimah wafat (istri pertama), Kiai Abi Sudjak menikah kembali dengan santrinya asal Pandian yang bernama Nyai Hj Zainah, putri dari Nyai Syarifah binti Kiai Mansyur bin Kiai Laisudin (Laok Sok-sok Kebonagung). Dari perkawinannya dikaruniai keturunan, Ny Hj Mashudatun, KH Baqir, KH Ziddiq.


Nyai Zainah dikenang oleh Nahdliyat di Sumenep. Pasalnya, beliaulah Ketua Muslimat NU pertama di Sumenep. Tak heran, saat berkunjung ke kediamannya di Banasokon, tampak jelas papan atau plang Muslimat NU di gedung tua yang tak berpenghuni lagi. Di pesantren Asta Tinggi ia mengenalkan Islam Aswaja An-Nahdliyah. Tongkat estafet selanjutnya dijalankan oleh putrinya yang bernama Nyai Mashudatun.


Riwayat pendidikan
Berdasarkan penuturan KHR Suharto Winata cucu menantu Kiai Abi Sudjak atau suami dari Ny Hj Sri Kurnia binti Kiai Aziz Arif Tarate, masa kanak-kanak Kiai Abi Sudjak dihabiskan mengenyam ilmu agama pada ayahnya di pesantren Asta Tinggi. Sejak kecil gemar mengikuti pengajian ke berbagai tempat, salah satunya di pesantren Loteng Kota, Sumenep yang kala itu diampu oleh raja.


Kemudian, ia melanjutkan ke Pesantren Karay Ganding, Sumenep, yang saat itu diasuh oleh Kiai Imam. Diketahui, kecerdasan Kiai Abi Sudjak mengalahkan santri lainnya. Hingga pada akhirnya sang guru menulis nama Kiai Abi Sudjak di dinding pesantren menggunakan bekas singkong bakar yang hangus terbakar. Tulisannya adalah ‘Abi Sudjak Wali.’


Tanda-tanda kewalian Kiai Abi Sudjak yang tampak di pesantren itu membuat sang guru memondokkan ke Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Saking tawadhu dan takzimnya pada guru, Kiai Abi Sudjak rela menemani Syaikhona Kholil ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji tanpa bekal apa pun. Di sanalah ia menyiapkan segala kebutuhan guru sambil menuntut ilmu pada ulama ternama.


Gelar "Syekh" yang tertera di maqbarah-nya, pemberian dari Syekh Malik yang sudah lama menetap di Makkah dan getol mentransfer keilmuan pada ulama-ulama Nusantara. Berikut pernyataan Syekh Malik yang diceritakan KHR Suharto Winata. "Wahai Kiai Kholil, khadim kamu (Kiai Abi Sudjak) adalah Syekh."


Setelah dinyatakan tamat oleh Syaikhona Kholil, ia melanjutkan perjuangan ayahnya di Pesantren Asta Tinggi. Dari sinilah beliau mensyiarkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah atas instruksi Syaikhona Kholil pada seluruh santri dan masyarakat.


Khidmah di Jam'iyah
Kiai Abi Sudjak mendapat restu dari PBNU dan dikeluarkannya SK kepengurusan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada tahun 1930-an, ia menggelorakan dakwahnya dari perkotaan, pedesaan, dan kepulauan.


Dakwahnya tidak kaku itu diterima oleh masyarakat pesisir yang notabene abangan, khususnya di Desa Pinggir Papas, Kalianget, Sumenep. Petik Laut dan Nyadar yang dihelat setiap tahun oleh masyarakat pesisir kini diyakini sebagai kebudayaan.


Dakwahnya yang dikenang warga adalah ia aktif di setiap kegiatan kemasyarakatan. Sebut saja kumpulan shalawat Diba'i setiap malam Jumat Pahing dan kumpulan Sarwah di Kebonagung. Keberhasilan syiar ke-NU-an ini, tidak lepas atas kedekatannya dengan KHR As'ad Syamsul Arifin Sukorejo dan KH Abdul Hamid Pasuruan yang dirajut saat nyantri di Bangkalan. Dari sanalah beliau mendapatkan masukan dari ulama masyhur di tanah Jawa.


Kealiman Kiai Abi Sudjak diakui pula oleh pamannya, Kiai Zainal Arifin. Setiap berkunjung ke Pesantren Tarate, pamannya memilih tidak mengajar. Ia memberikan kitab yang diampu kepadanya dengan alasan Kiai Abi Sudjak sudah sampai pada maqam-nya. Jadi, pengajian kitab kuning yang biasa dihelat pada hari Ahad pagi, diampu oleh Kiai Abi Sudjak jikalau berkunjung ke Tarate.


Berkat kealimannya, banyak santri menjadi ulama kharismatik. Sebut saja Kiai Abd Aziz, Kiai Mursaha, Kiai Abd Rahman, Kiai Abdullah (muassis Pesantren Mathaliul Anwar Pangarangan Sumenep). Ada pula santri yang berasal dari luar Madura, yaitu Jember, Bondowoso, Situbondo, Besuki, dan Banyuwangi.


Karya Kiai Abi Sudjak
Sebagai sosok alim, Kiai Abi Sudjak aktif dalam literasi. Hanya saja di masa lalu tak dikenal dengan sebutan literasi digital. Abuya menulis kitab Sirajul Bayan li Nawaziliz Zaman. Kitab ini menjelaskan tentang akidah, syariat dan muamalah yang seharusnya diamalkan oleh masyarakat yang notabenenya bermazhab Syafi'i. Penulisannya berbentuk dialog. Ada pertanyaan dan jawaban yang berdasarkan dalil naqli dan aqli.


Diketahui, buku ini ditulis untuk menjawab problem masyarakat yang tak bisa dipecahkan. Pada Bab I, membahas tentang hukum maulid nabi yang dihelat setiap bulan Rabiul Awal. Bab II membahas fungsinya doa, padahal sudah ada qadha dan qadar. Bab III membahas hukum bertawasul dan memohon syafaat.


Bab IV membahas hukum ziarah kubur, membaca Al-Qur'an di kuburan dan mengucapkan salam pada ahli kubur. Bab V membahas hukum tabarruk atau ngalap barakah pada para ulama. Bab VI membahas hukum ruqyah dan azimat. Bab VII membahas tentang bersedekah atau menghadiahkan makanan pada jamaah. Juga menghadiahkan tahlil dan doa pada ahli kubur.


Kitab Sirajul Bayan li Nawazili Zaman itu sudah lama ditulis oleh Kiai Abi Sudjak. Tampak jelas dalam sampul buku bahwa buku itu dicetak oleh NU di Surabaya 1187 H. Kini, kitab tersebut diampu oleh KH Hafidzi Syarbini, pengasuh Pesantren Darul Istiqamah Batuan, untuk diajarkan kembali kepada alumni dan masyarakat setiap malam Jumat Legi di Pesantren Asta Tinggi.


Menurut Rais PCNU Sumenep itu, Kiai Abi Sudjak merupakan sosok yang mati-matian memperjuangkan NU atas perintah guru. Pengabdiannya total pada jam'iyah dan negara. Selain pengamal Tarekat Alawiyah, beliau tercatat sebagai Ketua Laskar Sabillah dari kalangan santri.


Pesantrennya yang berada di perbukitan, tidak hanya menjadi candradimuka-nya ilmu keagamaan, tetapi dijadikan markas pejuang kemerdekaan. Banyak kalangan pengurus NU, santri, dan laskar dibekali ilmu bela diri, kekebalan, latihan menggunakan senjata. Bahkan, Abuya terlibat dalam mengijazahi seorang laskar agar kebal dari senapan dan senjata tajam.


Pada tahun 1948, Kiai Abi Sudjak berpulang pada usia 63 tahun. Jenazah almarhum dikebumikan di kompleks pemakaman Asta Tinggi, tepatnya di Pesantren Asta Tinggi Kebonagung, Sumenep, Madura.


Kontributor: Firdausi
Editor: Musthofa Asrori