Tokoh

Haji Purwa, Orang Sunda Pertama Naik Haji

NU Online  ·  Rabu, 4 Juni 2025 | 17:01 WIB

Haji Purwa, Orang Sunda Pertama Naik Haji

Ka'bah dalam karya Snouck Hurgronje (Foto: Sothebys)

Pada setiap musim haji, masyarakat Nusantara turut berdatangan ke Tanah Suci untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Terdapat sebuah pertanyaan, dari keberadaan agama Islam yang sudah ratusan tahun eksis di Nusantara, siapa orang Nusantara pertama yang menunaikan ibadah haji? Siapa orang Nusantara pada generasi awal periode Islamisasi yang pertama mengunjungi Baitullah? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Sumber-sumber historis yang bisa diverifikasi terkait hal itu sangatlah minim, kalau tidak dikatakan tidak ada.


Meski demikian, pada persoalan ini bisa sedikit diungkap dengan pendekatan penggunaan metode tradisi lisan. Misalnya, sejarawan Belanda J. Hageman Cz., pada tahun 1866 menulis buku “Geschiedenis der Soendalanden” yang di dalamnya memuat informasi adanya seorang tokoh bernama Haji Purwa yang berasal dari pulau Jawa, tepatnya dari Tatar Sunda, sebagai orang pertama yang masuk Islam lalu kemudian menunaikan ibadah haji tahun 1250 dalam penanggalan Jawa atau tahun 1337 Masehi. 


Sumber yang dirujuk oleh Hageman mengenai kisah itu berasal dari tradisi lisan dan beberapa naskah Sunda kuno. Konon, Haji Purwa memeluk Islam saat melakukan perjalanan dagang ke India, di mana ia bertemu dengan seorang saudagar Arab yang kemudian mengislamkannya. Setelah itu perjalanannya dilanjutkan ke Tanah Suci. 


Sepulangnya ke Tatar Sunda, tugas pertama yang diembannya adalah berupaya mengislamkan penguasa Kerajaan Galuh (berpusat di Astana Gede Kawali, Ciamis), mengingat ia adalah karib kerabat dan masih keluarga keraton. Meski, upaya tersebut tidak berhasil. Akhirnya, Haji Purwa memutuskan untuk meninggalkan Galuh dan menetap di wilayah Cirebon Girang.


Sedikit catatan, berdasarkan tradisi lisan yang berkembang di tengah masyarakat Sunda, Haji Purwa ini bernama asli Bratalegawa. Ayahnya bernama Bunisora, seorang “raja penyelang” di Kerajaan Galuh berkuasa antara tahun 1357-1371 Masehi. Dikatakan “raja penyelang”, itu karena Bunisora berstatus hanya sebagai raja sementara menggantikan kakaknya. Saat itu, di Kerajaan Galuh terjadi kekosongan kekuasaan pasca wafatnya Prabu Linggabuwana dalam tragedi Bubat tahun 1357 Masehi. 


Sedangkan, sang putra mahkota yaitu Niskala Wastu Kancana masih belia, dan Bunisora lah yang mengasuhnya. Informasi ini tercatat dalam naskah Sunda kuno, Carita Parahiyangan dalam Atja (1968) berbunyi “…Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang Bunisora, nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang.” 


Mengingat status ayahnya sebagai raja sementara, Bratalegawa tidak memungkinkan untuk kelak mewarisi takhta Kerajaan Galuh. Oleh karenanya, ia memilih menjadi pedagang yang berniaga ke banyak tempat, hingga dalam perantauannya ia menemukan Islam.


Informasi serupa termuat dalam beberapa karya sekunder yang ditulis belakangan, misalnya tulisan sejarawan Universitas Padjadjaran, Prof. Edi S. Ekadjati (1975) yang berjudul “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”. Menurut Ekadjati, tokoh Haji Purwa kemungkinan besar adalah sosok yang sama dengan Syekh Maulana Saifuddin, yang dikenal sebagai orang Islam pertama yang menetap secara permanen di wilayah Cirebon. Di tempat itu, ia mulai menjalankan aktivitas dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam. 


Pada masa ketika Haji Purwa atau Syekh Maulana Saifuddin tinggal di Cirebon Girang, wilayah ini berada di bawah kepemimpinan Ki Gedeng Kasmaya, seorang tokoh yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa Kerajaan Galuh. Cirebon Girang pada waktu itu berstatus sebagai daerah Mandala, yaitu suatu wilayah otonom yang memiliki peran strategis dalam struktur politik dan keagamaan kerajaan. 


Terkait kepemimpinan di daerah ini, pupuh kelima naskah Purwaka Caruban Nagari dalam Atja (1972) menuliskan bahwa “Setelah Ki Gedeng Sindangkasih meninggal, kedudukannya sebagai Jurulabuhan digantikan oleh Ki Gedeng Tapa yang bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati. Ia berkuasa di sepanjang pantai Cirebon. Ki Gedeng Tapa adalah salah seorang putra Ki Gedeng Kasmaya, penguasa di Cirebon Girang.”


Jadi, keberadaan Haji Purwa ini bisa dikatakan merupakan generasi awal penyebar Islam di Jawa Barat. Sebagai tambahan, selain Haji Purwa, nama-nama lain yang sejaman dan tercatat dalam naskah Purwaka Caruban Nagari sebagai penyebar Islam adalah Syekh Hasanudin dari Campa alias Syekh Quro dan Syekh Datuk Kahfi alias Syekh Idhofi alias Syekh Nurjati, yang juga memusatkan aktivitas keagamaannya di sekitar Cirebon. 


Keberadaan ketiga tokoh yang namanya terdokumentasikan dalam karya historiografi tradisional tersebut, perannya bisa dikatakan sebagai peletak dasar agama Islam di Cirebon. Adapun kemudian, tersebarnya agama Islam ke seluruh daerah di Tatar Sunda lebih berkait dengan munculnya seorang tokoh pada generasi berikutnya, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1448-1568).


Sebagai penutup, “purwa’ dalam bahasa Sunda artinya pertama. Jadi, Haji Purwa artinya orang pertama yang naik haji. Akan tetapi, mengingat Haji Purwa ini tokoh yang hidup pada masa Kerajaan Sunda-Galuh, perlu ada penekanan bahwa kata haji di situ berbeda arti dengan kata “haji” yang terdapat dalam prasasti dan naskah-naskah Sunda kuno yang memiliki arti “raja” atau “penguasa.” 


Satu contoh, dalam prasasti Batu Tulis (peninggalan Raja Surawisesa berangka tahun 1455 Saka / 1533 Masehi), tertulis kalimat “di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata” yang artinya “dinobatkan lagi dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.” 


Begitu juga dalam prasasti Pasir Muara (berangka tahun 854 Saka / 942 Masehi), terdapat kalimat “sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihāji pañca pasāgi marsandeca ba(r) pulihkan haji-ri Sunda” yang artinya “batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.” Sementara dalam naskah Carita Parahiyangan, juga tertulis “…Sang Susuktunggal inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, Ratu Haji di Pakwan Pajajaran” yang artinya “…Sang Susuktunggal, yaitu yang membuat singgasana Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, raja penguasa Pakwan Pajajaran.”


Agung Purnama, Pengurus Lakpesdam NU Jawa Barat, dosen tetap Jurusan SPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan mahasiswa S3 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia