Tokoh

Mengenal Syekh Zainuddin Al-Malibari: Penulis Kitab Fathul Mu’in

NU Online  ·  Selasa, 27 Mei 2025 | 20:45 WIB

Mengenal Syekh Zainuddin Al-Malibari: Penulis Kitab Fathul Mu’in

Ilustrasi peta India. Sumber: Canva/NU Online.

Kitab Fathul Mu’in, karya monumental Syekh Zainuddin Al-Malibari, dikenal luas sebagai salah satu rujukan utama fiqih mazhab Syafi’i di kalangan ulama muta’akhirin. 


Kitab ini menjadi bacaan wajib di banyak pesantren di Nusantara, terutama bagi santri tingkat menengah yang telah menamatkan Taqrib karya Syekh Abu Syuja’ atau syarahnya, Fathul Qarib karya Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, pada jenjang dasar. Tulisan ini akan mengulas secara singkat biografi Syekh Zainuddin Al-Malibari, sang penyusun kitab Fathul Mu’in.


Kelahiran dan Keluarga

Syekh Zainuddin, yang memiliki nama lengkap Abu Bakar Zainuddin Ahmad bin Muhammad al-Ghazali bin Zainuddin bin ‘Ali bin Ahmad al-Malibari asy-Syafi’i, lahir pada tahun 938 H di Malibar, Kerala, India. Beliau dikenal sebagai ulama besar mazhab Syafi’i dan penyusun kitab monumental Fathul Mu’in.


Ayah beliau, Syekh Muhammad al-Ghazali, adalah seorang ulama terkemuka di Malibar pada masanya. Ia menjabat sebagai mufti dan qadi, serta berjasa dalam pembangunan Masjid Jami’ Chombala di Kerala. Di kota ini, Syekh Muhammad al-Ghazali menikahi seorang wanita salehah dari keluarga Waliyakat Karakutti, yang dikenal akan ketaatan beragamanya.


Bukti bahwa Syekh Zainuddin adalah putra Syekh Muhammad al-Ghazali diperkuat oleh pernyataan beliau sendiri dalam mukadimah kitabnya, Al-Ajwibah al-‘Ajibah ‘anil As’ilah al-Gharibah, yang berbunyi:


فَيَقُولُ أَضْعَفُ الْعِبَادِ، وَأَفْقَرُهُمْ إلى رَحْمَةِ الْجَوَادِ، أَحْمَدُ زَيْنُ الدِّينِ بْنُ مُحَمَّدِ الْغَزَالِيِّ الْمَعْبَرِيِّ الشَّافِعِيِّ


Artinya: “Seorang hamba paling lemah, paling butuh terhadap rahmat Allah SWT. yakni Ahmad Zainuddin bin Muhammad Al-Ghazali Al-Ma’bari Asy-Syafi’i.” 


Terdapat kekeliruan di kalangan beberapa ulama dan sejarawan yang menyatakan bahwa Abdul ‘Aziz adalah ayah Syekh Zainuddin al-Malibari, bukan Muhammad al-Ghazali. Padahal, sebagaimana tercatat dalam sejumlah biografi ulama India, Abdul ‘Aziz adalah paman beliau, sedangkan ayahnya adalah Syekh Muhammad al-Ghazali.


Untuk membedakan beliau dengan kakeknya yang juga bernama Zainuddin, sang kakek dikenal sebagai Zainuddin al-Makhdum al-Kabir, sedangkan Syekh Zainuddin al-Malibari dikenal sebagai Zainuddin al-Makhdum ash-Shaghir. (Lihat: Syekh Zainuddin, Fathul Mu’in, tahqiq: Abdur Razaq an-Najm, [Beirut: Darul Faiha’, 1443 H], hlm. 10–12). 


Dengan demikian, Syekh Zainuddin al-Malibari adalah cucu dari Syekh Zainuddin al-Makhdum al-Kabir, pengarang Hidayatul Adzkiya’, sebuah kitab tasawuf terkenal yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren Nusantara. Kitab ini kemudian disyarahi oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Salalimul Fudhala’ dan oleh Sayyid Abu Bakar Syatha dalam Kifayatul Atqiya’.


Syekh Zainuddin al-Malibari adalah ulama ahli fiqih mazhab Syafi’i dari Malabar, keturunan Arab Yaman, yang kemungkinan lahir di Ponnani, Kerala, pada tahun 1532 M (938 H). 


Beliau berasal dari keluarga ulama terkemuka di Malabar yang memiliki akar Yaman. Karya-karyanya, seperti Fathul Mu’in dan Al-Ajwibah al-‘Ajibah ‘anil As’ilah al-Gharibah, mencerminkan perspektif ganda sebagai orang dalam yang memahami konteks lokal Malabar sekaligus sebagai ulama dengan wawasan transregional yang menyoroti isu-isu global, seperti interaksi dengan kekuatan kolonial Portugis. (Lihat: Engseng Ho, “Custom and Conversion in Malabar: Zayn al-Din al-Malibari’s Gift of the Mujahidin: Some Accounts of the Portuguese,” hlm. 403–404).


Rihlah ‘Ilmiyyah

Seperti kebanyakan ulama pada masanya, Syekh Zainuddin al-Malibari mengembara ke berbagai tempat untuk menuntut ilmu. Pendidikan awalnya diperoleh dari orang tua dan pamannya, Abdul ‘Aziz, yang membimbingnya menghafal Al-Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu dasar agama. Pendidikan ini menjadi fondasi kokoh, sebagaimana tradisi turun-temurun dalam keluarga ulama, sebelum beliau menjadi tokoh terkemuka.


Setelah menimba ilmu di tanah kelahirannya, Ponnani, Syekh Zainuddin melanjutkan pengembaraan ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam keilmuan. Di Makkah, beliau berguru kepada Imam Ibnu Hajar al-Haitami, ulama besar mazhab Syafi’i yang juga sahabat kakeknya, Zainuddin al-Makhdum al-Kabir, saat Ibnu Hajar berkunjung ke India dan bermukim di masjid keluarga di Ponnani. 


Selain itu, Syekh Zainuddin juga belajar kepada ulama terkemuka lainnya di Makkah, seperti Syekh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz az-Zamzami, Syekh Wajihuddin Abdurrahman bin Ziyad, Syekh Abdurrahman ash-Shafawi, dan sejumlah guru lain.


Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu, Syekh Zainuddin kembali ke Ponnani untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Ia mendirikan majelis-majelis pengajian, mengajarkan berbagai disiplin ilmu seperti fikih, tafsir, hadits, ilmu kalam, dan lainnya. Pengabdian ini dilakukannya secara konsisten selama hampir 36 tahun, meninggalkan warisan keilmuan yang mendalam bagi generasi berikutnya.


Guru-guru Syekh Zainuddin

Seperti kebanyakan ulama pada masanya, Syekh Zainuddin al-Malibari memiliki banyak guru yang membentuk keilmuannya melalui pengembaraan ilmu yang panjang. Perjalanan ini memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran dan karya-karyanya. Berikut adalah beberapa guru utama beliau:

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H)

Imam Ibnu Hajar adalah guru utama Syekh Zainuddin, yang sering beliau sebut sebagai “Syaikhuna” dalam kitab monumentalnya, Fathul Mu’in. Hubungan keduanya sangat erat, ditandai dengan kecintaan Imam Ibnu Hajar terhadap kecerdasan, kepekaan, dan ketelitian Syekh Zainuddin yang menonjol dibandingkan rekan-rekannya.  Konon, Imam Ibnu Hajar pernah mengunjungi Syekh Zainuddin di Ponnani, bermukim selama beberapa bulan di masjid keluarga, dan menulis sejumlah fatwa di sana. (Lihat: Syekh Zainuddin, Fathul Mu’in, hlm. 13–14).

2. Imam ‘Izzuddin ‘Aziz bin ‘Ali bin Abdul ‘Aziz al-Makki az-Zamzami asy-Syafi’i (w. 963 H)  

3. Imam Wajihuddin Abdurrahman bin Abdul Karim bin Ziyad (w. 975 H)  

4. Sayyid Abdurrahman ash-Shafawi  

5. Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah ar-Ramli asy-Syafi’i (w. 1004 H)  

6. Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib asy-Syirbini asy-Syafi’i (w. 977 H)  

7. Imam Taqiyuddin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Ahmad Bamakhramah (w. 972 H)  

8. Imam Abdur Ra’uf bin Yahya al-Wa’idh al-Makki asy-Syafi’i

 

Murid-murid Syekh Zainuddin

Setelah kembali ke tanah kelahirannya di Malabar, Syekh Zainuddin menjadi pusat rujukan ilmu, terutama dalam bidang fiqih, bagi para penuntut ilmu dari Malabar dan wilayah lain. Dengan pendekatan pengajaran yang penuh dedikasi, beliau mendidik banyak murid yang sukses. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Syekh Abdurrahman bin Utsman al-Makhdum al-Kabir al-Funnani  
  2. Syekh Jamaluddin bin Utsman al-Funnani  
  3. Syekh Jamaluddin bin Abdul Aziz al-Makhdum al-Funnani  
  4. Syekh Utsman Labba al-Qahiri  
  5. Syekh Sulaiman al-Qahiri

Karya-karya Syekh Zainuddin

Syekh Zainuddin dikenal sebagai ulama yang sangat produktif, menghasilkan berbagai karya dalam disiplin ilmu seperti fikih, tasawuf, dan sejarah. Berikut adalah beberapa karya penting beliau:

  1. Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din (matan dari Fathul Mu’in)  
  2. Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain (syarah dari Qurratul ‘Ain)  
  3. Al-Ajwibah al-‘Ajibah ‘anil As’ilah al-Gharibah  
  4. Ihkamu Ahkamin Nikah  
  5. Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyad  
  6. Tuhfatul Mujahidin fi Ba’dhi Akhbaril Burtughaliyyin  
  7. Al-Jawahir fi ‘Uqubati Ahlil Kaba’ir  
  8. Al-Fatawa al-Hindiyyah  
  9. Mukhtashar Syarhis Shudur fi Awalil Mauta wal Qubur lil Imam as-Suyuthi  
  10. Al-Manhaj al-Wadhih Syarhu Ahkamin Nikah


Wafatnya Syekh Zainuddin

Menurut pendapat yang kuat, sebagaimana dicatat oleh sejarawan Malabar, Syekh Muhammad Ali an-Nalikuti dalam Tuhfatul Akhyar fi Tarikh ‘Ulama Malibar, Syekh Zainuddin wafat pada tahun 1028 H.


Jenazahnya dimakamkan di samping Masjid Jami’ Kungipalli, Chombala, India, yang didirikan oleh ayahnya, Syekh Muhammad al-Ghazali, berdampingan dengan makam istrinya. Wallahu a’lam.


Ustadz Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman, Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.