Tokoh HAUL KH ALI MAKSUM

Ketawadhuan KH Ali Maksum dalam Kebesarannya sebagai Ulama

Sen, 7 Desember 2020 | 11:15 WIB

Ketawadhuan KH Ali Maksum dalam Kebesarannya sebagai Ulama

KH Ali Maksum Krapyak.

KH Ali Maksum merupakan sosok ulama besar dengan segala keahliannya dalam berbagai bidang keilmuan. Perjalanan studinya dimulai dari Pondok Pesantren Al-Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah di bawah asuhan ayahnya sendiri, yakni KH Maksum Ahmad. Kemudian, beliau berguru kepada KH Dimyati di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Selanjutnya, Kiai Ali mengaji kepada KH Den Rahmad, KH Amir, dan KH Dahlan di Pekalongan serta KH Syaban al-Falaki Semarang.


Setelah itu, KH Ali Maksum dinikahkan ayahnya dengan Nyai Hasyimah, putri dari KH Munawwir Krapyak. Pernikahan tidak menghentikan langkahnya menuntut ilmu. Beliau pun berangkat ke Haramain untuk melaksanakan ibadah haji. Di sana, beliau pun melanjutkan pengembaraan penggalian pengetahuan keagamaannya kepada Sayid Alawi bin Abbas al-Maliki dan Syekh Umar Hamdan.


Perjalanan keilmuannya yang sangat panjang itu memberikannya pengetahuan yang sangat mendalam. KH Said Aqil Siroj, salah satu santrinya, menyebut gurunya sebagai ulama yang allamah, sangat alim. Saat mengaji kepadanya, Kiai Said mengaku bahwa Kiai Ali Maksum memberikan kesempatan para santrinya untuk menyampaikan kritik terhadap bacaannya dengan pandangan yang logis dan dasar yang kuat.


“Kiai Ali Maksum mengajari santrinya agar berani komentar, berani ngeritik, berani. Tapi dengan syarat kitanya mampu, terukurlah, terukur. Ada kemampuan untuk mengkritik, ayo kritik. Ada kemampuan melakukan perbandingan, melakukan komparasi, silakan kamu lakukan. itu Kiai Ali cara mendidiknya,” terang Kiai Said pada galawicara Peci dan Kopi episode Yang Tak Banyak Diketahui tentang Kiai Said pada 30 April 2020 lalu.


Aktivitasnya tidak terbatas di pesantren dan NU saja, Kiai Ali juga mengajar ilmu tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Beliau juga menyusun sebuah kitab berisi argumentasi atas praktik ibadah Ahlussunnah wal Jamaah yang kerap diperdebatkan, yakni Hujjatu Ahlissunnah wal Jamaah. Beliau juga memiliki banyak catatan dan teks pidato yang kemudian disatukan menjadi sebuah buku yang berjudul Ajakan Suci.


Meskipun sangat luar biasa alim, sikap Kiai Ali tetap tawadhu. Hal ini terlihat dari sikapnya yang menyatakan tidak bersedia dicalonkan sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta pada 28 Agustus sampai 2 September 1981. H Abdul Basit Adnan mencatat dalam Kemelut di NU antara Kyai dan Politisi bahwa pernyataan putra sulung KH Makshum Ahmad Lasem itu disampaikan secara langsung melalui verbal dan secara tertulis disebarkan ke seluruh peserta.


Walaupun begitu, para kiai yang menjadi peserta Munas saat itu tetap menyepakati Kiai Ali Maksum sebagai Rais Aam. Mereka pun meminta KH Idham Chalid sebagai Ketua Umum PBNU saat itu untuk mengantarkan keputusan tersebut dan meminta kesediaan Kiai Ali untuk menerimanya. Pada prosesnya, Kiai Idham menyinggung masalah ini merupakan masalah umat yang diamanahkan melalui para ulama yang hadir pada Munas.


Pada akhirnya, Kiai Ali menerima keputusan tersebut. Penerimaannya itu didasarkan atas kepercayaan para ulama kepadanya yang tidak boleh disia-siakan. “Memang, kepercayaan seluruh Alim Ulama tidak boleh disia-siakan,” kata KH Ali Makshum sebagaimana dikutip H Abdul Basit Adnan.


Ketawadhuan itu Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta itu tidak hanya terlihat dari sikapnya saat menolak dicalonkan sebagai Rais Aam dan pada akhirnya menerima, tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Beliau dikenal akrab dengan semua santri-santrinya. Beliau bahkan hafal nama-nama santrinya beserta asalnya dari mana. Fotonya sedang berangkulan dengan para santrinya itu juga menunjukkan keakrabannya.


Lebih dari itu, Kiai Ali Maksum pernah mengirimkan surat secara personal kepada santrinya yang tengah meneruskan studinya di Baghdad, yakni Ihsanuddin. Surat bertitimangsa 14 Maret 1983 itu diunggah putri santrinya tersebut, Arinal Husna, pada 20 Januari 2017 di akun Facebooknya.


Mengawali suratnya, beliau menyapa santrinya tersebut dengan sebutan anakku yang taat, waladi al-muthi’ Ihsanuddin hafidhahu Allah. Bahkan, dalam suratnya, Kiai Ali bercerita mengenai perkembangan Pesantren Krapyak, lengkap dengan kondisi keluarga dan para santrinya yang lain. Beliau juga meminta didoakan santrinya tersebut jika berkesempatan ziarah ke Syekh Abdul Qadir al-Jilani.


Kiai Ali juga sempat menolak permintaan utusan yang memintanya untuk mengasuh Pesantren Krapyak yang saat itu ditinggal wafat KH Munawwir. Kiai Ali yang saat itu membantu ayahnya mengasuh Pesantren Al-Hidayah, Lasem beralasan masih ada putra-putra mertuanya yang lebih berhak. Namun, ia akhirnya menerima saat Ibu Mertuanya Nyai Sukis yang langsung mengajukan permintaan tersebut.


Muhammad Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)