Tokoh

KH Noer Muhammad Iskandar, Anak Kiai yang Enggan Disapa Gus

Jum, 3 Desember 2021 | 06:45 WIB

KH Noer Muhammad Iskandar, Anak Kiai yang Enggan Disapa Gus

KH Noer Muhammad Iskandar. (Foto: dok. Pesantren Asshiddiqiyah)

Dalam tradisi pesantren di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), seorang putra kiai biasa dipanggil dengan sapaan ‘gus’. Sapaan ini lebih lumrah khususnya di pesantren wilayah Jawa Timur. Di daerah lain, bisa beda istilah. Seperti di Sunda dengan istilah ‘ajengan’ atau di Madura dengan istilah ‘lora’. Bagi putra kiai, istilah di atas menjadi semacam sapaan takzim atau penghormatan.


Jika sapaan tersebut berlaku dan diterima dengan wajar bagi umumnya seorang putra kiai, tidak demikian dengan KH Noer Muhammad Iskandar (Kiai Noer). Kiai asal Banyuwangi, Jawa Timur ini enggan untuk disapa ‘gus’ sejak kecil. KH Askandar (ayah Kiai Noer) memang sengaja memberlakukan aturan ini di keluarganya, kendati Kiai Askandar sendiri merupakan salah satu tokoh ulama yang cukup dihormati banyak masyarakat sekaligus memiliki banyak santri.


Sengaja Kiai Askandar melarang putra-putranya disapa ‘gus’ karena sebagai tindakan preventif. Ia tidak ingin anak-anaknya menikmati sapaan kehormatan itu dan terjebak dalam tradisi ‘fodalisme pesantren’. Selain itu, kiai juga khawatir putra-putranya ‘berbangga diri’ karena mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai putra kiai terhormat. Pendek kata, Kiai Askandar tidak ingin putra-putranya mengandalkan nasab sebagai sehingga menyebabkan tidak maksimal dalam menuntut ilmu.


Dalam banyak hal, Kiai Askandar juga tidak membeda-bedakan putranya dengan kebanyakan santri pada umumnya. Seperti dalam proses belajar di pesantren, Kiai Noer memperoleh kebijakan yang sama seperti santri-santri yang lain; mendapat jadwal piket membersihkan halaman pesantren, tidur di masjid dengan alas seadanya, dan mendapat hukuman jika melanggar peraturan pesantren.


Bahkan dalam soal hukuman, Kiai Noer mendapat sikap lebih tegas dari sang ayah dibanding santri-santri yang lain. Salah satu bentuk hukuman yang diterima Kiai Noer ketika melanggar peraturan adalah dipukul telapak tangannya atau bagian belakang tubuh. Kendati demikian, pukulan itu tidak sampai mencederai atau menyasar ke bagian-bagian rawan seperti kepala dan dan telinga.


Jiwa pemimpin

Ternyata terlalu sulit bagi Kiai Noer untuk betul-betul mematuhi aturan di keluarganya itu. Sebab, masyarakat sendiri juga merasa tidak enak jika memanggil putra-putra Kiai Askandar tanpa embel-embel ‘gus’. Rasa takzim mereka menolak untuk tidak menyematkan sapaan hormat tersebut. Menyadari kondisi demikian, Kiai Noer kecil memanfaatkannya untuk mendapat perlakuan istimewa di lingkungannya. Dengan catatan, jangan sampai sang ayah tahu soal ini.


Konon, Kiai Noer manfaatkan peluang ini untuk memobilisasi anak-anak yang seusianya, baik yang berada di lingkungan pesantren maupun yang bukan. Contohnya seperti meminta bantuan kepada mereka untuk menjaga kambing. Dari sini lah mulai tampak bakat pemimpin dalam diri Kiai Noer yang kelak akan menjadi bekal ketika menjadi seorang kiai.


Berkaitan dengan hal ini, pernah suatu ketika seseorang bernama Ali Mudhofir Thoni, santri kakak kelas Kiai Noer berkunjung ke Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta (pesantren asuhan Kiai Noer). Ali mengisahkan kenangannya dulu saat harus menggendong, memboncengi dengan sepeda, menemaninya bermain, sampai mengangon kambing Kiai Noer kecil. Menurutnya, saat itu ia tidak bisa mengelak karena selain Kiai Noer seorang putra kiai, juga selalu memuaskannya saat bicara.


Dalam usia yang masih setingkat ibtidaiyah, Kiai Noer bahkan membangun grup drum band dengan beranggotakan tidak kurang tiga ratusan anak kecil. Sebagai pendiri, ia tampil menjadi mayoretnya. Berikutnya, drum band ini menjadi andalan yang dipakai setiap tahun. Terutama saat bulan Ramadhan untuk membangunkan sahur.


Pada mulanya, nak-anak hanya ikut-ikutan karena tidak enak dan takut kualat jika menolak ajakan seorang putra kiai, lama-lama sikap mereka berubah atas dasar suka mengikuti grup drum band ini.


Drum band yang dibangunnya ini sebenarnya memiliki nuansa politis. Saat itu Kiai Noer begitu mengagumi grup drum band pemuda Ansor yang tampil dengan gagah berani. Penampilan-penampilan pemuda tersebut sebagai bentuk propaganda perlawanan terhadap PKI yang tengah gencar beraksi di Jawa Timur, khususnya di Banyuwangi. Bahkan aksi mereka sampai ke kecamatan Muncar, wilayah desa Kiai Noer (Suber Beras) berada. 


Selain grup drum band, Kiai Noer kecil juga membentuk kesebelasan sepak bola bersama Noer Hadi, Noer Hamid dan Noer Chozin. Kesebelasan sepak bola ini sering tanding melawan kesebelasan lawan milik anak-anak PKI yang ternyata juga sering membuat onar di pesantren. 


Karena Kiai Noer yang selalu tampil sebagai ketua, maka saat ‘gengnya’ melakukan kesalahan, dia lah yang dituduh sebagai tersangka utama. Termasuk ketika mendapat hukuman, ia yang pertama kali mendapatkannya. Seperti pernah kesebelasan sepak bolanya tidak mengaji selama satu hari, Kiai Noer kemudian yang dihukum terlebih dulu.


Pada hari Ahad, 13 Desember 2020/ 28 Rabi’ul Akhir 1442, pukul 13.41 WIB, Kiai Noer menghembuskan napas terakhir di rumah sakit Siloam Hospitalis, Kebon Jeruk, Jakarta Barat dalam usianya yang ke-65. Jasadnya dikebumikan di Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, pesantren yang dulu ia dirikan.


Banyak jasa yang ditinggalkan Kiai Noer, termasuk mewariskan sebelas pesantren yang tersebar di berbagai daerah. Yaitu, Asshiddiqiyah Pusat di Kebon Jeruk, Jakarta Barat; Asshiddiqiyah 2 di Batuceper, Tangerang, Banten; Asshiddiqiyah 3 Cilamaya Wetan, Karawang, Jawa Barat; Asshiddiqiyah 4 di Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat. 


Selanjutnya, Asshiddiqiyah 5 di Jonggol, Bogor, Jawa Barat; Asshiddiqiyah 6 di Setu Kota, Tangerang Selatan, Banten; Asshiddiqiyah 7 di Cijeruk, Bogor, Jawa Barat; Asshiddiqiyah 8 di Tungkal Jaya, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan; Asshiddiqiyah 9 di Gunung Sugih, Lampung Tengah; Asshiddiqiyah 10 di  Sukaresmi, Cianjur, Jawa Barat; dan Asshiddiqiyah 11 di Gunug Labuhan, Waykanan, Lampung.


Tulisan ini disarikan dari buku "Pergulatan Membangun Pondok Pesantren" karya Amin Idris (2009).


Muhamad Abror, alumnus Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta dan Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon