Fragmen HAJI 2025

Kemelut Haji di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia

NU Online  ·  Sabtu, 31 Mei 2025 | 09:14 WIB

Kemelut Haji di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia

Umat Islam yang sedang menjalankan ibadah haji (Foto: NU Online

Pelaksanaan haji ke Baitullah tidak semata persoalan ibadah. Rukun Islam kelima ini, dalam sejarahnya, juga tak lepas dari dinamika sosial-politik yang dialami umat Islam. 


Dalam sejarah panjang Indonesia, tak sedikit perlawanan terhadap penjajah, berkaitan erat dengan praktik haji tersebut. Pertemuan antarumat sedunia, memacu progresivitas bangsa Indonesia untuk melawan penindasan.


M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007: 219-316) mencatat cukup panjang bagaimana praktik “Politik Haji” diterapkan oleh bangsa Indonesia sendiri maupun oleh pemerintah kolonial di Hindia-Belanda. Setidaknya, tercatat sejak abad 17 hingga 20, terjadi upaya-upaya pembatasan oleh pemerintah kolonial terhadap praktik ibadah haji. Tak sedikit pula catatan perlawanan yang diinisiasi oleh para haji sepulangnya ke Tanah Air.


Eskalasi “politik haji” tersebut menarik pada masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam medio 1945 – 1949 tercatat banyak dinamika yang berkaitan dengan praktik haji. Henri Chambert-Loir dalam bukunya “Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (2013)” menengarai fase tersebut tidak terlalu banyak jamaah yang berangkat. Hal tersebut dikarenakan penguasaan transportasi laut oleh Belanda dan timbulnya perlawanan bangsa Indonesia melawan Belanda lebih diutamakan dari pada menunaikan ibadah haji (hal. 72).


Pada masa revolusi fisik tersebut, memang terjadi perang propaganda yang dilakukan oleh Belanda (NICA) dengan bangsa Indonesia dalam pelaksanaan ibadah haji. Belanda berusaha membujuk umat Muslim Indonesia dengan fasilitasi ibadah haji agar mereka mau menerima kehadiran kembali Belanda. Sementara itu, para pejuang di Indonesia menolak siasat musuh tersebut. 


Sebagaimana diberitakan dalam majalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO), Nomor 3 Tahun I, Agustus 1946, dikabarkan jika Belanda melakukan propaganda yang begitu intens. Van der Plas, seorang pejabat Belanda, dikabarkan datang ke Banjarmasin untuk mempromosikan kapal Kongsi Tiga sebagai fasilitas yang akan mengangkut jamaah haji. Upaya Belanda tersebut dicegah oleh Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Devisi IV yang menguasai Kalimantan Selatan. Sebagaimana diungkapkan oleh C. Van Dijk dalam Rebellion Under The Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia (1981).


C. Van Dijk mencatat bahwa saat itu ALRI Devisi IV menghalangi warga Banjar yang akan meminta surat izin untuk menunaikan ibadah haji. Mereka menganggap bahwa upaya Belanda untuk memfasilitasi ibadah haji hanyalah sebuah propaganda musuh (hal. 228).


Masih dalam sumber BNO di atas, juga disebutkan jika Belanda sampai menggunakan pesawat untuk menyebarkan pamflet promosi haji di Madura. Akan tetapi, hal tersebut mendapat penolakan. Ketika mendarat di Kamal, Bangkalan, Madura, pesawat tersebut bahkan diserang oleh para pejuang Indonesia.


Sikap penolakan tersebut, tak lain dikarenakan adanya dorongan keagamaan yang kuat dari para ulama. Dimana mereka menolak tipu daya musuh yang berkedok kebaikan tersebut. Salah satunya yang dikemukakan oleh Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari. Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tersebut berpidato yang disiarkan radio pada Rabu malam (sekira pukul delapan), 24 Juli 1946. Pidato setahun sebelum hari wafatnya itu, dimuat ulang dalam BNO tersebut di atas dengan judul “Awas Tipoe Moeslihat Moesoeh; Pentjoeri Agama dan Negara”. Selain menjelaskan seputar haji dalam perspektif fiqih, dalam pidato tersebut Kiai Hasyim dengan jelas menolak bujuk rayu berkedok haji itu.


“Kemoedian, mengadjak mendjalankan ibadah hadji dalam waktoe sekarang ini adalah tipoedaja moesoeh jang mereka goenakan oentoek membelokkan diri memerangi mereka, perang mana telah diwadjibkan oleh Toehan dengan wadjib-ain, dan lagi soepaja mereka dapat menempatkan alat perang mereka hingga poela dapat mengalahkan kamoe dengan tidak terasa, dan soenggoh mereka itoe adalah pentjoeri jang melampaoei batas.”


Pandangan Kiai Hasyim tersebut juga selaras dengan fatwa dari Universitas Al-Azhar sebagaimana diterbitkan dalam majalah “Al-Azhar” edisi Muharram 1366 H. Fatwa tersebut muncul atas pertanyaan yang dikirim oleh Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia yang berbasis di Timur Tengah. Panitia yang diketuai oleh M. Zein Hasan tersebut, awalnya mengutarakan kondisi Indonesia kepada Rektor Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, yang dikenal memiliki simpati besar terhadap kemerdekaan Indonesia.


Lantas, sebagaimana diceritakan oleh M. Zein Hasan dalam “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (1980)” itu, pada 3 Oktober 1946, mereka mengirimkan pertanyaan kepada Dewan Fatwa Al-Azhar. Pertanyaan tersebut dijawab langsung oleh Ketua Dewan Fatwa yang juga bekas Mufti Mesir, Syekh Abdulmajid Salim. Fatwa yang juga dicetak stensil dan dibawa ke Makkah oleh jamaah haji asal Mesir itu, berisi demikian:


“Jika diketahui bahwa kepergian segolongan kaum muslimin naik haji dengan nafkah musuh mereka dan dengan kapal-kapal yang disediakan oleh musuh-musuh itu akan dapat dipergunakan oleh musuh itu untuk menimbulkan fitnah dan perpecahan di barisan umat Islam, serta akan melemahkan kekuatan mereka, kepergian naik haji seperti itu haram hukumnya. Naik haji cara demikian tidak saja karena kerusakan lebih besar dari faedahnya, malah juga berarti tunduk kepada musuh Allah, atau melahirkan tanda-tanda tunduk kepada mereka, tanpa faedah yang diharapkan atau kerusakan yang dielakkan.” (Baca selengkapnya pada halaman 169-171).


Fatwa tentang para “Haji NICA” itu, disebarkan ke Indonesia. Salah satunya dititipkan melalui para jamaah haji asal Negara Indonesia Timur (NIT) yang kala itu, berhasil berangkat haji atas bantuan Belanda. Sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Faturrahman dalam “Berhaji pada Masa Negara Indonesia Timur; Sulawesi Selatan 1947-1950 (2023)” dititipkan ke sejumlah jamaah haji asal Sulawesi Selatan (Hal. 113-118).


Mereka antara lain H. Syadat Daeng Situju, H. Mattewakkang Daeng Raja, Andi Manapiang, Muhammad Akib, H. Sewang Daeng Muntu, H. Abdurrahman Daeng Situju dan Baba Bidol. Namun, mereka tak sempat menyebarkannya secara luas sesampainya di tanah air. Mereka terlebih dahulu diperiksa oleh Gewestelijke Recherche (Departemen Investigasi Regional). Surat-surat tersebut disita.


Akibat penyitaan tersebut, propaganda Belanda terhadap para jamaah haji asal Sulawesi Tengah cukup berjalan lancar. Pada 1948, tercatat ada 1.664 jamaah yang berasal dari Sulawesi Selatan. Meskipun hal tersebut hanya separuh dari kuota sejumlah tiga ribu yang tersedia (hal. 53-54). Keengganan tersebut, bisa jadi karena pengaruh dari fatwa-fatwa tersebut. Walaupun diberangus sedemikian rupa, tapi keteguhan iman yang sejati tak akan goyah dengan iming-iming “surga” sekalipun.


Dalam pidatonya, Kiai Hasyim Asy’ari mengingatkan untuk mengingat bagaimana tipu daya musuh yang telah dilakukan beratus tahun lamanya di Nusantara. 


“Dan barangsiapa jang tidak mengambil ibarat dari hal-hal kedjadian di masa jang telah lampau di zaman pendjadjahan 350 tahun jang lalu adalah orang itoe telah mati pantjainderanja dan mati perasaannja, lagi tak berakal, tak beragama dan disofnja kaoem moeslimin dia dianggap mendjadi tjela.” 

 

Ayung Notonegoro, pemerhati sejarah NU, founder Komunitas Pegon