Tafsir

Kompleksitas Khilafah dalam Tafsir Ibnu Katsir

Jum, 15 Januari 2021 | 03:15 WIB

Kompleksitas Khilafah dalam Tafsir Ibnu Katsir

pendirian dua bahkan lebih kepemimpinan negara dibolehkan sebagaimana adanya dualisme pemerintahan Sayyidina Ali dan Muawiyah yang wajib ditaati.

Imam Al-Qurthubi, seperti dikutip Imam Ibnu Katsir, menjadikan Surat Al-Baqarah ayat 30 sebagai dalil atas kewajiban pembentukan pemerintahan (khalifah) untuk menghentikan perselisihan,  memutuskan sengketa di tengah masyarakat, menuntut orang-orang zalim atas hak orang yang terzalimi, menegakkan hukum, memberikan sanksi atas tindakan keji, dan menyelesaikan masalah penting lainnya yang tidak mungkin terlaksana tanpa pemerintahan.


Pembentukan pemerintahan (khalifah) dapat dilakukan berdasarkan nash, penunjukkan, pergantian melalui suksesi, jalur musyawarah oleh orang-orang saleh, kesepakatan ahlul halli wal aqdi, pembaiatan, atau penundukkan secara paksa.


Pemerintah, kata Imam Ibnu Katsir, harus seorang laki-laki, baligh, berakal, muslim, memiliki integritas, memiliki kualitas intelektual sebagai seorang mujtahid, memiliki penglihatan yang awas, memiliki organ tubuh yang lengkap dan berfungsi, menguasai ilmu peperangan, sejumlah ulama mengatakan berdarah Quraisy meski tidak disyaratkan Bani Hasyim dan tidak disyaratkan makshum sebagaimana kelompok syiah ekstrem (Ghulat) dan Rafidhah.


Kalau pemerintah atau imam berbuat fasik, ulama berbeda pendapat perihal kemakzulannya, kata Imam Ibnu Katsir. Tetapi pendapat shahih mengatakan, ia tidak dimakzulkan berdasarkan hadits shahih, “kecuali jika kalian melihat dia kafir secara nyata.”


Adapun perihal pembentukan dua atau bahkan lebih pemerintahan, imamah, (khalifah) di atas muka bumi, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan tidak boleh membentuk dua atau lebih pemerintahan (khalifah).


Kelompok Al-Karamiyah, kutip Ibnu Katsir, berpendapat pendirian dua bahkan lebih kepemimpinan negara dibolehkan sebagaimana adanya dualisme pemerintahan Sayyidina Ali dan Muawiyah yang wajib ditaati. Menurut kelompok ini, pengutusan dua atau lebih dari dua nabi pada zaman yang sama itu mungkin. Tentu pendirian dua kepemimpinan/imamah tentu lebih mungkin lagi. Kenabian/nubuwwah lebih tinggi derajatnya daripada imamah tanpa ikhtilaf ulama.


Imam Haramain dari Abu Ishaq, kata Imam Ibnu Katsir, menyebutkan kebolehan pembentukan dua atau bahkan lebih pemerintahan yang sah bilamana suatu daerah terlalu luas atau berjauhan satu sama lain seperti pemerintahan (khalifah) Bani Abbasiyah di Iraq, Dinasti Fathimiyyah di Mesir, dan Dinasti Bani Umayyah di Maghrib di satu zaman yang bersamaan.


Adapun kampanye kelompok pendukung khilafah yang belakangan menyuarakan persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan tunggal, satu orang khalifah, dan menjadikan Surat Al-Baqarah ayat 30 sebagai dalilnya merupakan klaim sepihak atas satu pandangan tafsir, kemunduran cara pikir, dan menyalahi sunnatullah terkait diaspora masyarakat yang sejak dulu zaman khalifah-khalifah kepemimpinan sudah tidak tunggal karena problem jarak dan sebagainya.


Terlalu naif untuk menjadikan Surat Al-Baqarah ayat 30 sebagai dalil atas pembentukan khilafah di bawah kepemimpinan tunggal sebagai propaganda atas penyelesaian masalah umat Islam. Padahal, sejak khalifah-khalifah zaman dahulu, kepemimpinan umat Islam tidak tunggal.


Dengan demikian, pemerintahan di berbagai belahan dunia mana pun yang dibentuk oleh umat Islam hari ini dapat disebut sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban nashbul imam, nashbul imamain, atau nashbul a’immah.


Dengan begitu, tidak ada hajat untuk mengganti sistem negara Indonesia misalnya dengan negara khilafah atau negara Islam dengan kepemimpinan tunggal karena tidak ada konsep baku terkait negara berdasarkan khilafah di samping Indonesia dan negara-negara lain yang didirikan oleh umat Islam secara substansi telah memenuhi kewajiban nashbul imamah. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)