Nasional

Waspadai Muslihat Kelompok Khilafah pada Mahasiswa Baru

Rab, 30 September 2020 | 16:45 WIB

Waspadai Muslihat Kelompok Khilafah pada Mahasiswa Baru

Sejak zaman Ali bin Abi Thalib sudah muncul suatu paham yang cenderung beraliran ekstrem kanan yakni Khawarij.

Jakarta, NU Online

Di masa penerimaan mahasiswa baru seperti saat ini, selain memberikan pengenalan budaya akademik, civitas akademika juga dituntut untuk mewaspadai adanya potensi masuknya paham intoleransi dan radikalisme pada mahasiswa baru. Paham ini kerap menyusup pada mahasiswa baru dengan bungkus berbagai aktifitas di kampus, termasuk di antaranya melalui metode kelas belajar kelompok. 

 

Hal itu disampaikan oleh Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangkaraya Dr Khairil Anwar. Menurutnya sangat penting membentengi mahasiswa baru dari ajaran berbahaya tersebut sejak momen Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK).

 

"Jadi kita sampaikan bahwa ada berbagai macam aliran dan pemahaman yang beragam di Indonesia yang. Sebenarnya sejak zaman Ali bin Abi Thalib sudah muncul suatu paham yang cenderung beraliran ekstrem kanan yakni Khawarij," katanya Dr Khairil Anwar beberapa waktu lalu.

 

Ia menjelaskan, kelompok ini dalam ajarannya menggunakan pola doktrin yang menutup kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahami agama Islam. Kelompok ini, lanjutnya, cenderung mengklaim bahwa hanya kelompok itulah yang paling benar, sementara pemikiran orang lain dianggapnya salah.

 

"Jadi mereka ini tidak bisa menerima terhadap adanya perbedaan, lalu akhirnya menjadi intoleran itu. Intoleran itu akhirnya yang menimbulkan dia bisa membawa kepada terorisme, mengkafirkan orang dan sebagainya itu," ucap Khairil.

 

Bermula dari kelompok belajar

Pernyataan Khairil Anwar juga diamini oleh Mantan Napi Teroris, Ustaz Amir Abdul Haris dalam diskusi daring 'Peci dan Kopi' 164 Channel beberapa waktu lalu. Ustad Amir yang memiliki catatan panjang tergabung dengan sejumlah kelompok radikal di tanah air itu menyebut bahwa kelompok semacam ini kerap kali menyasar mahasiswa baru melalui sejumlah aktivitas, yang biasanya diawali dengan forum kelompok belajar mahasiswa baru saat awal masuk kuliah.

 

"Kalau mahasiswa baru sudah masuk dalam kelompok belajar mereka (kelompok yang berpaham radikal), sudah mudah itu," kata mantan dedengkot Jamaah Ansharud Daulah itu. Setelah masuk menjadi bagian dari kelompok belajar tersebut, ia melanjutkan, akan lebih mudah menggiring pada aktivitas lain seperti pertemuan lain sejenis halaqoh, hingga puncaknya aktivitas yang lebih intensif lainnya seperti tadabbur alam.

 

Sebagai mantan punggawa kelompok radikal di Indonesia, ia mengetahui betul cara masuk yang paling efektif untuk meradikalisasi seseorang. Bahkan, menurutnya, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses radikalisasi hanya dua jam saja.

 

Ia juga menyebut bahwa salah satu objek favorit kelompok ini adalah mereka yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan agama yang kuat. Sehingga, ajaran kelompok ini lebih subur di fakultas atau jurusan ilmu eksak dari pada fakltas dan jurusan agama. "Mungkin karena cara berfikirnya yang sederhana dan pasti. Jadi lebih mudah dipengaruhinya," lanjut dia. 

 

Solusi

Dalam diskusi tersebut, pengamat terorisme Najih Arromadloni mengatakan, salah satu yang dapat ditempuh untuk menghindari paham seperti itu adalah dengan menerapkan pemikiran yang kritis. "Melihat, menyaring, dan mengkonfirmasi informasi semua informasi pada ulama yang sudah jelas track recordnya," ujar Najih. 

 

Langkah lain yang bisa di tempuh di level kampus adalah tidak melakukan aksi pengingkaran terhadap keberadaan masalah ini. Sebab menurutnya, pengingkaran tidak akan menyelesaikan masalah, termasuk masalah radikalisme. "Jika memang ada masalah tersebut, sebaiknya diakui dulu keberadaannya. Sebab tidak mungkin menyembuhkan penyakit tanpa mengakui ada penyakit," lanjutnya.

 

Selain itu, pihak kampus diminta lebih jeli dalam memilih tenaga pengajar dan staff yang terlibat di dalam civitas akademika di lingkungan kampus. Pihak kampus, lanjutnya, dituntut tidak hanya memperhatikan masalah akademik tanpa menghiraukan kemungkinan buruk ideologi staff yang hendak direkrutnya.

 

Pewarta: Ahmad Rozali

Editor: Kendi Setiawan