Nasional

Ahmad Baso Sebut Ada Kekeliruan Tafsir Sejarah Khilafah di Nusantara

Sen, 31 Agustus 2020 | 08:15 WIB

Ahmad Baso Sebut Ada Kekeliruan Tafsir Sejarah Khilafah di Nusantara

Menurut Ahmad Baso pemahaman adanya Khilafah di Nusantara adalah kekeliruan dari suatu interpretasi sejarah. (Foto: Dok Istimewa)

Jakarta, NU Online

Wacana perihal kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah bagian (vasal) dari Dinasti Turki Usmani ramai diperbincangkan. Kekeliruan yang berwujud video Jejak Khilafah di Nusantara rupanya memiliki data sejarah yang diselewengkan. Hal ini terjadi karena adanya penafsiran sejarah yang rupanya tidak tepat.

 

Diskusi demi diskusi banyak bermunculan menjelaskan kekeliruan itu dari berbagai aspek disiplin ilmu, baik dari sisi sejarah, filologi sampai arkeologi. Satu di antaranya adalah diskusi virtual (webinar) yang diselenggarakan oleh Kampus Ma’had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta, pada Sabtu 29 Agustus 2020 lalu.

 

Webinar Jejak Islam di Nusantara untuk Masa Depan Indonesia ini membahas tentang jejak Islam yang ada di Nusantara dan relevansinya bagi masa depan. Webinar menghadirkan Pakar Filologi Nusantara, Ahmad Baso dan Arkeolog Nasional dari FIB UI, Dr Ali Akbar ini juga menyampaikan kritik tentang film Jejak Khilafah di Nusantara. Film yang diinisiasi oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menurut para narasumber memiliki kelemahan dalam pisau analisanya. Wajar jika kemudian film ini perlu diingatkan dan diberi catatan.

 

Sebagai seorang peneliti naskah-naskah Islam Nusantara, Ahmad Baso menjelaskan bahwa pemahaman adanya Khilafah di Nusantara adalah kekeliruan dari suatu interpretasi sejarah. Kekeliruan interpretasi sejarah itu diawali dari kesalahaan memahami aspek geografis Nusantara yang dikenal sebagai jalur yang ramai disinggahi, namun diklaim memiliki jaringan khusus. Jaringan khusus itu adalah adanya pembaiatan diri atas Daulah Turki Usmani.

 

Memang disepakati bahwa hubungan antar kerajaan dahulu memiliki jejaring yang kuat. Semakin menguat dengan ditemukannya jalur perdagangan yang terus diperbaharui. Ini dibuktikan dengan banyaknya peninggalan-peninggalan di beberapa wilayah di Nusantara dan wilayah lainnya yang memiliki kesamaan. Akan tetapi bukan berarti itu merupakan satu temali kekhalifahan.

 

Ahmad Baso mengingatkan, Khilafah yang muncul di masa klasik bukanlah suatu jaringan keabsahan satu kepemimpinan pada kepemimpinan lainnya. Sebab pemahaman demikian akan melihat Islam sebagai agama yang berorientasi kepada kekuatan politis saja, bukan ajaran Islam yang berhaluan kepada ilmu. Sebagaimana banyak naskah klasik kita yang membicarakan Islam dalam konteks ilmu.

 

Konsep Khilafah yang kerap digaungkan khilafah ala HTI adalah kekhilafahan yang berorientasi kepada aspek politis, berupa perluasan wilayah kekuasaan dan kekuatan militeristik. Khilafah yang berorientasi kepada aspek politis ini, tentu akan melahirkan suatu sudut pandang bahwa Khilafah adalah suatu proses perluasan wilayah dan penaklukan. 

 

Padahal, Islamisasi di Nusantara bukan dilakukan oleh para pelancong, pedagang dan militer, tetapi oleh para guru-guru sufi dan para wali. Para guru sufi dan wali ini yang menjadikan corak Islam di Nusantara begitu mudah difahami dan diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Bukan terkesan paksaan apalagi mengekor kepada Dinasti Turki Usmani. Adanya hubungan politis, lebih sebagai hubungan diplomatik dari sebuah wilayah yg sudah sama-sama berdaulat. 

 

Pernyataan ini dikuatkan dengan fakta bahwa Islam yang hadir di Nusantara adalah corak tasawuf yang dibawa oleh guru-guru sufi dan tarekat dalam pengamalannya, bukan dengan jalur agresi atau penaklukan suatu imperium kepada suatu wilayah tertentu. Pertalian seorang guru mursyid dan murid inilah yang membentuk simpul-simpul kekuatan kita.

 

Gelar Khalifah pada raja-raja Jawa memang ada, seperti Sultan Agung yang mentahbiskan diri dengan gelar 'Sultan'. Namun, gelar itu bukan diberikan oleh Daulah Turki Usmani yang menggunakan gelar yang sama. Sultan Agung sebagai raja Islam di Jawa lebih mempercayai gelar yang ia dapat dari Syarif di Makkah. Gelar ini diperolehnya pada 1641 M. Ini adalah satu fakta adanya kekeliruan analisa kekhalifahan Islam di Jawa.

 

Fakta berikutnya adalah gelar Khalifatullah yang disematkan kepada raja setelah Sultan Agung atau Amangkurat I dan seterusnya. Meskipun bergelar Khalifah, lagi-lagi, itu pun bukan diberikan Daulah Turki Usmani, apalagi sampai membaiat diri kepadanya. Gelar tersebut lebih bermaksudkan kepada legitimasi raja sebagai pemimpin kerajaan Islam yang juga mengurusi umat Islam di wilayah kekuasaannnya.

 

Kekeliruan penafsiaran masa lalu

Dari sudut arkeologi, Dr Ali Akbar menambahkan bahwa kekeliruan dari suatu penafsiran masa lalu, akan berimbas pada suatu distorsi sejarah kita di masa depan. Pemaknaan kita tentang masa depan negeri ini sangat ditentukan dari cara kita melihat dan merumuskan seperti apa masa lalu kita. Karenanya, keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. 

 

Ali Akbar menyatakan bahwa Islam yang berada di Nusantara disebarkan oleh para pemikir ulung, bukan para jenderal. Dalam artian, penyampaian Islam yang sampai pada kita saat ini, dilakukan oleh para ahli agama, bukan ahli perang sebagaimana jika kita menggunakan sudut pandang militeristik. Sehingga banyak bentuk peninggalan Islam di Nusantara sangat unik serta memiliki sisipan ilmu di dalamnya.

 

Penulis buku Arkeologi Al-Qur'an ini juga berpendapat, bahwa kurang tepat membatasi khalifah dalam artian suatu ideologi tertentu. Khalifah menurutnya, sebagaimana dikutip dari al-Qur’an, adalah setiap manusia itu sendiri, bukan suatu jabatan politis. Kalaupun raja setelah khulafaurrasyidin memakai gelar khalifah, gelar tersebut dihubungkan saja dengan kerajaannya sendiri.

 

Acara yang berlangsung selama tiga jam ini mendapat antusiasme partisipan yang hadir. Dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan yang disampaikan. Satu di antaranya adalah keingintahuan partisipan tentang fenomena fakta sejarah kekhilafahan yang sedang ramai diperbincangkan. 

 

Webinar ini juga merupakan penutup dari rangkaian acara Masa Ta’aruf Mahasantri Ma'had Aly Jakarta (Mastama) 2020 dan lomba essai Nasional yang dilakukan 15-25 Agustus. Mastama sendiri bertema Kontekstualisasi Sejarah Islam di Indonesia dalam Bingkai Nasionalisme sebagai ajang turut memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

 

Ahmad Baso menutup acara ini dengan closing statement yang menarik. Ia menekankan kepada para audiens bahwa Negara kita memiliki kekayaan khazanah keilmuan yang melimpah. Ini yang membuat para ulama di Indonesia memiliki karakteristik kecerdasannya tersendiri dibanding ulama di belahan dunia lainnya.

 

"Satu di antara hasil kecerdasan itu adalah kesepakatan para ulama kita yang mengkarakterstikkan wilayah Nusantara sebagai wilayah jumhuriyyah atau republik. Sebab di dalamnya ada kemajemukan yang tak dimiliki bangsa-bangsa lainnya yang harus terus kita pertahankan," kata Ahmad Baso.


Kontributor: Sufyan Syafii

Editor: Kendi Setiawan