Opini

Pro dan Kontra Full Day School

Jumat, 11 Agustus 2017 | 09:56 WIB

Oleh: Dhilla Nuraeni Az-zuhri

Potret dunia pendidikan kita dari tahun ketahun selalu saja diwarnai dengan perubahan kebijakan. Ada saja kebijakan baru pemerintah yang menyangkut dunia pendidikan. Mulai dari perubahan kurikulum hingga perubahan sistem pembelajaran, sering dilakukan pemerintah khususnya oleh kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Untuk perubahan kurikulum, sejak Indonesia merdeka tercatat sudah  11 kali terjadi pergantian kurikulum. Seringnya terjadi pergantian sistim pendidikan di negeri ini, sering membuat masyarakat bingung, bahkan terkadang memunculkan pernyataan yang bernada sinis, seperti, setiap ganti menteri pasti berganti pula  sistem belajar atau kurikulumnya.   

Di awal tahun pelajaran 2017/2018 ini polemik dunia pendidikan kita kembali mencuat  kepermukaan, menyusul adanya rencana penerapan full day school atau lima hari sekolah oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Rencana penerapan FDS tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pihak yang pro mengatakan, dengan FDS dapat membantu orang tua yang bekerja. Artinya, orang tua dapat fokus bekerja, sementara kegiatan anak dapat terkontrol oleh sekolah. Saat ini memang banyak sekolah menawarkan kurikulum FDS bahkan dalam bentuk sekolah berasrama (boarding school). Kegiatan siswa selama 24 jam dipantau pihak sekolah. Dan faktanya, banyak orang tua yang berminat menyekolahkan anak ke boarding school walau harus membayar mahal.

Sejalan dengan pihak yang pro, Kemendikbud menjawab kritikan terhadap rencana penerapan FDS dengan memberikan alasan dan pertimbangan. Pertama, kebijakan lima hari sekolah merupakan implementasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Kedua, akan mengintegrasikan nilai utama yaitu religius, nasionalis, gotong-royong, mandiri, dan integritas. Ketiga, siswa tidak harus belajar selama 8 jam penuh di kelas, tetapi diisi kegiatan variatif dengan proporsi pengetahuan 30% dan pembentukan karakter 70% Keempat, guru diminta mengurangi ceramah di kelas, diganti aktivitas-aktivitas yang terkait pembentukan karakter.

Pihak yang kontra berpandangan, kegiatan FDS akan menambah beban guru dan siswa. Guru bukan hanya mengurus murid-muridnya di sekolah, tapi juga memiliki suami, istri, atau anak yang harus diurus alias perlu diperhatikan. Kalau guru harus stand by di sekolah sampai sore, tentunya suami, istri, anak mereka akan protes. Selain guru, siswa juga berpotensi mengalami kebosanan atau stres karena dikurung sepanjang hari di sekolah. Apalagi jika program yang dilaksanakan sekolah kurang menarik atau kurang variatif. Waktu bermain anak juga menjadi berkurang, termasuk untuk mengisi kegiatan belajar pasca belajar sekolah, anak juga belajar atau mengaji pada sore hari di TKA/TPA/ Madrasah Diniyah Takmiliyah.

Dalam konteks kemasyarakatan, FDS dinilai menjauhkan siswa dari lingkungan bermainnya atau bersosialisasi dengan tetangganya. Hal ini dapat menimbulkan siswa merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, merasa minder, tidak mau bergaul, dan tertutup terhadap tetangganya walau di sekolah anak tersebut mungkin memiliki banyak teman. Bagi sekolah yang memberlakukan sistem dua shift (belajar pagi dan siang), penerapan FDS tentunya akan menjadi kendala karena mereka mengalami keterbatasan tempat dan guru. Siswa yang jarak dari rumah ke sekolahnya jauh tentunya juga akan mengalami kendala karena dia sampai rumah pada saat magrib.

Para pakar pendidikan yang kontra dengan kebijakan ini menilai, penerapan FDS ini bentuk kekeliruan menyikapi pendidikan dan persekolahan. Seolah-olah pendidikan identik persekolahan, padahal pendidikan maknanya jauh lebih luas. Pendidikan dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Dengan demikian, sekolah hanya salah satu unsur dalam pendidikan. Banyak bukti empirik menunjukkan, orang-orang sukses bukan hanya orang yang berprestasi seacara akademik yang baik di sekolah, tetapi yang memiliki life skill yang bagus.

Penulis adalah mahasiswi Sekolah Pascasarjana UNINUS Bandung