Opini

Politik Dompleng Masjid

NU Online  ·  Senin, 7 Agustus 2017 | 06:03 WIB

Oleh H A Djunaidi Sahal
Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan telah memberikan dampak bagi tatanan sosial, baik masyarakat kota maupun masyarakat di pedesaan. Hal ini juga berpengaruh pada paradigma masyarakat dalam memandang politik dan cara bertindak di dalam masyarakat. Disadari atau tidak, pola sebagian  masyarakat di Indonesia sudah bergeser ke arah yang rentan terhadap disintegrasi, akibat pengaruh kemajuan teknologi, di mana perkembangan teknologi sangat mudah digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarkan provokasi negatif yang mengancam keutuhan negeri ini.

Isu tentang peranan agama terhadap pola hidup yang tentaram dan damai, sangat menarik untuk di perbincangkan ketika konflik-konflik horizontal masyarakat yang mengarah pada konflik SARA dilatarbelakangi oleh agama. Mencermati meluasnya wabah intoleransi dalam beberapa momentum terakhir, di mana banyak kelompok-kelompok intoleran memanfaatkan isu yang berkembang di masyarakat. Kita dapat melihat fenomena Pilkada DKI Jakarta, yang diwarnai dengan kasus penistaan agama sangat mencuat ke muka publik sehingga banyak kelompok intoleran yang mengambil kesempatan untuk tampil. Hal ini memperkuat eksistensi kelompok tersebut semakin berani untuk muncul di tengah-tengah masyarakat yang dapat memprovokasi masyarakat untuk apatis dengan Pancasila dan sistem hukum di Indonesia.

Kondisi perpolitikan yang dilatarbelakangi oleh agama, masih menjadi isu sentral menjelang tahun politik 2018 dan 2019, kita bisa lihat apa yang terjadi di kota Jakarta yang notabene memiliki tingkat intelektual yang baik tetapi masyarakatnya masih terprovokasi dengan isu-isu agama. Gerakan politik yang memanfaatkan isu agama masih dipakai oleh beberapa kelompok untuk memprovokasi masyarakat, salah satunya Gerakan Indonesia Shalat Subuh (GISS). Tentu pola ini masih sama dengan apa yang pernah dilakukan dalam pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, di mana banyak masjid ditarik dalam ranah pertarungan politik. Masjid juga dimanfaatkan untuk kampanye politik dan menolak pemimpin non-Muslim serta yang lebih ekstrem lagi label kafir untuk pendukung non-Muslim terjadi di mana-mana, bahkan menolak jenazah pendukung non-Muslim.

Kita hidup di Indonesia tentu harus menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama. Indonesia bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara agama. Setiap warga negara yang memenuhi persyaratan undang-undang, maka apapun latar belakangnya, warga negara Indonesia berhak memilih dan dipilih. Jika pandangan politik masyarakat Indonesia terprovokasi dengan isu-isu agama saja, hal ini sangat berpotensi pada tindakan intoleran. Dengan memutarbalikkan ajaran agama dan mengutip ayat-ayat Al-Quran, kelompok-kelompok intoleran akan memanfaatkan masyarakat untuk kepentingan gerakan politiknya.

Masjid sebagai pusat dakwah, tentu harus bersih dari tindakan dan ajaran politik praktis serta dakwah yang bersifat SARA. Secara luas, politik yang membahas sisi keilmuan, kesejahteraan masyarakat bahkan kritik terhadap praktik penyelenggaraan negara tidak dilarang di dalam masjid. Tetapi ketika politik dimanfaatkan untuk kepentingan perebutan kekuasaan, di situlah potensi perpecahan terhadap umat Islam sangat mungkin terjadi.

Isu agama dan politik identitas masih sangat kuat menjelang pertarungan politik tahun 2018 dan 2019, setelah sukses menjadikan masjid sebagai alat propaganda politik yang dibawa oleh kelompok-kelompok tertentu dalam pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, hal ini menjadi faktor penentu dinamika politik nasional ke depan. Agitasi serta provokasi GISS dan gerakan kelompok intoleran lainnya dikhawatirkan menjadi metode politik yang mendompleng kegiatan ibadah umat Muslim menjadi kegiatan politik dalam memperebutkan kekuasaan. Gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini merupakan gerakan politik yang memobilisasi umat Islam untuk membatasi hak-hak lawan politik. Dalam konteks pemilu 2018 dan 2019 “politik masjid” sangat mungkin dijadikan basis gerakan oleh kelompok-kelompok intoleran dalam agenda merebut kekuasaan.

“Kejatuhan Ahok” oleh kasus penistaan agama merupakan serangkaian serangan politik yang ditujukan oleh lawan-lawan politiknya. Kelompok-kelompok intoleran tentu tidak hanya berhenti di situ. Target ke depannya adalah untuk menjatuhkan lawan-lawan politik lain, khususnya yang ada di pemerintahan Jokowi (Politik Bola Sodok). Jika kelompok ini berhasil mempengaruhi masjid sebagai pusat gerakan, maka masjid akan menjadi pusat pengumpulan umat Muslim untuk diajarkan bagaimana merebut kekuasaan dan menolak non-Muslim sebagai pemimpin serta Jakarta sebagai pilot project dalam mempengaruhi wilayah-wilayah lain yang ada di Indonesia.

Umat Islam Indonesia mempunyai tanggung jawab moral terhadap bangsa ini. Menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kewajiban setiap warga negara. Umat Islam di Indonesia harus tetap menjaga suasana dan situasi yang kondusif, serta menghargai sesama tanpa memandang latar belakang dan pilihan politik, agar ke depannya kita dapat menjaga keutuhan bangsa Indonesia dari ancaman-ancaman intoleransi.


*) Wakil Sekretaris PWNU DKI Jakarta. Ia juga Sekretaris Jenderal Forum Silaturahmi Bangsa (FSB).