Opini

Perppu Ormas dan Kegaduhan yang Tak Perlu

NU Online  ·  Sabtu, 12 Agustus 2017 | 06:00 WIB

Oleh Roziqin

Di antara berbagai tema yang diperdebatkan di masyarakat saat ini, yang mengundang diskusi serius dari masyarakat, ulama, LSM, para pakar hingga para pejabat pemerintah, adalah terkait pemberlakuan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas), yang merupakan perubahan dari UU Ormas yang lama, yaitu UU 17 Nomor 17 Tahun 2013. Hingga artikel ini ditulis, setidaknya terdapat enam permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Perppu tersebut. Menurut hemat saya, segala kegaduhan atas pemberlakuan Perppu merupakan hal yang tidak perlu. Presiden memiliki alasan untuk menetapkan Perppu dimaksud atas dasar alasan sebagai berikut.

Pertama, Perppu 2/2017 tak lebih perluasan dari Tap MPR Nomor XXV Tahun 1966 (Tap MPR), KUHP Pasal 107, dan UU Ormas. Berdasarkan Tap MPR, setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang. Bahkan Tap MPR tersebut dikuatkan dengan Perubahan KUHP Pasal 107. Dahulu, Tap MPR tersebut ingin dicabut oleh Gus Dur saat beliau jadi presiden, namun ditentang sebagian besar kalangan. Bila kita memaknai Komunisme/Marxisme Leninisme sebagai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka wajar saja bila Pemerintah melakukan tindakan yang tegas terhadap segala tindakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Termasuk bila hal itu dilakukan ormas, yaitu dengan membubarkannya, dan melarang segala bentuk penyebarannya.

Penetapan Perppu dapat dianggap sebagai langkah antifipatif dari Pemerintah atas ancaman terhadap NKRI dan kehidupan berbangsa, meski sebenarnya Pemerintah telah kecolongan dengan berkembangnya ormas yang anti-NKRI. Sebagai langkah antisipatif, tentu penetapan Perppu tak harus menunggu negara hancur terlebih dahulu. Toh saat ini, suasana saling benci, saling curiga, juga sudah merebak. Wibawa Pemerintah pun sudah sering dilecehkan oleh sebagian kalangan.

Kedua, penetapan Perppu adalah kewenangan konstitusional Presiden berdasarkan Pasal 22 UUD 1945: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu. Pihak yang menuduh bahwa Presiden akan diktator dengan mengeluarkan Perppu, sama saja menafikan kewenangan konstitusional Presiden. Atas penetapan Perppu tersebut, toh Presiden masih bisa diawasi oleh DPR dan MK. Keputusan Pemerintah juga bisa digugat melalui PTUN. Artinya, mekanisme check and balances masih berlaku, dan syarat negara hukum juga masih terpenuhi , yang menghilangkan kemungkinan Presiden menjadi diktator.

Menanyakan dasar penetapan Perppu dengan alasan tidak ada hal yang membahayakan NKRI, menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai praktik ketatanegaraan. Selama ini penetapan Perppu juga tidak menunjukkan adanya keadaan bahaya. Bahkan sekedar penangguhan berlakunya UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pun bisa dilakukan dengan Perppu.  Ketentuan mengenai pilkada langsung maupun Pelaksana Tugas KPK juga bisa melalui Perppu, dan masih banyak contoh lainnya. Hal ini  menunjukkan adanya konvensi ketatanegaraan, bahwa kegentingan yang memaksa dapat dimaknai sebagai keadaan mendesak yang perlu diatur dengan peraturan setingkat undang-undang, bukan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Benar bahwa penetapan Perppu menjadi atas berdasar subyektifitas Presiden, namun hal itu konstitusional. Subyektifitas Presiden akan diuji oleh DPR sehingga sah secara hukum.

Ketiga, masih ada upaya membela diri dari ormas yang akan dibubarkan. Ormas yang melanggar Perppu tidak serta merta dibubarkan , tetapi diberi peringatan tertulis terlebih dahulu, dan bila masih melakukan tindakan yang sama, bisa dilakukan penghentian kegiatan. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum merupakan langkah terakhir setelah mereka diberi kesempatan membela diri. Pembelaan diri juga dapat dilakukan saat proses pidana melalui lembaga peradilan.

Mudahnya membuat ormas, menjadikan jumlah ormas berkembang pesat pascareformasi. Terlebih, dimungkinkannya masyarakat untuk mendirikan ormas tidak berbadan hukum. Per Akhir 2016 saja menurut Mendagri terdapat 254.633 ormas. Itu belum memperhitungkan ormas yang tidak terdaftar. Menurut Romli Atmasasmita, jika dengan UU Ormas yang lama, dibutuhkan waktu kurang lebih 458 hari untuk membubarkan ormas. Mengharuskan pembubaran ormas melalui pengadilan, akan menyita waktu Pemerintah sehingga melupakan tugas lainnya.

Keempat, norma-norma yang diatur dalam Perppu, pada dasarnya sama dengan norma UU Ormas, kecuali terkait pembubaran ormas. Bahkan UU Ormas yang lama tersebut setidaknya pernah dilakukan dua kali pengujian di MK, namun hanya dikabulkan sebagian oleh MK untuk hal-hal yang bukan substantif. Dengan mendasarkan pada Pasal 28J UUD 1945, MK dalam Putusan Nomor 82/PUU-XI/2013, atas Pengujian UUU Ormas yang lama, menyatakan dengan tegas bahwa “kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat adalah HAM yang dijamin konstitusi, namun kebebasan tersebut dapat dibatasi oleh negara melalui ketentuan Undang-Undang dalam batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh konstitusi, yaitu dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Artinya, kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat bukanlah kebebasan tanpa batas.
Ormas, bisa saja dibatasi untuk tujuan yang lebih luas, termasuk di dalamnya menjaga keutuhan NKRI yang bentuknya sudah final dalam UUD 1945.

Semoga segala kegaduhan ini segera diakhiri!


Penulis adalah alumni Lemhannas Inter University Network; Dosen pada Prodi Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta.