Oleh Rusdi Mathari*
Di sebuah grup WhatsApp, seorang kawan telah menegur kawan lainnya karena menulis ā4JJIā untuk menyebut āAllah.ā Alasan yang menegur, ā4JJIā berbeda artinya dengan āAllah.ā Dia meminta yang bertanya perbedaannya, agar bertanya pada kawan yang lain lagi yang dianggapnya lebih mengerti dan berkompeten untuk urusan semacam itu.
<>
Diskusi agak memanas, dan saya lalu teringat pertanyaan istri saya untuk perkara yang sama.
Apa yang disebut sebagai āAllahā oleh terutama orang-orang Islam, sebetulnya hanya istilah yang dibuat untuk menyebut sesuatu yang luar biasa (maha) di luar dirinya. Tapi karena berbagai alasan, banyak orang kemudian percaya bahwa orang-orang Islam menyembah Allah yang berbeda dari Allah orang-orang Kristen dan Yahudi.
Sebuah anggapan yang sebetulnya sama sekali keliru, karena sesungguhnya tidak ada keraguan seorang Muslim adalah menyembah Allah yang juga disembah oleh Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Yesus, dan Muhammad (shalawat dan salam untuk mereka semua).Bahwa orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam kemudian memiliki konsep yang berbeda tentang Allah, tentu benar adanya.
Orang Islam, seperti halnya orang Yahudi misalnya, menolak kepercayaan Trinitas dan Inkarnasi Ilahi dari ajaran Kristen. Akan tetapi penolakan itu tak lalu, masing-masing penganut dari tiga agama menyembah Tuhan yang berbeda karena Allah hanya satu. Yahudi, Kristen dan Islam adalah kepercayaan yang mendaku sebagai āAgama Ibarahimā (Abrahamic Faith), dan ketiganya diklasifikasikan sebagai āmonoteistik.ā
Realitasnya, ada sebagian penganut Yahudi dan Nasrani yang kemudian selalu ingin membuat orang percaya, bahwa āAllahā adalah sebutan untuk para ādewaā orang Arab (silakan baca: The Moon-god Allah in the Archeology of the Middle East), dan Islam adalah benar-benar sesuatu yang ālain,ā yang berbeda, dan tidak memiliki akar yang sama dengan Yahudi dan Kristen.
Tentu argumen semacam itu menggelikan, sebab dengan menganggap umat Islam menyembah āAllahā yang berbeda (karena mereka mengatakan āAllahā) adalah sama tidak logisnya dengan pendapat yang mengatakan, orang-orang Prancis menyembah Allah yang lain karena mereka menyebut āDieu.ā Orang-orang berbahasa Spanyol juga menyembah Allah yang berbeda karena berseru āDios.ā Atau mereka yang berbahasa Ibrani menyembah Allah yang tidak sama, karena mereka kadang-kadang memanggil Allah dengan sebutan āYahweh.ā
Sebagian yang lain lalu mengatakan, tentang āAllahā adalah bukan sekadar soal logika, dan itu problemnya. Sebab mereka yang mendaku setiap satu bahasa hanya menggunakan kata yang benar untuk menyebut Allah, sama artinya dengan menyangkal universalitas pesan Tuhan kepada umat manusia, untuk segala suku dan bangsa melalui para nabi yang berbicara dalam bahasa yang berbeda. Dan hanya sedikit orang yang paham, tentang Allah sesungguhnya adalah kata yang sama dalam bahasa Arab yang digunakan orang-orang Kristen dan Yahudi untuk menyebut Allah.
Tengoklah Alkitab (Injil) berbahasa Arab, maka di sana akan tertera kata āAllahā digunakan seperti halnya āAllahā digunakan dalam bahasa Inggris: āAllahā adalah kata dalam bahasa Arab dan sama dengan kata dalam bahasa Inggris āGodā dengan huruf āG.ā Kata āAllahā itu pun bahkan tidak dapat dibuat jamak.
Lihatlah kata āElā dalam bahasa Aram yang adalah kata untuk Tuhan ketika Yesus berbicara, niscaya lebih mirip pengucapannya dengan kata āAllahā dibandingkan dari kata āGodā dalam bahasa Inggris. Itu pula berlaku untuk berbagai macam kata untuk menyebut Tuhan dalam bahasa Ibrani: āElā dan āElah,ā atau āElohimā (dimuliakan) itu.
Alasan kesamaan itu, karena baik bahasa Aram, Ibrani dan Arab adalah bahasa yang berasal-usul sama yaitu bahasa Semit.
Dalam bahasa Arab, kata āAllahā pada dasarnya sama dengan kata āIlahā yang artinya Tuhan, dan karena itu makna dari kata āAllahā adalah juga sama dengan makna dari kata āIlah.ā
Perbedaan mutlak kedua kata tersebut terletak pada penggunaannya.Dalam bahasa Arab, kata āIlahā dikenal sebagai bentuk mufrad (umum) dan bersifat jamak dengan kata aalihat, sementara kata āAllahā adalah nama khusus dan tidak mempunyai bentuk jamak.
Ucapan seperti āYa Ilahiā atau āYa Allahā menunjukkan, tidak ada perbedaan antara kata āAllahā dan āIlahā kecuali yang satu (āAllahā) digunakan hanya untuk makna khusus, dan yang lain (āIlahā) lebih digunakan untuk yang bersifat umum. Dalam buku āTauhid dan Syirik,ā Syrekh Jaāfar Subhani bahkan menyebut kedua kata itu memiliki persamaan yang lebih dekat, sebab berasal dari satu akar kata yang sama.
Kalau kemudian ada kekhususan makna dari kata āAllahā seperti yang sejauh ini disebut oleh kaum Muslim, hal itu tak lain karena kebiasaan orang-orang Arab yang selalu menggunakan lafal āAl Ilah.ā Penambahan kata āalā pada āIlahā dimaksudkan untuk menunjuk sesuatu yang telah dikenal dalam pikiran (isyarah dzihniyah). Dalam kitab āMajmaāul Bayan Jilid 9,ā Al Thabarsi menerangkan, huruf āiā pada āAl Ilahā kemudian menjadi hilang dalam percakapan sehari-hari, sehingga āAl ilahā diucapkan sebagai āAllah.ā
Penjelasan yang kurang lebih sama tentang asal usul penyebutan nama āAllahā juga diungkapkan Thabarsi dalam āMajmaāul Bayan Jilid 1ā. Mengutip pendapat Imam Sibawaih (pakar gramatikal tentang asal-usul lafal āAllahā) Thabarsi menjelaskan, perubahan dari āIlahā menjadi āAllahā disebabkan penisbian atau peluluhan huruf āhamzahā di atas huruf āiā (alif), sehingga menjadi al maārifah, yang tak bisa dipisahkan.
Maka ketika menyebut āYa Allah,ā pengucapannya bukan āYallahā melainkan āYa Allah.ā Seandainya tidak ada huruf āhamzahā dalam kata aslinya, menurut Thabarsi, niscaya pengucapan āhamzahā tidak dibenarkan sebagaimana dalam kata-kata lainnya.
Tentang āAllahā yang berasal dari kata āIlahā dengan menghilangkan huruf āhamzahā dan menggantinya dengan kata āalā juga dijelaskan oleh Ar Raghib di buku āAl Mufradat.ā Dalam pandangan Ar Raghib, sebutan āAllahā dikhususkan bagi nama Allah sebagai wajibul wujud, atau zat mutlak yang wajib ada.
Bisa dimengerti karena itu, para ahli tauhid memaknai āAllahā dan āIlahā sebagai makna yang satu, yaitu Tuhan. Namun menurut sebagian ahli tafsir, dalam kalimat tauhid ālaa ilaha illallahā kata āIlahā mempunyai makna maābud (yang disembah) dan karena itu penggunaan maknanya harus disertai penjelasan bihaqqin (secara benar).
Maka kalimat āTidak ada Tuhan selain Allahā maknanya adalah āTidak ada Tuhan yang wajib disembah secara hak kecuali Allah.ā
Problemnya: banyak penganut agama Samawi, belum mengerti tentang asal-asal istilah dan sebutan āAllah,ā sehingga banyak di antara mereka lalu saling mendaku soal Allah. Orang-orang Islam di sini, bahkan menuliskan āAllahā dengan āAlloh.ā Alasannya bermacam-macam.
Sebagian menganggap, pengucapan āAllahā dengan ālahā tebal menyulitkan banyak orang mengucapkannya, dan untuk mempermudah dan agar mendekati pengucapan yang seharusnya, maka digantilah tulisan āAllahā dengan āAlloh.ā Dan itulah rancunya, karena bahasa Arab, tidak mengenal vokal e dan o, kecuali hanya tiga vokal: fathah (a), kasrah (i) dan dammah (u).
Aneh rasanya, āAllahā kemudian ditulis āAllohā apalagi diucapkan menjadi āAl-loh,ā atau ārahmanā ditulis ārohmanā dan diucapkan āroh-man,ā dan sebagainya, sebab tidak ada dasar bahasanya kecuali hanya dicari-cari. Itu sama dengan menuliskan āJosā untuk pengganti āGeorge,ā atau āNyu Yokā untuk āNew York.ā Dampaknya, kemudian berkembang juga penulisan āAwloh,ā āAwoh,ā dan sebagainya, yang jauh lebih ngawur dan berkesan olok-olok.
Muncul kemudian penulisan ā4JJIā yang dipersoalkan dalam satu grup di WhatsApp itu. Mungkin maksudnya untuk memudahkan dan tidak terjebak dengan penulisan āAlloh,ā tapi tulisan itu, hanya mendekat-dekatkan atau memirip-miripkan dengan tulisan āAllahā dalam bahasa Arab yang terdiri dari huruf alif, lam, lam dan ha. Dan karena disusun dengan huruf Latin, tulisan ā4JJIā semestinya dibaca āempat-je-je-iā bukan āAl-lah.ā
Alasan dari sebagian yang lain malah lebih ekstrem. Sengaja āAllahā dituliskan āAllohā, karena alasan untuk membedakan āAllahā dalam Islam dan āAllahā yang disebut oleh kaum Nasrani. Allah lalu diklaim hanya milik agama tertentu, dan agama lain tak boleh memilikinya.
Itu misalnya pernah terjadi di Malaysia, ketika pemerintah dan ulama di sana melarang penggunaan āAllahā oleh orang Nasrani. Mereka menganggap tak satu manusia pun yang tidak memiliki pandangan keimanan yang sama dengan mereka, layak dan pantas menyebut āAllah.ā āAllahā adalah milik mereka, kendati mereka juga tidak paham, siapa Allah dan mengapa harus disebut āAllah.ā
Sungguh dengan semua nama dan sebutan āAllah,ā manusia sesungguhnya tak bisa mengetahui hakikat Allah, kecuali hanya sedikit orang. Nama-nama, istilah atau apa pun sebutan yang ditujukan untuk menyebut Allah, hanyalah salah satu cara manusia untuk mengenal Allah. Dan di balik semua nama dan istilah itu, Allah adalah Allah, dan hanya Allah yang tahu akan Allah. Bukan manusia.
* Jurnalis. Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Tinggal di Jakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Memanfaatkan Sisa Umur dengan KebaikanĀ
2
Indonesia Terlibat Uji Klinis Vaksin TBC M72, PDNU: Langkah Positif Atasi Gejala yang Berat
3
Khutbah Jumat: Pentingnya Menjaga Diri dari Hoaks
4
Mengurangi Kecelakaan di Jalan, Belajar dari Swedia
5
Khutbah Jumat: Mendahulukan Nafkah Keluarga sebelum Bersedekah kepada Orang Lain
6
Khutbah Jumat: Berbakti Kepada Orang Tua Sebelum Terlambat
Terkini
Lihat Semua