Oleh Mh Nurul Huda
Masa lampau adalah waktu yang sudah lewat; masa depan adalah waktu yang belum tiba. Mungkin inilah sebabnya sebagian masyarakat menolak untuk menjelajahinya. Namun ada alasan lain mungkin yang lebih kompleks dan bersifat kultural-historis.
Umpamanya, alasan yang bersifat teologis berupa perasaan eksistensial yang begitu mendalam akan ketidakberdayaan diri manusia dihadapan takdir-Nya. Dunia bukan hanya dipandang sebagai kekuatan raksasa yang berada di luar kendali manusia, tapi sekaligus semesta yang menakjubkan dan menyingkap rahasia. Semakin takjub orang kepada peristiwa-peristiwa yang datang tak terduga akan dirasa makin menambah “nikmat” ketidakberdayaan itu, yang berarti juga mempertegas Kemahakuasaan Sang Pemilik Semesta Raya.
Berbeda halnya dengan pandangan-dunia yang berkembang di masyarakat Barat. Sejak abad ke-18 humanisme Pencerahan Eropa telah menanamkan keyakinan bahwa manusia adalah pusat segala-galanya, absolut. Ilmu pengetahuan (ilmu sosial dan ilmu alam) dan teknologi yang berkembang secara spektakuler menambah keyakinan itu, terutama dalam hal rasa kedigdayaan manusia dalam mengontrol alam dan kemampuannya menentukan arah sejarah masa depan. Begitu optimismenya keyakinan Pencerahan ini hingga menubuwatkan suatu doktrin perkembangan sejarah, sebagai gerak “maju secara linear”. Yakni suatu evolusi sejarah yang bergerak lurus mendaki menuju kegemilangan, yang juga terkandung di dalam pengertian “the idea of progress”.
Kenyataannya doktrin ini hanyalah mitos belaka, yang muncul dari trauma sejarah Abad Pertengahan Eropa dan kebangkitan egosentrisme yang meluas dalam diri manusia. Laksana “lupa akan dirinya”, peristiwa-peristiwa seperti penjajahan, konflik dan perang dunia, tragedi holocaust, kerusakan alam dan perubahan iklim, peningkatan kesenjangan ekonomi dan bencana kelaparan lainnya membuktikan kelirunya keyakinan doktriner tersebut.
Khazanah Islam sendiri, seperti telah disinggung dalam esai sebelumnya, tidak mengenal konsep kemajuan-linear. Tidak linear-mendaki (menuju kegemilangan) ala Pencerahan Eropa; tidak pula linear-menurun (menuju kehancuran). Hanya saja dalam tradisi Islam dikenal suatu generasi dengan kapasitas moral terbaik, yakni salafus sholih, menyusul kemudian generasi tabi’in (para pengikut salafus solih) dan tabi’it tabi’in (para pengikut tabi’in). Sedangkan kapasitas generasi-generasi setelah itu diyakini akan menurun atau dapat meningkat secara relatif.
Relatif di sini dimaknai dalam pengertian bahwa kualitas penurunan/peningkatan kapasitas generasi-generasi itu akan semakin dipengaruhi oleh baik-buruknya lingkungan sosial dunia-historis yang sudah ada dan perkembangannya. Yakni baik/buruknya lingkungan sosial di unit-unit sosial terkecil (keluarga), masyarakat lokal dan nasional maupun masyarakat regional dan global, yang semakin terkoneksi dan saling pengaruh-mempengaruhi secara kompleks antara satu dengan yang lainnya.
Perlu juga ditambahkan pada itu semua pengaruh kondisi lingkungan alam (kerusakan bumi daratan dan lautan) yang ada dan perkembangannya berikutnya pada skala lokal dan global yang diakibatkan oleh kombinasi penggunaan sains dan teknologi serta perilaku manusia sendiri.
Kita tidak dapat membayangkan misalnya, bagaimana teknologi nuklir di dunia yang diwarnai perlombaan senjata digunakan oleh penguasa pemerintahan yang egois. Kita mungkin sedikit dapat membayang bilamana ilmu pengetahuan (ilmu politik, sosiologi, psikologi, ilmu ekonomi, hukum, dst) dimanfaatkan oleh para pemiliknya secara tidak bertanggung jawab di dalam kehidupan masyarakat yang beragam dan rentan konflik. Alangkah mengerikannya situasi itu, mungkin saja dapat mengantar pada kehancuran!
Umat Muslim meyakini suatu doktrin perihal kehancuran dunia di Hari Kiamat. Namun tidak ada informasi secara pasti kapan hari akhir dunia itu tiba. Sinetron di televisi menggunakan judul Kiamat Sudah Dekat, yang konon ditandai oleh krisis sosial dan kemerosotan moral yang luar biasa, namun tetaplah manusia tidak mengetahui kepastian datangnya Kiamat itu. Yang dapat diketahui secara jelas hanyalah kenyataan bahwa krisis sosial, kemerosotan moral dan bencana alam yang menurut banyak orang sudah meluas terjadi, memiliki sebab-musabab. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran: Dhaharal fasadu fil barri wal bahri bimaa kasabat aidinnaas. Bahwa kerusakan yang nampak di darat maupun lautan karena ulah perbuatan manusia (Ar Ruum, ayat 41).
Dengan kata lain, kemerosotan moral, krisis sosial dan kerusakan alam di dunia ini tidaklah bersifat alamiah. Semua itu diciptakan atau produk dari perilaku manusia sendiri. Oleh karena tidak bersifat alamiah, situasi itu bagaimanapun juga dapat diperbaiki dan dapat diubah. Manusia, dalam kesadarannya yang baru dan hasil proses belajarnya dari sejarah, dapat membangun masa depan yang baik, bahkan lebih baik daripada sebelumnya. Seperti dinyatakan dalam Al-Quran: Inna Allaha laa yughayyiru ma biqawmin hattaa yughayyiru maa bi anfusihim. Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka (Ar Ra’du, ayat 11).
Semua uraian ini kurang lebih membawakan pemahaman bagi penulisnya bahwa suatu impian terkait erat dengan perubahan. Namun bentuk dan karakter tindakan perubahan itu juga amat bergantung kepada pandangan-dunia dan budaya yang dianut masyarakatnya.
Bagaimanapun juga masyarakat yang melihat dunia semesta dengan penuh kekaguman dan rasa syukur, sebagai ciptaan yang bersifat Ilahiah, nampak lebih punya rasa hormat kepada lingkungan sosial dan alam sekitar. Sebaliknya, mereka yang bersifat egosentrik dan terlalu obsesif terhadap pencapaian masa depan pribadi/kelompok sendiri via sains dan teknologi modern sambil menegasikan kebaikan bersama dan kelompok lain sangat berpotensi destruktif terhadap alam dan kemanusiaan.
Saya tidak tahu apakah kita dapat mengembangkan daya dan upaya kolektif untuk mengombinasikan inovasi sains dan teknologi modern, sekaligus sebagai bagian dari sarana baru dalam menghayati rasa takjub dan syukur manusia terhadap tatanan kosmos Ilahiyah yang “tiada sia-sia” ini. [bersambung]
Penulis adalah Dosen Sosiologi UNU Indonesia, Jakarta