Nasional

Di Sidang MK, Pemohon Ungkap Kerugian Publik Jika Wamen Rangkap Jabatan Komisaris BUMN

NU Online  ·  Selasa, 12 Agustus 2025 | 15:00 WIB

Di Sidang MK, Pemohon Ungkap Kerugian Publik Jika Wamen Rangkap Jabatan Komisaris BUMN

Sidang lanjutan soal wamen rangkap jabatan komisaris BUMN di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Selasa (12/8/2025). (Foto: NU Online/Haekal)

Jakarta, NU Online

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan untuk perkara Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Ketua Perhimpunan Pengacara Konstitusi Viktor Santoso Tandiasa di Gedung MK Lantai 4, Jakarta Pusat pada Selasa (12/8/2025). Viktor menggugat norma berkaitan dengan rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris di BUMN.


Usai persidangan, ia menjelaskan bahwa para hakim lebih fokus mempertanyakan soal kedudukan hukum (legal standing) dari pemohon.


Ia mengaku pernah menjadi pemohon dalam perkara serupa pada 2020. Namun kali ini, menurutnya, logika kedudukan hukum dibangun dengan lebih kuat karena berkaitan langsung dengan dampak dari rangkap jabatan.


"Saya sudah membangun logika legal standing bahwa dengan rangkap jabatan berarti kan tanggung jawab komisaris tidak dilaksanakan dengan baik," katanya kepada NU Online.


Menurut Viktor, jabatan komisaris memiliki tanggung jawab penting untuk mengawasi jalannya kebijakan perusahaan agar tidak merugikan negara atau masyarakat.


"Komisaris itu kan tugasnya soal menasihati, memberikan pertimbangan agar tidak merugikan dalam mengambil kebijakan dan juga melakukan pengawasan agar tidak terjadi praktek korupsi," tegasnya.


Ia mencontohkan salah satu kasus yang dinilainya mencerminkan lemahnya pengawasan komisaris. Viktor beralasan dalam kasus BBM oplosan sebagai bukti lemahnya pengawasan komisaris yang seharusnya ikut bertanggung jawab atas terjadinya praktik tersebut.


"Kok bisa sampai terjadi praktik seperti itu? Berarti komisarisnya tidak bekerja dengan baik, nah kalau tidak bekerja dengan baik berarti ya bisa jadi karena tidak fokus, karena rata-rata dirangkap oleh wakil menteri," ujarnya.


Ia pun menyatakan optimisme bahwa saat ini peluangnya untuk diakui memiliki legal standing cukup besar, terutama karena dampak kerugian dari kebijakan tersebut dirasakan langsung oleh masyarakat.


"Saya melihat potensi untuk mendapatkan legal standing sudah cukup besar karena memang sebab-akibat dengan BBM oplosan itu kota juga merasakan langsung harus mendapatkan isi bensin dengan kualitas yang buruk," ujarnya.


Lebih jauh, Viktor mengkritisi cara hakim menafsirkan putusan-putusan sebelumnya, khususnya terkait anggapan bahwa pertimbangan hukum dalam Putusan Perkara Nomor 80/PUU-XXI/2023 merupakan ratio decidendi yang mengikat.


Ia menjelaskan bahwa yang diuji dalam putusan tersebut adalah Pasal 10, sementara penjelasan MK justru menyentuh Pasal 23. Karena tidak berkaitan langsung dengan objek yang diuji, menurutnya, bagian tersebut seharusnya dikategorikan sebagai obiter dicta yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.


Ia berharap penjelasannya di hadapan hakim konstitusi dapat memberikan kejelasan hukum dan memperkuat argumen dalam amar putusan nanti.


"Setelah dijelaskan seperti itu saya melihat respons hakim memahami tentang hal itu, ya mudah-mudahan dengan begitu MK bisa lebih yakin untuk memasukkan amar putusan, karena dengan begitu sudah tidak ada lagi perdebatan, apakah ini ratio decidendi atau obiter dicta," katanya.


"Kalau MK kabulkan permohonan ini maka otomatis sudah menjadi eksplisit larangan wakil menteri dilarang menjabat, sehingga kalau tidak dilaksanakan juga adalah bentuk perbuatan melanggar hukum," pungkasnya.