Opini

Perihal Masa Depan yang Misterius (III)

NU Online  ·  Rabu, 12 April 2017 | 08:30 WIB

Perihal Masa Depan yang Misterius (III)

Ilustrasi (naver.com)

Oleh Mh Nurul Huda

Berbicara tentang masa depan atau menyatakan Islam agama yang berorientasi masa depan, betapapun dilakukan secara relatif seksama dan hati-hati, tampaknya bukanlah tanpa “risiko”. Berbeda halnya bila kita membicarakan hal ini dalam praktik hidup sehari-hari, atau dalam ilmu-ilmu sosial, atau dalam lingkup yang sedapat mungkin bersifat holistik.

Risiko tak dapat dihindari dalam hidup. Tetapi budayawan Dr Mohamad Sobari mengingat kita arti sebuah keberpihakan: Anda harus bersikap arif dalam memandang kehidupan; Anda mungkin saja “tidak benar” tetapi yang pasti Anda tidak boleh salah. Pesan ini amat berharga, meski terdengar ambigu seperti ambigunya kenyataan-kenyataan hidup yang kita alami dan terpaksa kita terima.

Dalam kenyataan yang hidup, kita dapat menyaksikan baik perseorangan maupun lembaga modern (entah yang bersifat umum ataukah keagamaan) giat membuat perencanaan-perencanaan di awal tahun kerja untuk masa depannya. Diantara mereka mungkin sedang berada dalam kondisi krisis dan tak menentu, lalu muncul kehendak kolektif dan sadar untuk mengatasi keadaan yang dialami. Mereka mengelola dan mengantisipasi perubahan-perubahan serta merencanakan masa depan-masa depan alternatif yang mereka inginkan (preferable futures) dan diinginkan lembaga atau masyarakatnya.

Mahasiswa pengantar sosiologi di kelas saya mengetahui hal itu via Dalil Thomas yang mengatakan: If men define situations as real, they are real in their consequences. Bila orang menafsirkan sebuah situasi dalam gambaran tertentu yang kemudian membimbing tindakannya, maka konsekuensi gambaran itu menjadi nyata. Kisah Karyati yang perempuan, tua renta dan orang kecil dalam esai ini dihadirkan sebagai salah satu kasus.

Perihal Masa Depan yang Misterius (II)

Karyati adalah contoh individu, tetapi ini juga berlaku pada masyarakat atau komunitas. Masyarakat yang tanpa tujuan, tanpa impian masa depan, akan hanyut terseret arus dari masa depan yang tak diinginkannya menuju masa depan berikutnya yang kurang lebih serupa. Begitu pula komunitas yang terus-menerus sekadar bereaksi terhadap satu perubahan ke perubahan berikutnya akan berjalan hidup dari krisis ke krisis. Terus menerus demikian tertimpa krisis hingga akhirnya putus asa dan fatalis.

Sebelum ada demarkasi dalam ilmu sosial, ilmu pengetahuan (science) belum berpisah jalan dengan filsafat dan filsafat belum cerai dari teologi, demikian kata sejarawan dan sosiolog terkemuka Fernad Braudel dan Immanuel Wallerstein, para pemikir kuno (filsuf) biasa berkonsultasi dengan teks-teks keagamaan dan kearifan-kearifan tradisi lisan. Maka ijinkanlah sekarang saya berkonsultasi dengan salah satu tradisi itu, yakni ajaran dan pandangan dunia Islam, tentang kesadaran masa depan.

Al-Quran mengingatkan kita pemeluknya untuk menyadari sejarah orang-orang terdahulu dan masa depan mereka. Ittaquu maa baina aidiikum wa maa khalfakum la’allakum turhamuun, berhati-hatilah mengenai apa yang ada di hadapanmu dan apa yang datang supaya engkau mendapatkan rahmat (Surat Yasin, Ayat 45). Tak syak lagi di sini Al-Qur’an juga mengandung gagasan mengenai masa depan dan terkait erat dengan konsep “akhirat”.

Akhirat adalah konsep waktu dalam Islam, kata Ziauddin Sardar, tetapi bukan konsep waktu yang berjalan maju secara linear seperti dipikirkan oleh filsafat rasionalis dan materialistik. Waktu dalam Islam adalah suatu hamparan di mana waktu duniawi dan waktu abadi terjalin bersama. Hidup kita sekarang adalah waktu dunia yang sementara, sedangkan akhirat adalah waktu abadi.

Semua muslim meyakini, kehidupan ini tidak berakhir setelah kematian. Semua perbuatan di dunia fana akan berdampak pada kehidupan kemudian. Kelak mereka harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Ini berarti waktu masa depan dalam Islam adalah (1) mencakup waktu dunia dan waktu akhirat; dan (2) masa depan adalah waktu pertanggungjawaban (akuntabilitas).

Nabi Muhammad adalah contoh yang baik mengenai pentingnya kesadaran masa depan. Ketika memutuskan hijrah dari Mekkah ke Madinah, ia melakukannya dalam rangka mengantisipasi aneka kemungkinan masa depan yang akan dihadapinya dan para pengikutnya. Kita belajar bagaimana ia memahami benar situasi mutakhirnya waktu itu, baik yang dialaminya secara internal (di tinggal wafat sang paman yang setia melindunginya) maupun lingkungan sekitarnya (permusuhan dan ancaman kaum Quraish yang mengeras). Hijrah itu direncanakan secara seksama, jalurnya diamati selama beberapa bulan dan dipastikan aman dari hadangan tentara Quraish. Seorang pemimpin punya tanggung jawab.

Terkait dengan akuntabilitas dan masa depan, kita memiliki konsep khalifah fil ardl. Manusia diberikan hak menjadi “pengganti Allah” atau wakil Allah di muka bumi. Tentang tanggung jawabnya, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa khalifah adalah:

“. . . [F]ungsi kemasyarakatan yang mengharuskan kaum muslimin untuk senantiasa memperjuangkan dan melestarikan cita hidup kemasyarakatan yang mampu menyejahterakan manusia itu sendiri secara keseluruhan dan tuntas. . . diharuskan untuk menentang pola kehidupan bermasyarakat yang eksploitatif, tidak manusiawi serta tidak berasaskan keadilan dalam artian yang mutlak” (tambahan cetak miring dari saya sendiri).

Di tempat lain, Gus Dur mengatakan kehidupan adalah amanah yang dianugerakan Allah kepada manusia. Dan karena itu sudah sepantasnya manusia memelihara amanah tersebut (himayah). Itulah mengapa kelestarian bumi dan kesejahteraan umat manusia harus diwujudkan untuk generasi masa depan dalam keadaan yang baik, bahkan bila mungkin lebih baik, daripada sebelumnya. Seperti dinyatakan dalam Al-Quran: Wa an-laisa lil-insani illa ma sa’aa. Dan bahwa seorang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (An-Najm, ayat 39).

Belajar dari kisah-kisah ini, baik kisah orang kecil maupun orang besar, ada sesuatu yang dapat kita pelajari (ini juga berlaku bagi diri penulis sendiri). Jembatan antara masa lampau dan masa depan bukanlah sekadar gambaran mengenai masa depan dan tindakan masa kini (sekarang dan disini), melainkan juga suatu etika, tanggung jawab dan akuntabilitas. [bersambung]


Penulis adalah Dosen Sosiologi UNU Indonesia, Jakarta

Perihal Masa Depan yang Misterius (I)