Oleh A Muchlishon Rochmat
Ketika kita mendengar kata “pendidikan” tentu yang terlintas di otak kita adalah sekolah. Iya sekolah formal. Pemahaman kita terhadap pendidikan dikacaukan dan dikaburkan dengan hanya menganggap pendidikan sekolah lah yang disebut pendidikan dan bernilai. Pendidikan sekolah dianggap segala-segalanya dan menentukan kesuksesan kehidupan seseorang. Padahal pendidikan sekolah merupakan salah satu dari tiga pilar pendidikan yang ada, di samping pendidikan keluarga dan pendidikan lingkungan.
Menurut pakar pendidikan, Paulo Freire, pendidikan adalah proses humanisasi, sebuah proses yang menempatkan manusia menjadi manusia dan sebuah proses untuk menjadikan manusia. Orang yang terdidik diharapkan akan mengetahui peran dan fungsinya dimanapun ia berada, jadi pendidikan bukan hanya melulu nilai dan skor tapi yang lebih mendasar adalah nilai, karakter dan sikap. Bagaimana orang yang berpindidikan memiliki nilai-nilai (values), karakter yang kuat dan sikap yang baik dan luhur.
Selama ini orang dianggap berpendidikan kalau ia menyelesaikan tingkatan pendidikan formal seperti sekolah –mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ijazah dijadikan indikator dan parameter kemampuan seseorang. Selembar ijazah di Indonesia memiliki nilai yang sangat fantasitis dan segalanya, tidak sedikit orang yang berijazah tidak merepresentasikan keahliannya sesuai dengan ijazahnya.
Pendidikan yang berdasarkan ijazah (based certificate) mudah sekali dimanipulasi dan dipalsukan. Beberapa waktu lalu kita digemparkan dengan pemberitaan media massa yang mengungkap kasus wisuda bodong salah satu perguruan tinggi di daerah Tangerang Selatan, tidak usah ikut perkuliahan dan dengan membayar uang 15 juta sudah bisa ikut wisuda. Mendapatkan selembar ijazah. Sungguh ironi dan naïf apabila kita menganggap pendidikan sekolah itu segalanya.
Pendidikan nasional kita juga masih terombang-ambing dalam ketidakjelasan. Saat ganti menteri, ganti juga kebijakan dan regulasi tentang pendidikan sekolahnya. Gonta-ganti arah pendidikan nasional tersebut yang menyebabkan kabur dan tidak terarahnya pendidikan nasional kita. Mau dibawa kemana pendidikan nasional kita ke depan?
Memperkuat Tiga Pilar Pendidikan
Seperti yang tekah disebutkan di atas bahwa pendidikan memiliki tiga pilar; keluarga, sekolah dan lingkungan. Dari ketiga pilar pendidikan tersebut, keluarga lah yang memiliki porsi waktu paling banyak. Dan ibu adalah madrasatul ula (sekolah pertama) bagi seorang anak, jadi dengan semikian keluarga lah yang mampu membentuk watak dan karakter seorang anak. Apabila pendidikan keluarga seseorang baik dan maksimal, seorang anak akan lebih mantap dan percaya diri untuk menghadapi masa depan.
Di Jepang ada sekolah khusus buat seorang perempuan yang hendak menikah. Di sekolah tersebut diajarkan berbagai macam keahlian seorang istri dan ibu seperti melayani suami hingga mengasuh dan mendidik anak. Hal tersebut menandakan betapa pentingnya madrasatul ula bagi seorang anak. Gaji seorang guru PAUD dan TK di sekolah Jepang jauh lebih besar dari guru SD, SMP, SMA bahkan universitas. Karena saat PAUD dan TK seorang guru harus benar-benar memiliki kemampuan dan kompetensi tinggi dalam mendidik, usia balita adalah usia emas untuk membentuk dan membangun karakter dan watak seorang anak (character building era).
Pilar kedua adalah pendidikan masyarakat. Pendidikan masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang konkrit, karena ia praktik langsung dengan masyarakat. Pendidikan yang dibentuk oleh masyarakat sangat mempengaruhi karakter seseorang. Apabila situasi dan kondisi masyarakatnya datar-datar saja, maka akan membuat seseorang kurang memiliki tekad yang kuat. Berbeda kalau masyarakat dan lingkungannya menantang, itu akan mengajarkan ketahanan dan kekebalan serta tekad yang kuat seseorang.
Pilar pendidikan terakhir adalah pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah memiliki waktu yang paling singkat jika dibandingkan dengan dua pilar pendidikan di atas. Namun sekolah merupakan pilar pendidikan yang paling prestisius dan paling ‘dihargai’ di Indonesia. Memang, jika dibandingkan dengan dua pilar pendidikan di atas, pendidikan sekolah lebih terstruktur, sistematis dan memiliki indikator yang jelas, meski tidak sedikit yang dimanipulasi. Pendidikan sekolah seolah-olah menjadi sesuatu “waw”. Orang dikatakan berpendidikan kalau ia bersekolah.
Sungguh ironi memang, ketiga pilar pendidikan tersebut sama-sama memiliki peran dan kontribusi yang ideal untuk membentuk karakter dan watak seseorang. Apabila ia gagal dalam satu pilar pendidikan, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam dirinya. Kalau sekolah ‘hanya’ memberi kecerdasan intelektual, maka harus dilengkapi dengan kecerdasan dengan kecerdasan-kecerdasan lainnya seperti kecerdasan nilai-nilai, sosial, spiritual, karakter dan lainnya. Dan itu bisa didapatkan di pendidikan keluarga dan masyarakat yang sering kita kesampingkan.
*Penulis adalah jurnalis NU Online, Wasekjen MPII Pusat