Opini

Pancasila dan Risiko Jalan Tengah

Sab, 14 Maret 2020 | 14:15 WIB

Pancasila dan Risiko Jalan Tengah

(Foto ilustrasi: NU Online)

Diskusi Indonesia Lawyers Club TV One beberapa waktu lalu yang membahas pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi bahwa ‘agama’ adalah musuh Pancasila berlangsung tegang. Dalam forum itu terjadi perdebatan seputar kebenaran ucapan tersebut. Inti dari perdebatan itu adalah, bahwa di satu pihak pernyataan Kepala BPIP itu dianggap pelecehan terhadap agama dan di pihak lain tidak demikian. Pernyataan itu ditujukan bukan kepada agama tapi kepada kelompok agama tertentu yang pandangan politiknya tidak sejalan dengan ideologi Pancasila. Sebagai closing remark, Mahfud MD, Menko Polhukam mengatakan bahwa Pancasila tidaklah bertentangan dengan agama dan bahwa Pancasila adalah ideologi jalan tengah (modus vivendi) yang tidak sekular seperti yang semula Soekarno inginkan dan bukan negara Islam seperti yang semula M. Natsir (1908-1993), pemimpin Masyumi, inginkan.

 

Sebagai ideologi jalan tengah, Pancasila selalu dalam tarik-menarik antara kelompok ‘kanan’ dan ‘kiri’. Ini risiko memilih posisi tengah yang secara alamiah berada di antara tegangan positif dan negatif. Posisi yang rawan terkena setrum jika tidak benar-benar di tengah. Ulil Abshar Abdalla pada peluncuran Institute for Islamic and Peace Studies di Graha Pena Surabaya (2007) mengatakan bahwa berada di tengah amatlah baik jika mampu. Jika tidak, maka ia tidaklah nyaman karena berada di antara dua tegangan. Tampaknya, inilah yang terjadi pada Pancasila yang hingga kini dianggap terlalu didominasi oleh kelompok tertentu (nasionalis) dalam penafsirannya.

 

M. Natsir dan tokoh Masyumi lainnya kerap mengkritik Soekarno dan kelompok nasionalis karena dianggap sok Pancasilais. Hal ini sebagai tanggapan atas tuduhan kelompok nasionalis bahwa kelompok Islam tidak Pancasilais. Inti dari argumentasi Natsir (ceramah Nuzulul Quran, Mei 1954) adalah bahwa kelompok Islamlah yang lebih Pancasilais sebab mereka terlebih dahulu menjiwai nilai-nilai Pancasila yang didasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa. Sebelum ada Pancasila, umat Islam Indonesia sudah Pancasilais tidak seperti mereka yang tidak konsekuen terhadap dasar sila Ketuhanan yang Maha Esa, maka mereka akan terus mencari-cari bentuk padahal dalam Islam ia telah jelas adanya, tulis A. R. Baswedan (1955) tentang Siapa Musuh Pancasila yang dimuat ulang di Republika 20/02/2020.

 

Perdebatan ILC kemarin sejatinya adalah repetisi dari apa yang terjadi di awal kemerdekaan. Pemerintahan yang sedari awal kemerdekaan hingga kini banyak dipimpin oleh kalangan nasionalis (kecuali Presiden Abdurrahman Wahid/Gus Dur), dalam mepresrentasikan ideologi Pancasila, selalu bersinggungan dengan kelompok Islam ideologis atau yang oleh Gus Dur disebut dengan Islam Kanan.

 

Dibandingkan dengan era Soekarno, di mana pada Pemilu 1955 kelompok Islam mendapat suara melimpah: Masyumi 20,9%, Nahdlatul Ulama 18,4%, Partai Syarikat Islam Indonesia 2.89%, total 41%. Suara partai Islam saat ini, hasil pemilu 2019, jauh menurun: PKB 9,04%, PPP 6,53%, PAN 7,59%, PKS 6,79% (total 30% turun 11%). Angka ini menjadikan maklum mengapa perdebatan antara kelompok nasionalis dan Islam seputar Pancasila tidak lagi heboh, yaitu lantaran kekuatan politik Islam menurun. Hingga muncullah Persaudaraan Alumni (PA) 212 dengan motor Habib Rizieq Shihab di mana penafsiran Pancasila yang selama ini ‘nasionalis heavy’ kembali digugat bahkan dengan terang-terangan pada Agustus 2019 imam besar FPI itu menyebut Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tidak paham esensi Pancasila. Rizieq kembali mengusung penafsiran Pancasila versi ‘syariah’ mirip pandangan Masyumi dan memperjuangkan paradigma yang telah lama tenggelam oleh rezim Orde Baru dan perubahan konstelasi politik nasional.

 

Selain sebagai ideologi tengah seperti kata Mahfud MD, Pancasila juga dinyatakan sebagai ideologi terbuka (Moerdiono, 1992). Sifat ini mendorong Pancasila sebagai ideologi yang dinamis dan luwes dalam menghadapi perubahan zaman dengan menggali dari nilai luhur budaya Indonesia. Lagi, sifat ini juga membuka peluang tarik-menarik antar kelompok ideologi. Di era Soekarno, komunisme pernah mendominasi pemaknaan Pancasila. Demikian pula di era Soeharto, pemaknaan Pancasila dikendalikan pemerintah dan dimanfaatkan untuk menyerang lawan politik dari kelompok Islam.

 

Selain potensi konflik penafsiran, kehadiran Pancasila di tengah kehidupan juga kurang terasa. Suatu hal yang lebih bersifat afeksi daripada kognisi. Sujiwo Tejo dalam diskusi di ILC bertanya dengan lantang: “Mana Pancasila dalam kehidupan kita?” Artinya bahwa falsafah Pancasila sebagai sumber nilai tidak terasa pengaruhnya bagi kita. Dia kemudian memberi contoh: “Saya kalau di forum tidak pernah melihat HP kalau ada orang bicara. Demikian juga saya kalau sedang bicara, saya larang orang menghubungi saya. Ini adalah moral Pancasila,” demikian kata Tejo sang dalang koboi.

 

Kebutuhan akan corak khas Pancasila memang tidak bisa dihindari kalau tidak ingin dianggap tidak eksis. Seperti di negara Barat yang kapitalis, tampak ada penciri gemerlap cahaya kota sementara di negara komunis hening dan kurang pencahayaan. Ini adalah distingsi yang nyata yang menjelaskan identitas Ideologi.

 

Identitas Pancasila dalam budaya bangsa dengan demikian perlu dipertebal agar tidak terpinggirkan oleh identitas primordial dan universal. Banyaknya hal yang beririsan dalam nilai kehidupan, menjadikan problem identitas Pancasila semakin nyata. Seperti nilai toleransi dan penghargaan terhadap kebinekaan, ia telah menjadi nilai universal sehingga seolah bukan keunggulan nilai Pancasila. Ideologi Islam pun demikian meyakini bahwa toleransi adalah nilai Islam yang telah menyatu dalam jiwa umat Islam Indonesia. Tumpang tindih antara nilai lokal, agama, dan universal sering menjadikan identitas Pancasila tergeser. Paling kalau ada kelompok Islam garis keras melakukan aksi main hakim sendiri dengan merusak tempat yang diduga menjadi sarang maksiat, baru orang akan berkata bahwa “Ini negara Pancasila bukan negara Islam, jangan main hakim sendiri!” Seolah Pancasila memberikan peluang bagi praktik kemaksiatan, padahal tidak. Selain Pancasila juga menolak tindakan main hakim sendiri atas nama agama. Kalau ada yang negatif yang disalahkan Pancasila. Kalau ada yang positif, seperti toleransi, Pancasila dilupakan yang disebut sumber nilai yang lain.

 

Ini risiko Pancasila sebagai ideologi jalan tengah dan terbuka yang ‘lemah’ secara identitas. Sejatinya, identitas bisa dibangun jika positioning jelas: kiri atau kanan? Setelah itu untuk pengembangan perlu bergeser ke kanan ke kiri demi menjawab tantangan zaman. Kapitalisme seumpama, terbuka mengambil sesuatu yang positif dari Sosialisme atau sebaliknya. Pergeseran ideologis ini terjadi tanpa mengurangi identitas ideologi masing-masing. Seperti tatkala Amerika yang kapitalis di era Obama memberikan subsidi kesehatan kepada masyarakat miskin yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan tradisi kapitalisme yang menghindari intervensi pemerintah dalam hal tersebut. Selain itu praktik adopsi dari lawan ideologi juga terjadi. Negara komunis China yang seharusnya anti free market dan tidak mendukung berkembangnya bisnis swasta, ternyata sekarang justru sebaliknya berkembang pesat sebagai penguasa pasar bebas dan melahirkan orang terkaya di Asia, Jack Ma, pengusaha retail online Alibaba. Pergeseran sedikit ke kanan dan sedikit ke kiri sulit dihindari demi menjawab tuntutan zaman meski pergeseran itu tidak selalu sukses. Mikhail Gorbachev, pemimpin Uni Soviet 1985-1991, mencanangkan keterbukaan (glasnost) dan restrukturisasi (perestroika) namun gagal dan mengakibatkan runtuhnya Republik Sosialis Uni Sovyet pada 1991.

 

Walhasil, apa yang menjadi pertanyaan besar tentang wujud konkret Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia, bisa dimaklumi adanya. Krisis identitas perlu dicari solusinya demi kebaikan bangsa dan negara. Terkait aspirasi Islam yang dahulu di era Soekarno diperjuangkan hidup-mati, maka tampak ada harapan baik tentang bagaimana Pancasila mampu mengakomodasi aspirasi itu kini.

 

Naiknya KH. Ma’ruf Amin mantan ketua Majelis Ulama Indonesia sebagai wakil presiden menjadikan banyak aspirasi umat Islam yang naik menjadi program pemerintah. Wapres menginginkan agar Indonesia menjadi produsen produk halal terbesar di dunia, bisnis dan perbankan syariah RI bakal digenjot hingga 2024, Mandalika akan menjadi wisata halal terbesar di dunia, kewajiban sertifikasi halal bagi semua produk, sejuta santri menjadi pengusaha, akses bagi wanita berjilbab di kepolisian dan tentara, dan program pengembangan sumberdaya umat lainnya. Dengan masuknya banyak program keumatan ke dalam program pemerintah, maka realisasi Pancasila sebagai ideologi yang bersilakan pertama pada Ketuhanan yang Maha Esa telah terwujud dengan segala kekurangannya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa meski partai Islam kehilangan suara dibandingkan pemilu pertama, 1955, namun aspirasi umat banyak terwujud saat ini. Suatu hal yang menarik tentunya.

 

 

Achmad Murtafi Haris, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya