Oleh: A Muchlishon Rochmat
Riak-riak perjuangan untuk menerapkan konsep negara Islam atau khilafah kembali ramai di jagat bumi Indonesia. Ada sekelompok orang yang menganggap bahwa Indonesia akan maju kalau menggunakan sistem khilafah atau negara yang mengadopsi syariat Islam secara legal-formal. Hal ini bukanlah kejadian yang pertama bagi Indonesia. Para pendiri bangsa pada saat merumuskan ideologi negara ini pun juga berdebat sengit terkait dengan model dan dasar negara ini. Namun akhirnya, mereka menyepakati Pancasila sebagai dasar negara karena dinilai mampu menjadi pemersatu antar pemeluk agama yang eksis di Indonesia.
Adalah sebuah kenyataan sejarah bahwa model negara-bangsa (nation-state) banyak diadopsi oleh bangsa-bangsa di dunia saat ini, termasuk Indonesia. Model negara-bangsa menjadi pilihan karena dengan menerapkan konsep inilah persoalan pluralisme bisa diatasi dengan baik. Selain itu, konsep negara-bangsa juga dinilai cocok di era global ini.
Sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state), Indonesia menerapkan sistem demokrasi di dalam menjalankan roda pemerintahannya. Dengan sistem ini, semua orang memiliki hak yang sama untuk dipimpin maupun menjadi pemimpin. Dan yang menjadi panglima tertinggi adalah hukum positif yang telah disepakati bersama. Instrumen hukum tersebut bisa bersumber dari warisan hukum masa lalu, ajaran agama, maupun dari hukum tradisi masyarakat lokal.
Negara bangsa dibangun di atas perbedaan masyarakatnya, mulai dari agama, budaya, suku, dan bahasanya. Mereka hidup rukun damai dalam sebuah wadah yang disebut dengan negara-bangsa. Meski demikian, tidak sedikit yang mayoritas menjadi ‘semena-mena’ atas yang minoritas. Tetapi, bukankan Bung Karno menyatakan bahwa Indonesia bukanlah dibangun untuk golongan-golongan, tetapi Indonesia dibangun untuk semua. Ini yang harus menjadi perhatian kita.
Meski sudah diputuskan bersama bahwa Indonesia adalah negara yang berideologi Pancasila menjelang kemerdekaannya, namun di dalam sejarahnya, ada beberapa gejolak berdarah antara yang memperjuangkan konsep negara bangsa yang berdasarkan Pancasila dan yang memperjuangkan konsep negara Islam dengan syariat Islam sebagai dasarnya. Tidak tanggung-tanggung, mereka melawan pemerintah yang sah dan melakukan tindakan-tindakan militeristik demi mewujudkan konsep negara yang mereka sepakati, yaitu Negara Islam Indonesia. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Kartosuwiryo dengan DI/TII nya.
Singkatnya, di dalam negara bangsa masyarakat ‘menjadi satu’ karena persamaan sejarah dan kesamaan visi, misi, dan tujuan, bukan karena se-agama, se-suku, se-bahasa, ataupun se-budaya.
Sementara, negara syariat menjadikan syariat agama tertentu sebagai sumber dan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau di Indonesia, Negara Syariat didasarkan kepada penerapan syariat agama Islam. Menurut saya, setidaknya ada tiga alasan mengapa mereka keukeuh ingin menerapkan konsep negara syariat di Indonesia ini. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam. Sebagai mayoritas, mereka mengganggap bahwa sudah sepatutnya syariat Islam dijalankan di bumi nusantara ini.
Kedua, Islam adalah agama yang kaffah (lengkap). Menurut mereka, Islam adalah agama yang mengatur segala macam urusan manusia. Mulai dari urusan pribadi sampai urusan tata negara. Maka dari itu, menjadikan Islam sebagai dasar negara adalah sebuah keharusan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera. Mereka meyakini bahwa dengan menerapkan syariat secara legal-formal atau sistem negara khilafah, maka Indonesia akan bisa maju dan sentosa.
Ketiga, mereka berpandangan bahwa konsep negara-bangsa mencerai-beraikan umat Islam yang ada di satu negara dengan yang ada di negara lainnya. Mereka menganggap bahwa umat Islam tidak akan bisa bersatu selama konsep-negara bangsa masih ada.
Tiga Paradigma Relasi Agama dan Negara
Setidaknya ada tiga macam paradigma dalam melihat relasi antara agama dan negara. Pertama, integralistik. Pola hubungan dimana agama dan negara itu satu dan tidak bisa dipisahkan. Mereka yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara menilai pandangan integralistik inilah yang seharusnya diterapkan di Indonesia. Dimana semua konsep kehidupan diatur di dalam Islam.
Kedua, mutualistik. Di dalam paradigma ini, agama dan negara berhubungan timbal balik dan saling melengkapi. Hukum-hukum agama bisa diadopsi menjadi hukum positif negara. Begitupun sebaliknya, negara membutuhkan agama agar kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki etik dan moral. Sebagaimana yang kita tahu, pola hubungan agama dan negara di Indonesia adalah pola hubungan yang kedua ini.
Ketiga, sekularistik. Dimana agama dan negara benar-benar dipisah. Urusan agama adalah urusan privat, sementara urusan negara adalah urusan publik. Maka dari itu, apapun yang berbau agama tidak diperbolehkan untuk ditampilkan di ruang-ruang publik. Banyak negara-negara Eropa yang menerapkan pandangan ketiga ini.
Saya yakin, apapun konsep negara yang diterapkan, entah itu negara bangsa berlandaskan Pancasila ataupun negara syariat berdasarkan syariat Islam, yang terpenting adalah persatuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Sekarang, kita sudah punya ‘pondasi’ Pancasila. Tinggal bagaimana kita membangun Indonesia yang makmur sentosa. Kalau kita bongkar pondasi tersebut dan mengganti pondasi baru, butuh berapa lama untuk membangun Indonesia. Pun, belum tentu cocok dan berhasil diterpakan di Indonesia.