Opini

Moderasi Beragama dan Urgensinya

Rab, 16 Desember 2020 | 02:05 WIB

Moderasi Beragama dan Urgensinya

Ilustrasi moderasi beragama di Indonesia. (NU Online)

Penguatan moderasi beragama di Indonesia saat ini penting dilakukan didasarkan fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk dengan berbagai macam suku, bahasa, budaya dan agama.  Indonesia juga merupakan negara yang agamis walaupun bukan negara berdasarkan agama tertentu. 


Hal ini bisa dirasakan dan dilihat sendiri dengan fakta bahwa hampir tidak ada aktivitas keseharian kehidupan bangsa Indonesia yang lepas dari nilai-nilai agama. Keberadaan agama sangat vital di Indonesia sehingga tidak bisa lepas juga dari kehidupan berbangsa dan bernegara. 


Selain itu moderasi beragama juga penting untuk digaungkan dalam konteks global di mana agama menjadi bagian penting dalam perwujudan peradaban dunia yang bermartabat. Lalu bagaimana cara kita memahami ajaran agama itu yang kemudian akan terwujud pada prilaku dalam kehidupan?


Di sinilah diperlukan moderasi beragama sebagai upaya untuk senantiasa menjaga agar seberagam apapun tafsir dan pemahaman terhadap agama tetap terjaga sesuai koridor sehingga tidak memunculkan cara beragama yang ekstrem.


Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin menerangkan bahwa moderasi beragama bukanlah ideologi. Moderasi agama adalah sebuah cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat. Moderat di sini dalam arti tidak berlebih-lebihan atau ekstrem.  Jadi yang dimoderasi di sini adalah cara beragama, bukan agama itu sendiri. 


Agama sendiri merupakan sesuatu yang sudah sempurna karena datangnya dari Tuhan yang Maha Sempurna. Namun cara setiap orang dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama memiliki perbedaan. Hal ini karena keterbatasan manusia dalam menafsirkan pesan-pesan agama sehingga muncul keragaman.


Jika pemahaman dan penafsiran yang muncul tidak sesuai dengan nilai-nilai agama tentu akan terjebak pada pemahaman yang berimplikasi pada tindakan yang berlebih-lebihan. Inilah yang kemudian dinamakan sebagai beragama yang ekstrem. 


Kita paham semua bahwa sumber utama agama adalah teks yang terwujud dalam bentuk kitab suci dan orang-orang suci yang mendapat risalah untuk disampaikan kepada umat manusia. Dalam memahami ini, bisa saja seseorang terjebak pada pemahaman dua kutub ekstrem yang pada dasarnya sama-sama berlebih-lebihan.


Satu kutub terlalu tertumpu pada teks itu sendiri tanpa melihat konteks dari teks tersebut yang memunculkan sikap konservatif maupun ultra konservatif. Sementara kutub lainnya terlalu bertumpu pada otak dan nalar sehingga dalam memahami teks selalu mengandalkan konteks dan mengakibatkan keluar dari teks itu sendiri. Kutub kedua inilah yang memunculkan pemahaman liberal dan ultra liberal.


Dua kutub yang berlebih-lebihan ini sama-sama mengancam kehidupan beragama dalam mewujudkan peradaban dunia. Dua kutub ekstrem ini kan terus berjalan dinamis sehingga moderasi beragama juga harus dinamis dengan terus memposisikan diri di tengah.


Ada dua hal yang menjadi prinsip dan ciri moderasi beragama yang pada hakikatnya merupakan ajaran agama itu sendiri. Pertama adalah adil yakni harus melihat secara adil dua kutub yang ada dan kedua adalah berimbang dalam melihat persoalan yang ada. Artinya memahami teks harus sesuai dengan konteks, memahami konteks harus sesuai dengan teks.


Kemudian apa yang menjadi parameter dan tolok ukur dari moderasi beragama sehingga bisa merangkul pemahaman ekstrem kembali ke posisi moderat dengan tidak menyingkirkan, menyalahkan, ataupun mengkafir-kafirkannya?  Jawabannya adalah kemanusiaan yang memang menjadi inti dari beragama itu sendiri.


Jadi, jika ada orang yang memahami ajaran agama dan mengatasnamakan agama namun merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan, apalagi menghilangkannya, maka ini sudah dipastikan berlebih-lebihan. 


Dalam konteks Indonesia, komitmen kebangsaan harus ditegaskan kembali karena bagaimanapun juga keutuhan bangsa yang menjadi tempat umat beragama mengartikulasikan agama harus senantiasa terjaga keamanan dan kedamaiannya. Tidak boleh atas nama agama merusak sendi-sendi kehidupan dan kedamaian berbangsa. Kedamaian dalam sebuah bangsa menjadi syarat dalam kenyamanan mengimplementasikan nilai-nilai agama. 


Selain itu penting juga mengakomodasi ragam budaya lokal bangsa yang memiliki kekayaan khazanah dalam memahami agama. Seseorang harus senantiasa melihat budaya yang ada. Jika pun secara prinsip ada budaya yang bertentangan dengan inti pokok ajaran agama, maka harus melakukan pendekatan persuasif. Karena agama tidak bisa dibawakan dengan cara-cara kekerasan.


Bagaimana Agama di Mata Negara?


Dalam Pasal 29 Undang-undang 1945 ditegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.


Pasal ini menjadi dasar dan amanah agar negara menjamin kemerdekaan terhadap dua hal yakni kebebasan memeluk agama dan kebebasan beribadah sesuai kepercayaan. Indonesia sendiri memiliki relasi yang khas antara agama dengan negara. Indonesia bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama yang berdasar pada agama tertentu.


Sehingga negara memposisikan diri terhadap agama pada tiga ranah yakni pertama menjamin kemerdekaan terhadap dua hal yakni kebebasan memeluk agama dan kebebasan beribadah sesuai kepercayaan.


Kedua, negara memberi fasilitasi pada agama dan tidak bisa lepas tangan terhadap hal ikhwal keagamaan warga negaranya. Negara juga tidak bisa represif dan ‘memaksa’ warga negaranya untuk menganut perilaku keagamaan tertentu.


Ketiga, memberikan pedoman terhadap kehidupan beragama seperti adanya sidang isbat, penyelenggaraan haji, pendirian rumah ibadah, dan lainnya. Meskipun pedoman ini juga tidak bisa dipaksakan 


Agama sendiri bisa selalu dilihat dari dua perspektifnya yang berbeda. Pertama adalah perspektif formal institusional yang menyebabkan pendekatannya selalu segregatif (terpisah) yang melihat agama sebagai sebuah institusi formal seperti Islam, Kristen, Hidu dan lain-lain termasuk berbagai paham-paham yang ada dalam agama itu sendiri.  


Yang kedua adalah perspektif esensial atau substansial yang lebih menitikberatkan pada nilai-nilai ajarannya yang cenderung sama dan tidak terlihat keragaman agama satu dengan agama yang lain. Karena inti pokok ajaran agama itu pada dasarnya sama, seperti kemanusiaan, keadilan, persamaan di depan hukum, menghormati hal asasi manusia dan nilai-nilai universal lainnya. 

 


Muhammad Faizin, Sekretaris PCNU Pringsewu, Lampung

 

*) Artikel ini terbit atas kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI