Opini

Menyikapi Surat Hamas untuk RI, Teladan Rasulullah

Ahad, 30 Mei 2021 | 16:13 WIB

Menyikapi Surat Hamas untuk RI, Teladan Rasulullah

Indonesia tidak perlu terjebak dan turut campur menceburkan diri di dalam konflik maupun perang. Karena ajakan turut campur terlihat dari permintaan yang disampaikan Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas.

Pemimpin faksi Hamas Palestina, Ismail Haniyeh meminta Presiden RI Joko Widodo untuk menolong Palestina, terutama Gaza. Ia ingin Jokowi memobilisasi Arab dan Islam untuk menentang pendudukan Israel.


"Kami meminta Anda untuk bertindak segera, dan untuk memobilisasi Arab, Islam dan internasional," pinta Ismail Haniyeh dalam surat yang dikirim kepada Jokowi pada 12 Mei 2021 dikutip CNBC Indonesia.


Baik secara diplomatik dan kemanusiaan, Republik Indonesia sendiri selama ini aktif membantu upaya-upaya demi kemerdekaan dan kedaulatan rakyat Palestina. Simpati dan bantuan terhadap jatuhnya korban warga sipil tiap terjadi peperangan juga hadir dari ormas-ormas Islam di tanah air sembari menyerukan pengecaman dan pengutukan terhadap agresi Israel.


Baru-baru ini peperangan terjadi di Jalur Gaza antara pihak Hamas dan tentara Israel. Pemicunya ialah berawal dari pengusiran 28 keluarga Palestina dari lingkungan Sheikh Jarrah, Yerusalem yang dilakukan Israel untuk perluasan pemukiman Yahudi. Di Palestina sendiri, faksi Hamas dan faksi Fatah belum bisa bersatu.

 


Kondisi belum bersatunya Hamas dan Fatah di Palestina tidak perlu membuat Indonesia gegabah dalam menyikapi salah satu kelompok. Karena Indonesia mengupayakan kemerdekaan Palestina secara menyeluruh tanpa berpihak kepada salah satu faksi. Hal itu dibuktikan dengan konsistensi Indonesia dalam membela rakyat Palestina, yaitu mengusahakan kemerdekaan, membantu kemanusiaan, serta melakukan diplomasi di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).


Indonesia tidak perlu terjebak dan turut campur menceburkan diri di dalam konflik maupun perang. Karena ajakan turut campur terlihat dari permintaan yang disampaikan Ismail Haniyeh di atas. Jika terjebak ajakan dan permintaan tersebut, Indonesia tidak akan lagi menjadi penengah konflik yang dampaknya akan berimbas pada kegagalan mengupayakan kedaulatan rakyat Palestina.


Teladan Nabi Muhammad


Dalam kondisi tersebut, Nabi Muhammad pernah meneladankan ketika berupaya menyatukan suku-suku besar di Yatsrib (Madinah) yang berkonflik selama ratusan tahun. Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980) menjelaskan, sebelum memulai langkah untuk menyatukan masyarakat Madinah, tentu saja Nabi Muhammad terlebih dahulu menyatukan umat Islam, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Sebab, di tengah upayanya tersebut, ada beberapa kaum munafik yang berupaya menciptakan konflik antara kaum Muhajirin dan Anshar serta menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan antara Suku ‘Aus dan Khazraj.


Upaya kaum munafik tersebut berhasil dibaca oleh Nabi Muhammad sehingga kaum Muslimin tidak terjebak dan terjerumus dari upaya-upaya jahat itu. Kemudian Nabi Muhammad merangkul seluruh kaum dan mengikatnya dalam sebuah konsensus negeri Madinah, yakni Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).

 


Diceritakan oleh Husain Haekal, Nabi Muhammad melaksanakan kebijakan politik tingkat tinggi dengan mewujudkan “Persatuan Yatsrib”. Nabi Muhammad juga meletakkan dasar kenegaraan dalam Piagam Madinah itu dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan musyawarah dan persekutuan yang erat.


Kaum Yahudi menyambut baik Nabi Muhammad atas tujuannya menyatukan masyarakat Yatsrib. Nabi Muhammad bermusyawarah dengan para kepala suku yang selama ini lekat dengan konflik. Baik dari suku Quraidha, Suku Nadir, dan Suku Qainuqa. Begitu juga dengan kaum Nasrani.


Semua pembesar suku didekatkan oleh Nabi Muhammad. Dasar Nabi Muhammad sederhana karena mereka Ahli Kitab dan kaum Monoteis. Lebih dari itu bahwa ketika kaum Muslimin berpuasa, mereka juga ikut berpuasa karena ajaran umat-umat terdahulu. Bedanya, umat Islam telah disyariatkan dengan jelas oleh Nabi Muhammad.


Dari sisi kiblat, pada waktu itu kiblatnya dalam shalatnya masih sama ke arah Baitul Maqdis, titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya keluarga Israil. Dijelaskan oleh Husain Haekal, persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan Nabi Muhammad makin hari makin erat.

 


Kewibawaan Nabi Muhammad begitu jelas terlihat di depan masyarakat Yatsrib karena penuh dengan akhlak mulia, sangat rendah hati, sarat dengan kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka dengan fakir miskin, dan selalu hadir bagi orang yang hidup menderita.


Nabi Muhammad berhasil menyatukan masyarakat Madinah dengan ikatan perjanjian persahabatan dan persekutuan serta menetapkan kebebasan beragama. Namun, Nabi Muhammad sesuai musyawarah juga menetapkan hukuman bagi siapa saja, dari kaum mana pun, dan dari suku apapun yang melanggar kesepakatan dalam Piagam Madinah.


Jelasnya, sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, atau saat kota terakhir masih bernama Yatsrib, di sana terdapat dua kabilah besar yang saling bertikai ratusan tahun lamanya. Dua kabilah besar di Yatsrib tersebut adalah Kabilah Aus dengan sekutu Yahudi Bani Quraidhah dan Kabilah Khazraj dengan sekutu Yahudi Bani Nadhir.


Tercatat sekitar 120 tahun dua kabilah tersebut bertikai. Kendati demikian, kedua kabilah tersebut sebenarnya merindukan perdamaian, tetapi tidak menemukan sosok yang menyatukan mereka. Akibat perseteruan dua kelompok suku di Yatsrib itu, setidaknya telah terjadi empat perang besar, yaitu Perang Sumir, Perang Ka’b, Perang Hathib, dan Perang Bu’ats. Ratusan korban sudah berjatuhan dari kedua belah pihak.

 


Oleh sebab itu, sejak dua tahun sebelum hijrah (620 Masehi), Nabi Muhammad SAW sering dihubungi oleh beberapa tokoh dari Yatsrib, baik asal Kabilah Aus dan Khazraj. Meski Nabi Muhammad SAW memiliki banyak musuh di Makkah, ia tetap terkenal atas reputasinya sebagai al-Amin, orang yang jujur dan terpercaya, serta pernah menyelesaikan perselisihan terkait peletakan Hajar Aswad saat pemugaran Ka'bah.


Para pemuka kabilah di Yatsrib menyadari bahwa keadaan sosial politik di kota itu mengalami krisis sehingga membutuhkan seorang hakam atau arbitrator yang mampu menyelesaikan sengketa dua suku besar. Dan, mereka lantas sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang layak dan kapabel untuk menjadi sang arbitrator guna menyelesaikan konflik tersebut.


Untuk memerdekakan rakyat Palestina, para pemimpin faksi di Palestina harus bersatu terlebih dahulu. Sebab, penjajahan Israel terhadap Palestina itu nyata. Sebuah organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) terkemuka yang berbasis di Yerusalem, B'Tselem mengatakan, warga Palestina hidup di bawah kendali Israel di Tepi Barat yang diduduki, di Gaza yang diblokade, di Yerusalem Timur yang dianeksasi, dan di dalam wilayah Israel sendiri.

 

"Ini bukanlah demokrasi ditambah pendudukan. Ini adalah sistem apartheid di antara sungai (Yordan) dan laut (Tengah),” kata Direktur Eksekutif LSM Israel B'Tselem, Hagai el-Ad dalam laporannya awal tahun 2021 lalu seperti dilansir AFP.

 

 


B'Tselem mengadopsi istilah yang selama ini dianggap tabu itu, dinilai mengindikasikan pergeseran dalam diskursus nasional tentang pendudukan separuh abad terhadap Palestina, ketika harapan atas solusi dua negara semakin meredup. Peter Beinart, warga Amerika keturunan Yahudi yang dikenal sebagai pengecam keras Israel, pernah menyebabkan kehebohan serupa tahun lalu ketika dia mendukung gagasan pendirian sebuah negara binasional dengan hak yang sama bagi orang Yahudi dan orang Palestina.


B'Tselem sendiri tidak mengambil sikap apakah harus ada satu atau dua negara terkait Israel dan Palestina. Israel selama ini membanggakan diri sebagai negara demokrasi di Timur Tengah, di mana warga Palestina yang mewakili 20 persen populasi menikmati kesetaraan hak. Namun begitu sebagian warga Palestina tetap terdaftar sebagai "penduduk” bukan "warga negara” dengan hak pilih. B'Tselem berdalih, dengan memecah belah dan secara tidak langsung menguasai wilayah Palestina, Israel menutupi realita bahwa sekitar tujuh juta warga Yahudi dan tujuh juta bangsa Palestina hidup di bawah satu sistem dengan ketimpangan yang besar.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online