Opini

Menyambut Idul Fitri

NU Online  ·  Senin, 12 September 2011 | 09:20 WIB

oleh H As’ad Said Ali

Selain gagap gempita, yang kita saksikan dalam penyambutan Idul Fitri di Indonesia adalah suasana penuh nuansa kultural, khas dan menjadi pesta rakyat yang paling meriah. Idul fitri bahkan memperoleh ungkapan khusus LEBARAN, yang mengandung makna tersendiri. tidak diketahui kapan ungkapan tersebut pertama kali digunakan. Namun kartu lebaran pertama di Hindia Belanda beredar pada tahun 1927.
<>
Tradisi lebaran itu, menurut budayawan Dr Umar Khayam, merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam yang luar biasa, melalui peran kearifan para ulama memadukan kedua budaya tersebut, kini tradisi itu telah meluas ke seluruh wilayah Indonesia, bahkan melibatkan masyarakat dari berbagai pemeluk agama. Tradisinya terus tumbuh dan inovasinya tidak pernah berhenti, dari tempo doeloe sampai sekarang.

Sunan Kalijaga misalnya, dalam menyambut Lebaran memperkenalkan kupatan, KGPAA Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa, konon disebut yang memperkenalkan halal bihalal. Di berbagai daerah, masyarakat secara kolektif juga kreatif mengintrodusir tradisi menyambut Ramadhan maupun Lebaran. Kini, di kota-kota besar, berkembang tradisi buka puasa bersama, ngabuburit dengan grup musik dan lain sebagainya. Acara televisi dan radio pun dibuat menjadi lebih semarak. semua ini dimaksudkan agar puasa terasa menyenangkan dan Lebaran menjadi puncak harapan.

Kritik bisa saja dialamatkan bahwa Idul Fitri telah kehilangan esensinya, menjadi semata-mata Lebaran, jauh dari yang diinginkan syariat; demikian pula Ramadhan. Faktanya memang dapat ditunjukkan, salah satunya adalah meningkatnya pengeluaran rumah tangga masyarakat. ini menunjukkan puasa dan lebaran justru menjadikan kita semakin boros, biaya konsumsi meningkat. Tidak percaya? lihat indikator sederhana ini, bahwa selama bulan Ramadhan, apalagi saat Lebaran, volume sampah rumah tangga justru meningkat signifikan. Ini menunjukkan konsumsi rumah tangga meningkat. Jelas ironis dilihat dari sudut tujuan puasa dan Idul Fitri. Namun, kritik apapun, semua tergantung argumennya. Yang pasti Hari Raya sebagai bentuk sukacita keagamaan memiliki makna tersendiri, baik secara syariat maupun sosio-kultural. Penting dicatat bahwa keimanan tidak bisa diverbalkan setepat-tepatnya, sebab sifatnya terlalu mendalam, terlalu personal dan terlalu ilahi.

Sebuah doktrin secara sosiologis akan bermakna jika ia terkait erat secara struktural dalam kehidupan sosial, dan idealnya terefleksi dan memberi dasar kultural bagi pola tindakan para penganutnya. Terobosan akulturasi Idul Fitri menjadi Lebaran diatas memenuhi tuntutan tersebut, berhasil mempertemukan dan mendialogkan antara tuntutan doktrin dengan tuntutan kenyataan lingkungan sosialnya. Itu sebabnya, betapapun di sana-sini pelaksanaan Ramadhan dan Lebaran ada kesan boros, hura-hura, dan seterusnya, namun tetap menghasilkan sukacita sakral, dan ketamakan keduniaan melebur menjadi ketentraman sakral melalui pesan peran moral yang dipancarkannya.

Disini tidak ada deteologisasi dalam menilai Idul Fitri, sebaliknya justru berlangsung proses teologisasi terhadap sistem tindakan dan kenyataan lingkungannya –bahwa masyarakat dalam menjalani tradisi itu menghayatinya sebagai tindakan religius. Bahwa doktrin yang menjadi dasar kenyataan batiniah itu telah mewarnai hal-hal yang ordiner pada kenyataan lingkungannya. Hasilnya, sebuah perayaan Idul Fitri yang penuh nuansa kultural, tidak sebaliknya, mendistorsif, dan sekaligus pesan moralnya. Inilah Idul Fitri kita, sebuah Lebaran. Strategi kebudayaan semacam ini barang kali yang tersembunyi dari pesan Rasulullah SAW ketika memerintahkan para gadis dan wanita-wanita yang dipingit saat Idul Fitri untuk keluar rumah; dan mengizinkan para sahabat bersuka cita sambil bermain tameng dan tombak serta bernyanyi.

Lalu aspek fungsional apa yang secara sosial dan politik dapat dikapitalisasi dari Lebaran? ada dua unsur penting dari tradisi Lebaran di berbagai tempat di tanah air, yaitu silaturrahmi dan saling memaafkan. Ini khas Indonesia. Keduanya oleh masyarakat kita ditempatkan sebagai mekanisme sosial untuk mencapai kondisi fitri secara horizontal (hablumminannas) guna menyempurnakan capaian fitri yang vertikal (hablumminallah) dari berpuasa. Unsur penting lainnya adalah zakat dan sedekah. Meskipun pelaksanaannya tidak seekspresif dua unsur yang disebut pertama, namun keduanya ditempatkan menjadi bagian integral dari penyempurnaan fitri, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Penemuan etik seperti ini, yang bersumber pada pengertian fitrah, menjadi sosial-capital penting.

Bagaimana? melalui silaturrahmi dan saling memaafkan serta zakat dan sedekah, kohesivitas sosial akan menjadi segar kembali. Sekat-sekat sosial dan politik terbuyarkan dan menjadi nisbi. yang tersisa tinggal humanisme, rasa kasih sayang sesama. bukankah dari sisi doktrin silaturrahmi disebut dapat memperpanjang umur dan memperluas rezeki! dalam maknanya selain pada ‘panjang umur’ manifestasinya bisa juga pada level kolektif berupa usia sebuah rezim politik, apapun tingkatannya, dari negara hingga satuan-satuan organisasi di tingkat masyarakat. demikian pula ‘dapat memperluas rezeki’ pemaknannya bisa bersifat kolektif, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Elaborasinya jelas, sebab silaturrahmi adalah sebuah bentuk interaksi sosial dengan makna yang jauh lebih luas dan mendalam dibandingkan bentuk interaksi lainnya, ada kehangatan humanistik transendental sehingga keakraban lebih terasa didalamnya; sesuai dengan asal katanya, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambung atau menghimpun, dan ar rahim yang berarti kasih sayang. memperkuat hubungan demikian tidak terbatas pada hubungan kekerabatan, tapi lebih luas lagi. bukan pula terbatas pada hubungan di lingkungan umat Islam. Namun karena kata ar rahim merupakan salah satu asma Allah, pengertiannya dapat dikembangkan menjadi lebih universal, bisa dalam satu bangsa dan seterusnya. Bayangkan bisa silaturrahmi demikian dapat diaplikasikan untuk merangsang dan mendorong tumbuhnya sektor perdagangan dan jasa misalnya, maka dapat dipastikan menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan yang amat luas. Inilah berkah silaturrahmi.

Demikian pula secara politik, mekanisme silaturrahmi demikian, jika berlangsung luas, akan dapat mendorong terbentuknya solidaritas (tadhamun/takaful) dan solidaritas politik yang luas pula. bisa menjadi mekanisme untuk konsolidasi. bahkan ampuh sebagai instrument mencegah berkembangnya potensi konflik. Dalam hadist disebutkan, bahwa silaturrahmi itu ialah untuk menyambungkan apa yang telah putus, bukan sebaliknya; putusnya entah disebabkan karena konflik politik, atau lainnya. Jadi bila silaturrahmi dapat dikembangkan secara luas, maka pengaruh politiknya secara jelas menghasilkan ketenteraman sosial dan stabilitas politik.

Demikianlah silaturrahmi dalam tradisi Lebaran telah menjadi mekanisme sosial yang otonomi dan cara bagi masyarakat untuk memulihkan dan menyegarkan kembali hubungan sosial mereka. Ketegangan dan konflik menjadi cair, dan masyarakat kembali pada fitrah sosialnya, yakni humanisme dan rasa kasih sayang sesama. Bandingkan dengan falsafah homo homini lupus bellum omnium contra omnes dari Thomas Hobbes.

Sementara itu, apabila zakat fitrah secara doktriner dipandang sebagai instrumen dimana puasa dan amalan-amalannya menjadi “syarat yang memungkinkan” diterima oleh NYA, maka zakat dan jenis zakat lainnya serta sedekah, dalam tradisi lebaran menjadi instrumen dan syarat sosial untuk membangun semangat sosialistis, sehingga, atas karenanya kesempurnaan kembali ke fitrah sosial dapat dicapai. Disini keselamatan sosial diharapkan. Bukankah dalam doktrin disebutkan, bahwa sedekah dapat mencegah “bala”. Bala’ manifestasinya bisa bermacam-macam, dari yang bersifat individual sampai kolektif, termasuk didalamnya konflik politik. Makna inilah yang mendorong mengapa masyarakat lebih memilih mengeluarkan zakat serta beberapa sedekah saat Lebaran. Sementara ‘saling memaafkan’ menjadi sumber legitimasi dari sistem sosial itu sehingga dapat diperteguh kembali.

Perhatikanlah, setelah saling memaafkan, dalam tradisi Lebaran, biasanya dilengkapi dengan ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin artinya semoga Allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung (menang). Ucapan ini tidak bersumber dari sunnah nabi, melainkan merupakan ‘urf (kebiasaan) yang berkembang di masyarakat di Indonesia. Dengan ucapan itu hendak ditegaskan bahwa kita telah berhasil menunjukkan ketamakan keduniaan dan egoism sosial atau politik diantara sesama dan kita kembali ke fitrah secara menyeluruh.

Dengan demikian, Leberan dapat menjadi mekanisme ampuh untuk konsolidasi sosial dan politik, untuk mencegah berkembangnya fragmentasi, agar ruang konflik sosial dan politik tidak sempat berkembang menjadi bala’. Inilah politik Lebaran. bukankah ketertiban dan ketenteraman sosial dan politik merupakan faktor penentu tegaknya syariat, mencapai kesejahteraan dan kemaslahatan. Maka seyogyanya kita jadikan Lebaran ini untuk membangun solidaritas sosial, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah. Kepada warga NU dan seluruh warga bangsa Indonesia, dalam Lebaran ini saya mengajak untuk mengembangkan silaturrahmi yang lebi luas, melintasi batas keluarga, batas kekerabatan, batas kelompok, suku dan agama, untuk meraih tujuan kemaslahatan bersama. Selamat BERLEBARAN, mohon maaf lahir dan batin.

* Wakil ketua umum PBNU