Opini

Mendalami (Pelajaran) Istighotsah Kubro

NU Online  ·  Jumat, 14 April 2017 | 09:00 WIB

Oleh Fathan Subchi

Istighotsah kubro tak hanya meninggalkan kekaguman sebab ratusan ribu orang berjubel dari berbagai kalangan. Kegiatan itu pun tak sekadar eksistensi sebuah jam’iyah yang menuntut perubahan radikal dan penuh paksaan. Istighotsah kubro ialah perenungan dan pencarian jawaban atas segala persoalan baik sosial, politik, agama yang berhubungan dengan negara dan kepentingan kebangsaan. Istighotsah kubro menyisakan pesan perdamaian, persatuan dalam bingkai perbedaan.

Ketika seseorang telah mengakui diri sebagai Muslim tentu melekat pada dirinya kepercayaan bahwa semua (kekacauan) yang terjadi tidak lepas dari ketentuan Allah SWT sebagai Tuhan. Dari situ muncul kesadaran untuk merenungi segala persoalan secara arif tanpa memunculkan kekacauan dibidang lainnya. Maka, sikap intoleransi yang mewujud dalam berbagai bentuk, semisal, menyesatkan, mengkafirkan bukanlah suatu yang dibenarkan.

Merujuk pemikiran Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), bahwa dalam berdakwah kita tidak diperkenankan menggunakan cara yang keras. Di zaman Rasulullah, larangan itu muncul ketika ada seorang sahabat yang mengancam akan membunuh anaknya jika tidak masuk Islam. Kemudian turunlah ayat la ikraha fiddin, yaitu jangan ada paksaan dalam agama (Islam) (www.nu.or.id).

Ulama NU paham betul ayat ini sehingga Istighotsah kubro tidak dilaksanakan secara sporadis dan memanaskan tensi kenyamanan publik. Kegiatan dalam rangka Harlah ke-94 Nahdlatul Ulama yang digagas oleh PWNU Jawa Timur itu sekaligus meneguhkan kesadaran bahwa ritual keagamaan tidak selayaknya dimanfaatkan sebagai eksistensi belaka. Buktinya tidak banyak media yang “membesar-besarkan” peristiwa tersebut dalam produk jurnalistiknya. Itu murni sebagai sarana berdoa, menjalin kemesraan dengan Tuhan secara berjamaah bersama jutaan makhluq-Nya.

Meminjam istilah KH Musthofa Bisri, pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, peristiwa sakral pada Ahad (09/04) lalu merupakan manifestasi wajah Islam yang saleh ritual dan saleh sosial. Yaitu sebuah sikap yang mampu mengadopsi semua kepentingan tanpa mencederai pihak lain. Sebuah ritual keagamaan yang dilandasi dengan balutan komitmen saling mengasihi sesama dan menghargai aneka perbedaan.

Merujuk pada artikel Fathurrahman Ghufron di harian Kompas (12/04/17) bahwa dalam kondisi perbedaan, rasa saling memahami (mutual understanding) akan membuat kita supaya selalu waspada diri untuk mencegah cara otoritarian dan despotik dalam menyampaikan ajaran agama. Dengan itu kita juga akan sadar untuk tidak mencaci dan memaki orang lain hanya karena berbeda pendangan atau kepercayaan. Sebab sajian yang seperti itu hanya akan memperbesar konflik horizontal yang mengancam keutuhan NKRI.

Dalam hal ini, sesungguhnya kita tidak hanya berbicara tentang keagamaan tetapi juga kenegaraan yang wajib kita jaga demi satu keutuhan. Demikian bisa kita lihat dalam maklumat yang dibacakan di dalamnya. (1) Menjaga agama dari hal-hal yang merusak (hifdzud din 'amma yufsid) adalah wajib, sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh para ulama. (2) Menjaga negara dari hal-hal yang merusak tatanan (hifdzud daulah 'amma yufsid) adalah wajib, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harta terbesar bangsa dan negara ini. (3) Menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran (amr bil-ma'ruf wa nahy 'anil munkar) wajib ditegakkan secara bijaksana untuk menjunjung tinggi marwah agama dan martabat manusia demi kemajuan bangsa dan negara ini.

Tiga poin pertama gagasan syuriah PWNU Jawa Timur itu telah menegaskan bahwa (gagasan) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan harta terbesar bangsa dan negara. Yang wajib dirawat dan dipertahankan sebagai ideologi dengan semangat keagamaan yang menyertainya. Selanjutnya itu disokong oleh tiga point berikutnya agar berbagai kepentingan harus dilaksanakan demi sebuah kesejahteraan untuk umat yang mashlahat.

Yaitu, (4) Seluruh pemimpin bangsa dan negara ini wajib menjalankan amanah dan menegakkan keadilan secara bersamaan sebagai prinsip untuk mencapai kebajikan bersama. (5) Menjaga umat (ri'ayatul ummah) dari kebangkrutan moral adalah tanggung jawab yang wajib ditunaikan oleh seluruh pemimpin agama, bangsa, dan negara ini. (6) Seluruh komponen umat wajib untuk semakin mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah sebagai bentuk tanggung jawab pribadi dan keumatan.

Terlihatlah bahwa Islam sesungguhnya tidak melulu tentang ibadah syar’i yang mengharuskan kita agar mengabaikan yang lainnya. Ibarat bangunan Islam adalah batu terakhir sebagai penyempurna suatu pondasi. Ia merupakan komponen untuk menciptakan kearifan yang penuh dengan damai dan ketentraman untuk tatanan kehidupan nyaman.

Maklumat Istighotsah Kubro mengingatkan kita pada amanat yang tidak disadari akan hilang. Yaitu berupa akal, kemampuan dan badan yang harusnya dibalut dengan akhlaq mulia. Sebagaimana diajarkan oleh Rasul dan para sahabatnya, yang rela hidup sengsara untuk kepentingan umat dan negaranya. Ada keseimbangan hubungan baik dengan Tuhan maupun antar sesama manusia. []


Penulis adalah Wasekjend DPP PKB dan Anggota F-PKB DPR RI