Opini

Memahami Sikap PBNU (Sebuah Tanggapan)

NU Online  ·  Rabu, 4 Januari 2017 | 05:30 WIB

Oleh Dwiyanto Indiahono

Membaca tulisan Saudara Syafiq Naqsyabandi (nu.or.id – 30 Desember 2016), kami merasa perlu untuk unjuk pendapat tentang memahami sikap PBNU terkait dengan Aksi Bela Islam (ABI). Sangat awal, pernyataan “Sikap PBNU yang memilih kontra terhadap Aksi Bela Islam” merupakan kalimat yang harus dikritisi. Jejak rekam posisi PBNU dan Aksi Bela Islam menunjukkan posisi yang tidak dapat dikatakan “kontra”. Sebab posisi yang dipilih oleh PBNU adalah juga posisi yang diambil oleh PP Muhammadiyah terkait dengan Aksi Bela Islam. Jadi mengambil kesimpulan PBNU memilih kontra terhadap Aksi Bela Islam merupakan kesimpulan pribadi, yang perlu direvisi. Ada beberapa alasan.

(Baca: Memahami Sikap PBNU)

Pertama, PBNU dan PP Muhammadiyah dalam beberapa waktu terakhir mengambil posisi sebagai mediator antara Gerakan Aksi Bela Islam dan Negara. Dua institusi terbesar umat Islam itu tengah berusaha menjadi peredam hubungan antara Negara dan ABI. Ketika ABI berlangsung dengan tertib, dan Negara pun turut memberikan apresiasi, sebenarnya PBNU dan PP Muhammadiyah pun telah sukses menjadi mediator. Dua institusi besar ini tengah secara jernih melakukan analisa. Bayangkan jika kedua lembaga tersebut secara resmi menyatakan dukungan, Jakarta mungkin bisa banjir massa, sebanjir-banjirnya.

Kedua, PBNU dan PP Muhammadiyah secara struktural memang tidak menyatakan seruan untuk turun mengikuti ABI. Tetapi secara kultural dua lembaga tersebut harus diakui memiliki andil dalam “membiarkan” warga mereka untuk ikut  ABI. Keikutsertaan warga NU dan Muhammadiyah dalam ABI tergambar dari banyak sikap selama perhelatan ABI berlangsung. Warga kedua lembaga tersebut juga berhasil melebur dengan Umat Islam yang lain untuk menyerukan aspirasinya. Warga di area akar rumput dua ormas besar itu memang sebagian ada yang menyayangkan sikap para elit organisasi mereka. Tetapi dibalik itu, mereka juga dapat memahami bahwa mereka tidak dilarang untuk ikut serta dalam ABI.

Ketiga, mendudukkan posisi PBNU struktural sebagai “kontra” dengan ABI sebenarnya justru menjadikan PBNU seakan-akan tidak memiliki peran dalam ABI. Padahal di sana ada KH. Ma’ruf Amin selaku Rais Aam PBNU, pimpinan tertinggi dalam organisasi NU yang didaulat menjadi Ketua Umum MUI. Keluarnya pernyataan keagamaan oleh MUI terkait dengan adanya penodaan agama oleh BTP tidak lepas dari peran KH. Ma’ruf Amin. Sehingga jika penulis Syafiq Naqsyabandi memilah antara PBNU struktural dan PBNU kultural, sebagai pisau analisis untuk membedah kedudukan PBNU dalam ABI tidaklah tepat. PBNU Struktural ada yang secara fungsional menjadi pioner pernyataan sikap keagamaan MUI, dan itu berarti PBNU struktural pun memiliki peran besar dalam ABI. Apalagi beberapa pernyataan sikap PBNU secara tegas sejalan dengan aspirasi ABI. Salah satunya misalnya, pernyataan sikap PBNU pasca Aksi 411 yang secara nyata membela aksi dan meyakini bahwa kericuhan yang sempat terjadi dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin merusak kemurnian Aksi 411. PBNU juga menyayangkan kelambanan pemerintah dalam melakukan komunikasi politik dengan masyarakat.

Keempat, argumentasi penulis artikel itu yang mencuplik kasus-kasus terdahulu untuk memperkuat sikap PBNU yang beberapa kali berbeda dengan posisi umat Islam, dalam kasus ABI ini menjadi tidak relevan. Kasus-kasus yang diceritakan merupakan kasus-kasus yang memang terjadi dalam situasi yang represif. Memahami kasus-kasus tersebut juga harus dengan analisis kondisi pada waktu itu. Sikap-sikap yang seakan-akan “mendua” tersebut merupakan bentuk keluwesan PBNU untuk bertahan dan melawan rezim yang otoriter kepada Umat Islam.

PBNU dan Muhammadiyah merupakan dua ormas terbesar yang memiliki pengalaman berhadapan dengan pemerintah dan mengayomi masyarakat. Pilihan-pilihan kebijakan organisasi tentu diambil bukan hanya “ingin berbeda” dengan ormas-ormas Islam yang lain. Pilihan kebijakan itu murni lahir karena kedua ormas tersebut memiliki cara berbeda untuk membela umat, membela Islam dan berhubungan baik dengan pemerintah. Pilihan kebijakan tersebut bukan berarti “kontra” tetapi merupakan bentuk “dukungan” ABI dalam wajah lain.


Penulis adalah dosen kebijakan publik FISIP Universitas Jenderal Soedirman.