Jika Wali Sanga (wali sembilan yang menyebarkan Islam dikalangan orang Jawa dalam Abad ke XV dan XVI Masehi) menggunakan cara berkonfrontasi untuk menundukan para penguasa, dan hal itu diikuti oleh para ahli Fiqh dalam abad ke XVI dan XVII Masehi, Kiai Muttamakin menampilkan sebuah “strategi baru” dalam perjuangan gerakan-gerakan Islam waktu itu dalam menghadapi para penguasa, minimal di kalangan orang Jawa. Strategi baru itu merupakan jalan ketiga, yaitu tidak membiarkan tunduk kepada para penguasa (seperti dilakukan para ahli Fiqh), maupun menentang mereka (seperti dilakukan para pemimpin tarekat). Cara ketiga itu berintikan sikap menolak membicarakan pribadi-pribadi kaum penguasa waktu itu, melainkan hanya membatasi diri pada “kebiasaan” mengemukakan hal-hal ideal jika para penguasa berperilaku adil, memperjuangkan kebenaran dan berpikir melayani kepentingan orang banyak.
Strategi baru Kiai Muttamakin itu akhirnya
menjadi “strategi model” bagi apa yang dinamakan perjuangan Islam di negeri ini
sampai sekarang. Dalam kidung yang ditulis dalam huruf Arab tetapi berbahasa
Jawa (literatur Pegon) tersebut –kidung ini dahulunya dibacakan (dan terhenti
sejak beberapa tahun terakhir ini) dalam upacara peringatan kematian
(Haul/Khoul) beliau di desa Kajen, Margoyoso, Pati yang dihadiri oleh lebih
dari 100 ribu orang-, disebutkan bahwa oleh penguasa/ Ratu (yang berarti Raja)
di Solo akhirnya beliau diambil menjadi menantu. Ini adalah perlambang dari
tercapainya kemenangan beliau dihadapan Ratu/Raja tersebut. Penguasa waktu itu
adalah Susuhunan Pakubuwana II yang berkuasa di Surakarta Hadiningrat,
menggantikan Amangkurat dari Kertasura.
Dalam kidung tersebut diceritakan kembali
doa-doa yang diucapkan oleh Syeikh Ahmad Muttamakin dalam perdebatannya melawan
seorang abdi dalam maupun belakang oleh Susuhunan Pakubuwana II sendiri. Hal
itu dapat dimengerti karena Syeikh Ahmad Muttamakin adalah pengasuh sebuah
Pondok Pesantren, sehingga doa-doa yang diucapkannya tentulah dibaca tiap hari
oleh murid-muridnya, baik santri di Pesantren maupun pengikut tarekat di
luarnya. Karenanya, dalam pengertian kita sekarang ini, apa yang dijadikan
doa-doa oleh mereka dapat disebut sebagai “mantra” di lingkungan Pesantren
(para Kiai, para Santri dan para pengikut kiai di luar Pesantren).
Beraneka warna dan berjenis-jenis istilah yang digunakan dilingkungan mereka, baik yang bersifat umum maupun khusus. Yang belakangan ini disebut juga ijazah, konjugasi dari kata Ajaztuka yang berarti kubolehkan engkau mengajarkan/menggunakan suatu hal yang kuberikan kepadamu. Seorang Kiai harus dapat memberikan ijazah dalam bentuk doa, di samping ijazah mengajarkan kitab atau literatur yang semula diajarkan. Baik pemberian doa maupun ijin mengajarkan kitab tertentu itu, tentu saja dimulai dan ditutup dengan pembacaan doa oleh sang Kiai, yang diamini oleh para Santri/pengikutnya. Kareananya, seorang santri seperti pembawa makalah ini, dengan bangga akan mengemukakan ia telah mendapatkan ijazah buk atau kitab dari seorang Kiai, yang tentu saja akan disebutkan namanya dengan penuh hormat oleh santri tersebut. Umpamanya saja, pembawa makalah ini akan dengan bangga menyebutkan bahwa ia memperoleh ijazah dari Kiai Idris Kamali dari Tebu Ireng, Jombang untuk mengajarkan Al Itqan dari Imam Al-Sayuti yang ditulis abad ke-X Hijriyah/ ke- XVIII Masehi. Ada 25 buah literatur berbahasa Arab yang diperoleh ijin/Ijazahnya oleh penulis setelah bertahun-tahun mengaji di Pesantren. Tentu saja selama belajar di Pesantren para santri tidak akan sama memperoleh ijazah literaturnya, karena para Kiai memiliki keahlian yang berbeda-beda pula. KH. A Wahab Chasbullah (Ra’is Am PBNU 1947-1971) yang ahli Ushul F’qh / teori hukum Islam tentu tidak sama dengan adik iparnya, KH. M. Bisri Syansuri (Ra’is Am PBNU 1971-1980) yang adalah ahli Fi’qh sangat terkenal.
Empat belas buah “disiplin pengetahuan agama”
Islam yang dipelajari di Pesantren secara tradisional sesuai dengan silabi yang
disusun oleh Imam Al-Suyuti dalam Itman Al-Dirayah, merupakan lahan kajian yang
memiliki ratusan “buku wajib” (Al-Kutub Al-Mu’tabarah), sehingga tidak mungkin
seorang santri pernah membaca/mengaji semuanya. Namun, seorang Kiai diharapkan
mampu mengajarkan sebuah “buku wajib” untuk tiap disiplin, sehingga ia memiliki
kebulatan disiplin-disiplin yang diketahuinya. Namun, kiai tersebut tidak akan
mengajarkan semua disiplin yang pernah dipelajarinya. Ia akan memberikan ijazah
hanya dalam disiplin-disiplin yang dikuasainya dan dengan demikian ia melakukan
“pendalaman bidang” yang diajarkannya. Namun ia akan memberikan ijazah atau doa
umum yang sama dengan para kiai yang lain dari pesantren-pesantren yang
berbeda. Dalam “ijazah umum” itu, ia akan memberikan urutan-urutan para kiai
yang mengajarkan “buku wajib” tersebut, yang tentu saja memuat nama guru,
hingga kepada pengarangnya. Rangkaian nama-nama
itu di kalangan Pesantren disebut sebagai “sanad” (mata rantai) ijazah
atau “Buku Wajib” tersebut, yang tentunya berbeda dari (walaupun berfungsi sama
dengan) Sanad Hadist dari zaman Nabi Muhammad SAW.
Pesantren mengenal istilah pesantren tahunan
ataupun pesantren bulanan (lebih dikenal dengan sebutan “pesantren puasa”.
Jenis pertama adalah Pesantren yang memberikan pelajaran sepanjang tahun,
sedangkan jenis kedua hanya berlangsung selama bulan puasa, seperti halnya
dengan Pondok Ramadhan yang disamakan dengan program musim panas (summer
program). Kedua jenis Pesantren itu, -yang pertama memiliki jangka pendidikan
panjang dan yang satu berjangka sangat pendek-, sama-sama memiliki tata nilai
serupa yaitu penghormatan kepada guru
ketundukan kepada hukum agama dan sama-sama menegakkan tata peribadatan serupa.
Dengan mengikuti nilai-nilai yang sama itu, dengan sendirinya tata nilai yang
dikembangkan dari satu ke lain Pesantren akan melahirkan tata kehidupan yang
memiliki persamaan yang kokoh pula. Memang, dalam abad modern ini pesatren juga
menghadapi tantangan-tantangan Barat dari proses modernisasi, yang dalam banyak
hal berarti “pembaratan” dalam bentuknya yang vulgar.
Akibat suasana penuh tantangan dari respon
yang lebih banyak berupa imitasi “proses pembaratan” itu sendiri, maka dominasi
pencarian ijazah yang diutamakan dalam pendidikan agama formal di
sekolah-sekolah agama kita sekarang, yang dikejar bukanlah standarisasi ilmu
pengetahuan agama, melainkan penghargaan yang terlalu berlebih kepada ijazah/
diploma dari sekolah-sekolah tersebut. Berbeda dari perolehan ijazah cara lama,
-yang bertumpukan pengalaman tata nilai yang dipercaya dalam kehidupan
sehari-hari-, pencarian ijazah “model baru” tersebut sama sekali tidak
mengindahkan pengalaman tata nilai tersebut. Dengan demikian, “perbenturan
budaya” antara sekolah-sekolah agama kita dan sistem kehidupan Barat terletak
pada perbenturan dua institusi. Karena baik Islam maupun Barat juga memiliki
sisi lain yaitu proses budaya.
Harus diingat baik pihak Barat maupun pihak Islam sama-sama memiliki proses budaya yang kuat, maka dengan demikian kedua peradaban seluruhnya itu saling belajar bagaimana mengembangkan budaya di hadapan tantangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Salah satu tantangan modernisasi adalah hilangnya ketiga nilai di atas yang digantikan oleh “modernitas” model barat yang terlalu berdasar kepada logika rasional, yang lebih banyak bersifat materialistik, capaian inilah yang menjadi kritik penulis. Makalah ini juga ditujukan untuk mengkritisi konsep “perbenturan peradaban” (clash of civilizations) yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Penulis makalah ini menilai, Huntington hanya mampu menggambarkan deretan pohon yang memiliki perbedaan keunikan tanpa mampu melihat keseluruhan hutan. Ia hanya mampu melihat sekitar peradaban yang saling berbenturan itu, tanpa mampu mengamati proses saling belajar antara mereka. Peoses saling belajar itu terlihat dari adanya sekitar ratus ribu orang pemuda muslim yang belajar di Barat setiap tahunnya. Mereka tidak hanya datang untuk mempelajari teknologi dan ilmu pengetahuan yang dijalani orang-orang barat, tetapi mereka juga memperoleh “penularan” dari peradaban Barat dan hal-hal lain yang diperlukan untuk “mengerti” peradaban Barat secara lengkap yaitu penghargaan kepada kerja keras, bersikap jujur dalam kehidupan, menghargai kedaulatan hukum dan kebebasan perpendapat, pengorganisasian hidup dan keterbukaan kepada faham-faham lain di luar pandangan sendiri.Walaupun sebenarnya nilai-nilai yang disebutkan diatas juga terdapat dalam peradaban masing-masing, namun hanya masih dalam bentuk potensi yang belum dikembangkan.
Salah satu “korban” dari perbenturan modernisme lawan tradisionalisme itu adalah mantra-mantra yang terdapat di lingkungan pesantren. Sekarang ini mantra demi matra yang sering digunakan di pesantren, kehilangan relevansinya dihadapan erosi keyakinan akibat pendidikan formal yang terlalu diarahkan kepada capaian-capaian materialistik. Mantra-mantra yang digunakan di pesantren, dalam bentuk doa seperti Hidzb, Wirid, dan sebagainya sudah tidak dianggap sakti oleh banyak sekali warga pesantren sendiri, sehingga dengan demikian terjadi pembelahan warga pesantren antara dua kubu yang saling berhadapan. Yaitu mereka yang percaya kepada mantra-mantra tersebut dan dianggap tidak rasional dengan mereka yang seolah-olah bersikap rasional secara penuh, namun tidak terjadi proses pengembangan rasionalitasnya berlandaskan pertimbangan moral. Hal terakhir mengakibatkan munculnya konservativisme politik seperti saat ini.
Dilupakan dua hal penting oleh kaum muslimin
dalam “perbenturan budaya” -antara yang modern dan yang kuno itu-, bahwa mau
tidak mau perbenturan itu akan mempengaruhi juga kedudukan mantra di lingkungan
pesantren. Oleh karena itu perlu dikaji beberapa hal yaitu: pertama, karena
terdapat kekhususan antara berbagai masyarakat, maka dalam mengembangkan ajaran Islam ini
diharuskan adanya studi kawasan kaum muslimin
(Islamic Area Study’s) yang oleh laporan penulis kepada Universitas PBB
di Tokyo (dengan Rektor DR. Sudjatmoko) pada tahun 1980-an, terbagi sebagai
berikut: Masyarakat Afrika Hitam, Masyarakat Afrika Utara dan negeri-negeri
Arab, masyarakat Turko – Persia - Afghan, masyarakat Asia Selatan (Bangladesh,
Pakistan, Nepal, India dan Sri Lanka), masyarakat Asia Tenggara dan masyarakat
minoritas muslim di negeri-negeri industri maju (terutama Eropa Barat dan
Amerika Serikat). Kedua, perbedaan cara hidup antara Asia Tenggara dan Timur
Tengah mempunyai perbedaan dalam struktur masyarakat. Di Asia Tenggara, tradisi
gerakan Non-Pemerintah (LSM) sudah lama ada dan berdiri secara indenpenden.
Sedangkan di Timur Tengah tradisi seperti itu tidak ada –contoh dari hal ini
adalah ketua gerakan palang merah, ditunjuk dan diangkat oleh
presiden/penguasa-. Dengan demikian gerakan-gerakan yang berbeda dengan
pemerintah harus bergeraki di bawah tanah dan isu utama yang digunakan tidaklah
mengajukan kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah, melainkan terhadap
“modernisasi model barat”. Pada akhirnya, hal ini sampai pada perbenturan
institusional yang menjadi latar belakang terorisme secara internasional.
Kedua kenyataan diatas tentu saja menimbulkan
pengaruh sangat besar kepada kedudukan mantra bagi kaum muslimin, termasuk yang
berada di pesantren. Akhirnya do’a, Hidzb dan wirid hanya digunakan oleh mereka
yang masih mempercayai ketiganya, sedangkan mereka yang menganggap diri
“modern” tidak lagi memiliki kepercayaan seperti itu. Memang berat bagi kaum
muslimin tradisionalis untuk meyakinkan keseluruhan kaum muslimin untuk tetap
percaya penuh kepada kekuatan doa, hidzb dan wirid. Karena walau mereka berdoa
pun, seperti di masjid-masjid kawasan kota, belum tentu mempercayai doa mereka
sendiri, karena hal itu dilakukan karena memenuhi katentuan sopan-santun maupun
karena keinginan orang banyak. Karena itulah selama gerakan-gerakan Islam tidak
dapat menyelesaikan hal itu dengan baik, maka dikotomi antara yang modern dan
yang tradisional akan tetap ada. Sementara itu, dikotomi antar kaum muslimin
pun tidak hanya dibatasi pada gerakan
yang diikuti saja, melainkan juga
memasuki bidang-bidang lain. Demikian juga dalam bidang pendidikan,
lembaga-lembaga modern berhadapan dengan pandangan hidup kuno yang berintikan
kekuatan mantra tersebut. Tidak terkecuali dalam dunia Pesantren.
Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita
bahwa masalah mantra dalam bentuk do’a, hidzb wirid yang juga merupakan bagian
umum dari proses ijazah oleh sang Kiai pada murid/ santrinya juga dilanda oleh
“krisis keyakinan.” Ini diakibatkan oleh
berbagai tantangan Internasional dari proses modernisasi. Sewaktu belajar di
pesatren Tegalrejo (Magelang) dari 1957-1959, penulis tiap bulan menyelesaikan
membaca Al Quran (Khatam Qur’an) di pemakaman Tejo Mulyo. Hal itu dimaksudkan
sebagai penunjang bacaan doa, Hidzib dan Wirid yang harus dijalaninya waktu
itu,-hingga kini pun masih ada yang “diamalkan” oleh penulis. Hingga saat membuat makalah ini, penulis
berkeyakinan bahwa kepercayaan individual akan kekuatan mantra itu, harus
diimbangi dengan rasionalitas kolektif kaum Muslimin di manapun mereka berada,
sebagai bagian dari proses penemuan identitas diri kembali. Pengamalan wirid
dan hizib merupakan sesuatu yang sah dari sudut manapun, sama sahnya dengan
“pencarian akar” yang dilakukan oleh orang-orang seperti Alex Haley melalui
novelnya, The Roots. Apabila kita mengakui “hak kultural” berarti kita mengakui
keutuhan manusia secara keseluruhan. Dan adalah hak seseorang untuk menilai
bahwa hal itu adalah sesuatu yang ada gunanya atau tidak. Rasionalitas saja
memang tidak cukup, karena ia cenderung melebih-lebihkan porsi rasio dalam
kehidupan. Rasionalitas sebagai ukuran kegunaan sesuatu secara kolektif memang
harus dipakai, tetapi penggunaannya secara individual sering harus
dipertanyakan kembali. Nah, jika kita dapat “menerima” perbedaan antara
kenyataan kolektif yang rasional dengan kebutuhan individual yang belum tentu
rasional, maka hal ini masih menunjukkan pentingnya arti mantra dalam kehidupan
manusia, apalagi untuk lingkungan pesantren.
Jakarta, 1 September 2003
Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Naskah Kuno Nusantra, 2 Sepetember 2003 di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
5
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
6
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
Terkini
Lihat Semua