Opini

Kisah Interaksi Grand Syekh Al-Azhar dengan Paus Kristen Koptik

Rab, 10 Maret 2021 | 07:00 WIB

Kisah Interaksi Grand Syekh Al-Azhar dengan Paus Kristen Koptik

Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Al-Thayyeb bersama pemimpin kristen koptik Mesir. (Foto: dok. istimewa)

Lebih dari 80 persen penduduk Mesir merupakan Muslim. Hal itu menandai bahwa ada non-Muslim di negara tersebut. Grand Syekh Al-Azhar, Kairo, Mesir Syekh Ahmad Al-Thayyeb menjalin persaudaraan yang cukup erat dengan non-Muslim.

 

Sebagaimana diberitakan Radio Saw (28/2/2017), beliau menjalin kesepakatan dengan Paus dari Gereja Koptik, Tawadros II, tentang perlunya mengkonsolidasikan nilai-nilai koeksistensi, kewarganegaraan dan perdamaian. Hal itu dilakukan guna menghadapi ideologi ekstremis di kawasan Timur Tengah.


Syekh Ahmad Al-Thayyeb menyampaikan bahwa perlu membawa prinsip dan etika agama ke dalam realitas yang bergolak. Pasalnya, keberhasilan langkah ini perlu dilakukan dengan menghilangkan sisa-sisa ketegangan dan kekhawatiran antara pemuka agama dan ulama mereka. Hal tersebut disampaikan di sela-sela konferensi bertajuk "Kebebasan dan Kewarganegaraan, Keberagaman dan Integrasi.


Menurut keterangan Paus Tawadros II, ekstremisme atas nama agama membuat puluhan keluarga Kristen Koptik mengungsi selama beberapa hari dari kota Al-Arish di Semenanjung Sinai utara. Pasalnya, kelompok ekstrem militan itu merilis video yang menyatakan bersumpah untuk menargetkan orang Koptik, yang membentuk sekitar 10 persen dari 92 juta penduduk Mesir.


Selain itu, Guru Besar Akidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu juga menyampaikan selamat natal kepada Paus Tawadros. Sebagaimana dirilis al-Yaum al-Sabi’ (26/12/2019), beliau menganggap bahwa agama, adat istiadat, dan tradisi adalah yang melindungi masyarakat Timur dari kebinasaan.

 

Hal itu disampaikan sembari menyebut bahwa saat ini, dunia sedang menghadapi seruan untuk kebebasan aborsi dan homoseksualitas, di tengah seruan bagi negara untuk memurnikan warisan dan hukum mereka untuk mengatasi makna ini.


Ulama kelahiran Qina, Mesir 75 tahun yang lalu itu pun disambut dengan baik oleh Paus Tawadros. Gereja, kata paus yang diangkat pada tahun 2012 itu, sudah terbiasa dengan kunjungan cinta menyambut Imam Besar dan persaudaraan ini. Baginya, kunjungan tersebut memberikan banyak makna, yang paling penting adalah ikatan, persaudaraan dan persatuan nasional.


Dari dua kisah tersebut, kita mendapatkan pencerahan bahwa hubungan Muslim dan masyarakat agama lain di Negeri Kinanah itu berjalan dengan baik. Mereka bersatu layaknya saudara. Hal ini sejalan dengan garis moderatisme yang mengusung persaudaraan, perdamaian, dan kebangsaan. Hal itu merupakan nilai universal yang menjadi benang merah untuk mempersatukan semua elemen masyarakat.


Persaudaraan itu ditunjukkan dengan keakraban Syekh Al-Thayyeb dengan Paus. Ia tak sungkan mengucapkan selamat natal sebagai bentuk tahniah kepada saudara sesama bangsanya itu. hal tersebut juga bagian dari wujud toleransi yang ia tampilkan ke muka. Komitmen kebangsaannya juga tidak diragukan dengan tetap menjaga kondisi dan situasi negaranya.


Sementara itu, kecintaannya terhadap perdamaian juga dibuktikan dengan perlawanannya terhadap gerakan ekstremisme yang menyerang kelompok Kristen Koptik. Ulama yang juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Al-Azhar (2003-2010) itu berupaya untuk memberikan perlindungan kepada mereka.


Lebih dari itu, Syekh Ahmad Al-Thayyeb juga melakukan kesepakatan dan deklarasi kemanusiaan dengan pimpinan tertinggi umat Katholik, yakni Paus Fransiskus. Hal itu dilakukan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada Februari 2019.

 

Mereka menyatakan, "Kami dengan tegas menyatakan agama tidak boleh digunakan untuk menghasut terjadinya perang, kebencian, permusuhan dan ekstremisme, juga untuk memicu aksi kekerasan atau pertumpahan darah.”


Muhammad Syakir NF, alumnus Pondok Buntet Pesantren Cirebon