Opini

Kiprah NU terkait RUU PKS dan Ketidakseriusan DPR

Kam, 29 Agustus 2019 | 15:15 WIB

Kiprah NU terkait RUU PKS dan Ketidakseriusan DPR

Maraknya kekerasan seksual di Indonesia semestinya direspons secara serius oleh DPR. (Ilustrasi: alarabiya.net)

Akhir bulan Februari 2019 merupakan salah satu tonggak sejarah bagi salah satu organisasi sosial dan keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Bagaimana tidak? Dalam salah satu komisi bahtsul masail yang diselenggerakannya, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas NU) membahas secara serius RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang saat itu banyak disalahartikan publik. Lewat komisi rekomendasi, jam’iyah ini berani menyatakan komitmen untuk mendukung bahkan mendorong agar segera diundangkannya RUU PKS oleh wakil rakyat dan pemerintah.
 
Dengan keputusan ini, NU yang merupakan jam’iyah ijtimaiyah wa diniyah, siap untuk tidak populis mengingat berbagai tudingan miring dan hoaks terhadap RUU PKS ketika itu sangat besar di masyarakat. Mulai dari tuduhan melegalkan zina, melarang orang tua mendidik anaknya, menghilangkan wewenang wali mujbir nikah, hingga melegalkan LGBT. Jadi, keputusan NU saat itu mau tidak mau ada yang menanggapinya sebagai keputusan kontroversial. 
 
Melalui rekomendasi forum Munas itu pula, NU menegaskan posisi dirinya dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi, dengan kepala dingin, dan memperhatikan delik masalah yang sebenarnya, dilengkapi dengan data dan informasi yang kredibel, sehingga yang keluar bukan sekadar opini atau pendapat perseorangan (jika bukan malah opini liar) yang tidak bisa dipertangungjawabkan secara ilmiah kepada publik, bahkan nash keagamaan, melainkan pandangan universal dan siap dipertanggungjawabkan dunia akhirat. 
 
Berdasarkan data Komnas Perempuan yang dihimpun terhitung tahun 2014, dengan menimbang status korban kekerasan seksual yang terdiri atas anak dan perempuan, terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual di tahun itu dan tidak mendapatkan penanganan yang memadai. Tahun 2015 terdapat sebanyak 6.499 kasus. Tahun 2017, dengan instrumen yang diperluas dan dipertajam, tercatat sebanyak 2.979 kasus masuk dalam ranah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atau relasi personal dan 2.670 kasus yang masuk ranah publik dan komunitas. Sebanyak 10 kasus di antaranya terjadi pada kasus buruh migran. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia juga pernah melaporkan bahwa pada tahun 2015, terdapat 18 kasus pelecehan seksual pada pekerja migran. 
 
Data di atas, bila dikomparasikan dengan data Balai Pelayanan Kepulangan TKI Selapanjang, Tangerang—yang merupakan badan level daerah—justru menunjukkan fakta yang sedemikian mengkhawatirkan. Terhitung sejak tahun 2014 hingga tahun 2018, telah terjadi sebanyak 11.343 kasus pelecehan seksual. Jika data ini masih masuk catatan level daerah, maka bagaimana dengan catatan kasusnya pada level nasional? Apalagi, untuk kasus kekerasan seksual ini, acapkali dianggap sebagai kasus yang tabu di masyarakat sehingga banyak yang memilih untuk tidak melaporkannya atau memprosesnya secara hukum, bahkan lebih memilih penyelesaian secara pribadi atau kekeluargaan.  
 
Adapun bagi pihak yang melakukan pelaporan secara hukum terhadap kasus kekerasan seksual yang dialaminya, ternyata hukum positif kita masih mengenal dua istilah kekerasan seksual, yaitu pencabulan dan pemerkosaan. Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan, Pasal 281 hingga Pasal 303. Perbuatan Cabul yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan, atau sebaliknya seorang perempuan terhadap laki-laki yang telah menikah diatur dalam Pasal 284. Pasal 285 mengatur tentang Perkosaan. Dan Pasal 293 membahas mengenai bujukan berbuat cabul oleh orang yang masih belum dewasa. 
 
Di dalam Pasal 289, diterangkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan cabul adalah: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana selama-lamanya sembilan tahun.” Khusus untuk pencabulan ini diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296. Dalam Pasal 290 dijelaskan mengenai pencabulan terhadap pihak yang masih berusia di bawah 15 tahun atau belum siap menikah dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun penjara.
 
Namun demikian, dalam kasus pengadilan tindak pelaku pencabulan yang pernah diselenggarakan di Tanjung Pinang, 8 Maret 2017, pelaku dihukum hanya selama 1 tahun 4 bulan penjara. Padahal dengan kasus yang sama, tahun 2016, Pengadilan Negeri Sungailangkat, Bangka, tercatat pernah menjatuhkan putusan kasus pencabulan dengan lama 5 tahun penjara dengan merujuk pada bunyi UU No. 35/2014. Kedua fakta ini, menjadi sinyalemen bahwa ada ambiguitas di antara hakim dalam memaknai diksi pencabulan. Perlu diketahui bahwa dua kasus di atas, memiliki motif dan pelaku yang sama antara satu sama lain. Kog bisa menghasilkan putusan hukum yang beda, padahal dihadapkan pada KUHP yang sama. Inilah uniknya.
 
Jika ditelusuri lebih jauh, dua kosakata pencabulan dan pemerkosaan, tampaknya tidak mampu mengadopsi secara universal makna kekerasan. Misalnya, dalam definisi pemerkosaan, seringkali hukum positif mensyaratkan adanya bukti berupa residu sperma, baik di dalam organ kelamin maupun di dalam rahim perempuan. Jika dimaknai semacam ini, maka yang dinamakan sebagai pemerkosaan adalah mewajibkan adanya coitus (penetrasi kelamin/persenggamaan). Padahal tidak selalu demikian. Dengan definisi ini, maka jerat hukum tidak mampu masuk ke ruang pemaksaan seksual pada kasus penyimpangan marital rape. 
 
Melihat berbagai data dan kasus ini, sudah selayaknya hal tersebut mendapatkan perhatian serius dari wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Mengapa? Penderitaan korban pemaksaan seksual dan kekerasan adalah berlaku seumur hidup, dan tidak sebanding dengan pelakunya. Kadang si korban justru mendapat stigma negatif dari masyarakat karena sudah tidak suci lagi atau tidak perawan lagi. Baru-baru ini, kasus pemerkosaan justru terjadi pada anak usia balita di Mojokerto. Hukuman apa yang pantas bagi pelaku untuk membuat efek jera? Kasus ini berhasil mendobrak dan mengetuk perhatian banyak pihak. Padahal, kita belum dapat melupakan dengan kasus pedofilia di sebuah sekolah favorit di Jakarta beberapa waktu lalu. 
 
RUU PKS dibahas oleh DPR pada Senin (26/8/2019) lalu. Sayangnya, DPR menunjukkan sikap yang amat mengecewakan. Sebagaimana diberitakan Tirto, hanya tiga dari 29 orang yang hadir, serta hanya 2 dari 12 fraksi yang hadir (PKB dan PKS). Padahal DPR memiliki aturan bahwa pengambilan keputusan harus berdasarkan kuorum; artinya, setidaknya rapat harus dihadiri 7 dari 12 fraksi. Apalagi, rapat tersebut diselenggarakan secara tertutup. Masyarakat sipil yang dilarang memantau rapat di Balkon Komisi VIII DPR tersebut.  
 
Sudah waktunya untuk bangun memperhatikan nasib generasi bangsa ini. Jika bukan kita, lantas mau menunggu siapa? Formulasi hukum positif, yang digabung dengan pengetahuan syariat, merupakan solusi untuk menanganinya. Tulisan ini sama sekali belum menyinggung kasus pelecehan seksual yang marak di dunia maya. Namun, kiranya sudah cukup sebagai cambuk untuk bangkit merespon. Wakil rakyat, kami tunggu suaramu. 
 
 
Penulis adalah Ketua Tim Perumus Bahtul Masail Qanuniyah Munas Nu 2019 yang salah satunya membahas RUU PKS; Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur