Opini

Kerumunan Massa antara Ekspresi dan Tanggung Jawab Sosial

Sel, 17 November 2020 | 13:30 WIB

Kerumunan Massa antara Ekspresi dan Tanggung Jawab Sosial

Saat pandemi kita tak hanya memiliki hak berekspresi tapi juga tanggung jawab saat hak itu diejawantahkan.

Habib Rizieq Shihab (HRS) balik ke negeri tercinta setelah 3 tahun berada di Arab Saudi. Kedatangannya disambut massa besar hingga memacetkan akses bandara Soekarno-Hatta dan menimbulkan sedikit kerusakan di fasilitas bandara. Dampak semacam ini pernah terjadi pada perhelatan yang lain, baik agama maupun hiburan massa. Namun, untuk kasus kerumunan di bandara, ini adalah rekor. Apalagi ia bandara di ibukota. 


Dalam hidup bermasyarakat tidak bisa dihindari adanya respons beragam. Terhadap penjemputan yang super duper itu, komentar miring tak terelakkan. Maklum, apa yang terjadi telah merugikan transportasi penerbangan dan kenyamanan lingkungan. Respons adalah bagian dari aktifitas sosial. Jika ia sebatas pandangan yang berbeda dan tidak merugikan secara fisik dan lingkungan, ia baik-baik saja. Tapi manakala sampai pada level kedua, merugikan fisik dan lingkungan, maka ia telah menjadi masalah bersama dan masuk ranah hukum. 


Dalam teori sosial ada agency dan structure. Agensi adalah individu atau kelompok yang memiliki kehendak bebas. Sedangkan struktur adalah kerangka sosial tempat individu berada. Manusia siapa pun adalah agensi yang memiliki kemampuan berpikir dan berkehendak secara mandiri. Dia, dengan pandangan dan kehendaknya, dilindungi oleh hukum sebagai hak kebebasan berekspresi. Di saat yang sama, dia berada dalam struktur sosial yang menjadikannya berkewajiban melakukan fungsi sosial sesuai posisi masing-masing. Dengan ini, maka setiap manusia memiliki posisi sosial dan dituntut untuk bersinergi dengan sesama atau lintas posisi untuk menjalankan kehidupan bersama secara baik. Istilah Jawa: tata, tentrem, karta raharja; istilah Islam: baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur; istilah UUD 45: Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. 


Posisi dan fungsi sosial yang melekat pada setiap individu, seperti: pengikut - pemimpin, rakyat - pemerintah, warga - aparat, umat - ulama, pekerja - pengusaha, dan ulama - umara. Antara pemimpin dan yang dipimpin dituntut untuk menjalankan fungsinya secara baik. Yang memimpin mengatur dengan baik dan yang dipimpin bisa diatur dengan baik. Ketika pemimpin tidak mampu mengatur dengan baik, warga negara sebagai agensi yang bebas berpandangan, berhak mengkritik demi kebaikan bersama. Tapi, dia di saat yang sama, juga berada dalam struktur yang tidak bisa seenaknya mengekspresikan pandangan kritisnya. Hal ini terkait dengan kebebasan agensi yang lain untuk berseberangan pandangan. 


Selain posisi dan fungsi yang menuntut kerjasama antar agensi selaku pemilik kehendak bebas, struktur sosial menjadikan agensi baik individu mau pun kelompok, berada dalam hierarki yang menuntut mereka yang ada di bawah mengikuti petunjuk hierarki yang lebih tinggi. Hierarki ada yang formal dan ada yang informal. Yang berada dalam satu lingkup organisasi berlaku hierarki formal. Sedangkan yang tidak satu wadah berlaku hierarki informal. 


Setiap individu, sadar atau tidak, berada dalam hierarki formal dan informal dan dituntut untuk menghormati yang lebih tinggi (dan selalu ada yang lebih tinggi) dan menghargai yang sejajar sebagai sesama agensi. Di atas santri ada kiai. Di atas kiai ada kiai senior. Di atasnya ada yang lebih alim dan lebih alim lagi. Al-Qur’an, Yusuf [12]:76: “Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.”


Di atas habib masih ada habib yang lebih senior dan lebih berilmu yang harus diikuti secara hierarki. Secara horizontal, di sana terdapat banyak habib yang harus dihargai sebagai sesama agensi yang memiliki kehendak bebas. 


Karena agensi bersifat plural, tidak tunggal, maka antar mereka terhubung garis koordinasi. Ada banyak habib dengan aneka profesi dan pandangan agama dan politik. Di antara mereka ada yang identitas Arabnya tebal ada yang tipis. Bahkan banyak yang betul-betul secara lahiriah sangat Jawa dan tidak sedikit pun nampak ciri fisik Arab. Di Surabaya ada kawasan pesantren yang menjadi cagar budaya. Tidak ada yang menyebut mereka habib padahal mereka sebenarnya adalah dari kelompok mulia itu. Mereka aktif dalam dakwah dan pendidikan pesantren dan memilih untuk menyembunyikan identitas itu daripada diketahui orang. Di antara mereka risih dipanggil habib karena malu tidak pantas dirinya menyandang predikat itu meski mereka tidak pernah berbuat aib. Di antara habib ada yang pedagang, pejabat, akademisi, ulama, seniman, bahkan roker. Mereka, seperti halnya yang lain, berada dalam struktur sosial dan bersinergi dengan yang lain. 


Kebebasan agensi dalam menyuarakan kebenaran sesuai perintah hadis sahih riwayat Ahmad, tidak bisa dilakukan begitu saja untuk menyerang individu atau kelompok yang lain karena dia berada dalam struktur sosial dan berhadapan dengan sesama agensi yang berkehendak bebas. Yang menuduh bisa tertuduh oleh agensi yang lain. Yang menyalahkan pendapat orang lain bisa disalahkan oleh orang lain pula. Maka, yang bisa digunakan untuk tegaknya struktur sosial adalah ucapan Imam Syafi’i: “Pendapatku benar tapi berpotensi salah. Dan pendapat orang lain salah tapi berpotensi benar”. Atau jika sesama pejuang kebenaran berselisih, maka yang berlaku adalah keniscayaan saling menghargai antar sesama agensi. Atau yang dijelek-jelekkan lebih baik dari yang menjelekkan dan yang disalah-salahkan lebih benar dari yang menyalahkan.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya