Nasional

Kisah Pengalaman Suami-Istri Hadapi Covid-19

Sel, 17 November 2020 | 06:00 WIB

Kisah Pengalaman Suami-Istri Hadapi Covid-19

Foto ilustrasi pandemi Covid-19.

Jakarta, NU Online

Seorang penyintas Covid-19, Sofie Ghufron telah mengisahkan berbagai pengalamannya selama menjalani masa karantina sejak dinyatakan positif terinfeksi virus mematikan ini, pada 4 November 2020 lalu. 


Saat ini, ia sedang menunggu hasil tes swab kedua keluar untuk memastikan status negatif Covid-19 dan menyelesaikan masa karantina selama ini yang dilakukan secara mandiri di rumah. Selama dua pekan isolasi, Sofie mengaku sudah merasa sehat.


Kepada NU Online, Sofie menceritakan awal mula berbagai gejala Covid-19 ini muncul. Hal itu berawal pada pertengahan Oktober 2020 lalu. Katanya, justru sebelum divonis positif Covid-19, ia merasa tidak enak badan.


“Waktu itu menstruasi. Biasanya memang kalau menjelang menstruasi badan agak sakit. Tapi sakitnya waktu itu beda. Badan saya lemas dan tidak bisa bangun dari tidur,” katanya, Selasa (17/11) pagi.


Selain itu, Sofie mengalami demam tinggi selama beberapa hari. Bahkan lima hari kemudian ia mengalami flu dan batuk. Karena merasakan gejala-gejala seperti itu, ia langsung bergegas ke Puskesmas setempat untuk mengecek kesehatannya. Ia juga bermaksud agar bisa rapid test. 


Namun, pihak Puskesmas tidak melakukan rapid test untuk Sofie. Ia hanya disarankan untuk istirahat, mengonsumsi buah-buahan, dan minum air putih yang banyak karena didiagnosa kurang darah.


“Padahal gejalanya itu gejala umum Covid-19,” ungkap Sofie.


Ketika itu, ia juga tidak memperhatikan bagaimana penciumannya. Hanya saja, kondisi tubuh menurun dan hilang nafsu makan. Sepulangnya dari Puskesmas, Sofie kemudian minum obat. Namun selama tiga hari, sakitnya itu tak kunjung sembuh.


“Sekitar hari kedelapan, akhirnya saya ke IGD RS Permata Cirebon. Di situ ditanya-tanya, tapi bukan pertanyaan yang mengarah ke Covid-19. Di situ hanya diinfus, dikasih obat, dan langsung disuruh pulang,” kata Wakil Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama ini.


Padahal, lanjutnya, saat di rumah sakit itu ia meminta agar dirawat inap karena sudah sangat lemas lantaran selama beberapa hari terakhir tidak nafsu makan. Untuk menjaga daya tahan tubuh, Sofie menggantinya dengan mengonsumsi minuman yang manis-manis serta makanan ringan agar tetap punya tenaga.


“Kemudian pulang dan saya dikasih obat batuk, pilek, serta vitamin. Setelah beberapa hari itu agak hilang batuk-pileknya,” katanya.


Suami jatuh sakit


Setelah Sofie pulang dari IGD RS Permata Cirebon, suaminya jatuh sakit dan selama sepekan di rumah pun tidak sembuh. Kemudian berobat ke Puskesmas untuk dilakukan rapid test dan hasilnya non-reaktif. 


“Dia (suami) hilang penciuman tapi waktu itu nggak bilang ke saya. Dia minum obat dari Puskesmas pun nggak sembuh. Saya akhirnya memaksa suami untuk swab mandiri tapi dia nggak mau bahkan saya dianggap menuduh dia Covid-19,” ungkap Sofie.


Sofie memahami kondisi suaminya yang mungkin butuh waktu untuk istirahat terlebih dulu. Namun satu pekan pasca berobat, suaminya juga tidak sembuh dan meminta untuk ke RS Permata Cirebon.


“Setibanya di rumah sakit, suami saya gejalanya Covid-19 banget. Karena hilang penciuman maka langsung dirontgen, diisolasi, dan diberi oksigen. Dua jam kemudian, hasilnya keluar dan ada bercak di paru. Kondisi saya ketika itu karena suami sakit, jadi saya mengambil posisi harus lebih kuat,” tutur Sofie. 


Kata dokter, Sofie menuturkan, gejala yang dialami suaminya itu sudah mengarah ke Covid-19. Namun untuk lebih pastinya, harus dites swab terlebih dulu. Untuk mendapatkan swab gratis, harus mendapatkan izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon.


“Setelah mendapatkan keputusan swab gratis pada 30 Oktober, akhirnya dia dipindahkan ke ruang isolasi dan dinyatakan suspect (terduga) Covid-19, karena belum keluar swabnya. Jadi masih dicurigai. Akhirnya saya pulang. Dua hari di rumah, saya dapat kabar dari rumah sakit, bahwa dia positif Covid-19 (1 November),” ungkap Sofie.


Ia mengungkapkan, sejak awal sudah menyadari bahwa Covid-19 sangat berbahaya. Sekalipun sudah berupaya maksimal untuk disiplin protokol kesehatan, tapi kemungkinan terinfeksi virus tetap ada. 


“Karena kita tidak pernah tahu virus itu dapat dari mana. Kewaspadaan itu bikin saya siap kalau sewaktu-waktu kena, saya siap mental,” ungkapnya dengan intonasi yang mengharukan.


Setelah mendapat kabar suaminya positif Covid-19, pada 2 November 2020 Sofie dan kedua anaknya juga menjalankan tes swab dengan dijemput oleh ambulans dari Puskesmas ke rumahnya, di Desa Desa Cempaka, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon.


“Pada 4 November, dapat kabar saya positif tapi anak-anak negatif. Anak-anak langsung diungsikan ke rumah saudara di dekat-dekat sini,” katanya.


Karantina mandiri di rumah


Kemudian ia memutuskan untuk melakukan karantina mandiri di rumah karena memang setelah hasil swab keluar, kondisi Sofie baik-baik saja. Hanya saja masih tersisa gejala ringan seperti buang-buang air, pusing, lemas, dan tidak ada nafsu makan. Hal-hal tersebut, baginya, masih bisa diatasi sendiri.


“Bisa makan agak nikmat sedikit itu baru-baru ini saja. Tapi tetap makan, karena saya pikir kalau lemah karena tidak makan, nanti si virus malah semakin kuat. Pokoknya saya tetap makan dan  minum vitamin yang banyak dikirim orang-orang,” ungkap Sofie. 


Respon tetangga


Saat awal-awal suaminya dinyatakan positif Covid-19, masyarakat di lingkungan rumah Sofie masih tenang-tenang saja dan tidak ada yang menawari bantuan. Bahkan, ia sempat berfikir bahwa masyarakat sekitar cuek.


“Padahal di grup whatsapp RW saya sudah beri kabar, kalau suami positif Covid-19 tapi tidak direspons,” ungkap Sofie.


Namun ketika Sofie mengabarkan kepada masyarakat bahwa dirinya telah dinyatakan positif Covid-19, tetangga di sekitar berduyun-duyun datang untuk memberikan bantuan. Bahkan, Kepala Desa Cempaka sempat menghubungi dan memberi dukungan kepadanya,


“Pengurus RT dan ibu-ibu di lingkungan juga mengumpulkan bantuan. Cuma memang nggak berani ke rumah. Nah sebelum saya positif itu ada penyemprotan disinfektan pada 2 November 2020,” katanya.


Menurut Sofie, masyarakat di sekitar sejak awal memang percaya terhadap Covid-19 tapi masih abai soal pencegahannya. Bahkan, ia pernah meminta agar dibentuk Tim Satgas Covid-19 di tingkat RT, tapi tidak diperhatikan.


“Saya dalam hati mungkin Tuhan menunggu orang terdekat dulu kena baru orang pada percaya. Ketika saya positif, mereka langsung bikin Satgas Covid-19 di tingkat RT,” katanya.


Semasa Sofie menjalani masa karantina, beberapa warga dari RT lain juga memberikan sumbangan dan dukungan moral walaupun tidak kenal secara emosional. Bantuan yang diberikan adalah makanan, obat-obatan, vitamin, dan sabun untuk cuci tangan.


“Alhamdulillah, mungkin saya terinfeksi Covid-19 ini adalah bagian dari cara mereka sadar diri bahwa Covid-19 memang ada,” ungkap Sofie.


Aktivitas selama karantina


Sofie mengatakan, setiap pagi pukul sembilan ia berjemur di atas rumahnya, tempat jemuran pakaian, untuk mendapatkan sinar matahari secara langsung. Untuk olahraga, ia merasa tidak cukup kuat. Oleh karena itu, diganti dengan aktivitas lain seperti bersih-bersih rumah.


“Hitung-hitung olahraga. Jadi di rumah aktivitasnya seperti itu sampai jam 12 siang. Lumayan berkeringat,” ungkapnya.


Selama 14 hari karantina, pasokan makanan yang diterima sangat aman. Ia menerima dari banyak orang termasuk teman-temannya yang menyuplai berbagai makanan, obat-obatan, dan vitamin. Sedangkan cara Sofie menghilangkan rasa jenuh adalah menuliskan berbagai hal di dinding facebook pribadinya.


“Itu cara saya healing dan membunuh sepi. Karena orang luar sama sekali nggak ada kontak. Ingin ke ruangan tv saja malas sendirian. Jadi duduk di dekat jendela rumah saja karena enak, ada udara masuk,” ucapnya.


Hal yang dialami Sofie itu, berbeda dengan suaminya yang diisolasi di rumah sakit. Katanya, di sana tidak ada sinar matahari yang masuk, kamarnya pun di kunci. Bahkan, mental suaminya turun dan seperti menghadapi kematian.


“Nah, saya harus selalu sehat supaya bisa menghibur dia. Jadi selain kesibukan saya di rumah, saya juga support kebutuhan suami di rumah sakit. Setiap hari saya juga mengirim berbagai obat dan makanan ke suami. Dia juga butuh makanan tambahan,” ungkap Sofie.


Hampir setiap jam, Sofie menelepon suaminya untuk menghilangkan jenuh dan stress karena isolasi. Kini, suaminya sudah memasuki hari ketujuhbelas masa karantina dan hanya menunggu hasil swab terakhir untuk memastikan telah negatif Covid-19.


Harapan Sofie untuk masyarakat


Dikatakan bahwa angka kasus Covid-19 masih sangat tinggi. Sementara saat ini masyarakat sudah mulai abai dan seringkali bepergian atau menghadiri kerumunan. Hal tersebut berbeda dengan kondisi di awal-awal pandemi, yang masyarakat mampu berdisiplin menerapkan protokol kesehatan.


Ia berharap, masyarakat harus tetap menjaga protokol kesehatan seperti mencuci tangan sesering mungkin, menjaga jarak aman dari kerumunan, dan memakai masker. Kalau bisa, kata Sofie, segala pekerjaan yang bisa diselesaikan dari rumah maka kerjakan di rumah saja.


Oleh karena itu, ia mengimbau kepada masyarakat agar mampu menciptakan suasana rumah yang enak, nyaman, sehat, dan bersih. Jika sudah nyaman maka tidak ada terbersit fikiran untuk keluar dari rumah.


Protokol kesehatan pun harus diterapkan ketika masuk ke dalam rumah, seperti langsung membuka pakaian dan segera mandi sebelum tidur atau berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain.


“Kita tidak pernah tahu, masuknya virus dari kelalaian kita yang mana. Sepanjang kita sudah ikhtiar menjalani protokol kesehatan dengan disiplin, kalaupun terjadi setidaknya kita tahu harus melakukan apa,” ungkap Sofie, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Kesehatan Fatayat Kabupaten Cirebon.


Ia menegaskan, ketika mengalami berbagai gejala demam atau tidak enak badan maka jangan didiamkan, tetapi harus segera ditindaklanjuti dan ditangani. Sebab jika tidak segera ditangani, virus akan secara diam-diam membunuh dan menghabisi tubuh.


Tak hanya itu, menurutnya fikiran dan emosi yang sehat juga penting untuk diperhatikan. Untuk bahagia, lanjut Sofie, tidak harus dengan berkumpul dengan banyak orang. Bahkan sekarang pertemuan bisa dilakukan secara virtual. 


“Harus dikurangi sebanyak mungkin pertemuan itu agar virus tidak menyebar terus. Selama kita kumpul-kumpul maka virus akan tetap ada. Cara kita memutus mata rantai penularan adalah jangan banyak bertemu orang dulu,” pungkas Sofie.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad