Opini

Langkah Memperkuat Harmonisasi Bangsa

Sel, 31 Desember 2019 | 15:45 WIB

Langkah Memperkuat Harmonisasi Bangsa

Ilustrasi kemajemukan bangsa. (Kompas)

Oleh Fathoni Ahmad

Pemerintah dan segenap elemen bangsa harus membangun kembali lembaran kerukunan yang terkoyak. Merajutnya dengan benang-benang keindonesiaan sehingga lahir kembali menjadi tenunan kebinekaan. Setidaknya ada beberapa langkah dalam membangun dan memperkuat harmonisasi bangsa di Indonesia yang multikultural.

Pertama, menumbuhkan kesadaran umat bahwa berbeda adalah keniscayaan dari Tuhan. Kita tidak bisa memilih lahir dari suku-suku tertentu, warna kulit atau yang lain. Bahkan kita tidak bisa memilih dari rahim siapa kita dilahirkan. Allah menyebutnya dalam Alquran Surat Ar-Rum ayat 22:

“Dan dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan seluruh langit dan bumi, dan perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda bagi mereka yang mengetahui”. (QS Ar-Rum [30]: 23)

Dari ayat Al-Qur’an di atas dapat dijelaskan bahwa berbeda adalah karunia dan rahmat Allah yang patut disyukuri. Bila hal ini bisa dimaknai dengan baik, perbedaan tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Sebaliknya, menjadi lazim untuk dirangkul serta didekati sebagai wujud harmonisasi dalam keberagaman.

Kedua, meyakinkan masyarakat bahwa bentrokan dan kerusuhan hanya akan meninggalkan luka dan trauma mendalam. Tak satu pun daerah yang mengalami konflik dan bentrok akan sembuh dengan cepat secara psikologis. Ketakutan-ketakutan akan menghinggapi anggota masyarakat terutama perempuan dan anak-anak.

Ketiga, menghilangkan prejudice atau prasangka negatif terhadap orang yang berbeda dengan kita. Sebab prejudice menjadi bagian dari pemicu konflik sosial di masyarakat. Memandang kelompok lain yang berbeda dengan prasangka negatif hanya akan menimbulkan antipati terhadap kelompok tersebut. Sehingga memudahkan munculnya gesekan-gesekan yang akan memicu konflik.

Keempat, membangun toleransi dan komunikasi yang baik antara komunitas yang saling berbeda. Terkadang kesalahan informasi dan munculnya toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana yang diungkapkan P. Knitter berpotensi melahirkan konflik. Oleh karena itu, komunikasi dan toleransi aktif menjadi urgen dalam membangun sebuah komunitas yang plural. Sehingga potensi miskomunikasi dan informasi tidak mudah terjadi.

Kelima, menyelesaikan akumulasi permasalahan sosial, seperti, kemiskinan, pengangguran dan lain-lain. Sebab konflik bernuasa agama tidak semuanya berakar karena persoalan agama. Bahkan, salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi (1944-2017) mengungkapkan, 70 persen konflik keagamaan terjadi karena faktor non-agama yang diagamakan.

Terkadang konflik lahir karena persoalan kegundahan sosial dan politik, kemudian berevolusi menjadi bongkahan kekecewaan. Mereka tidak menemukan solusi yang tepat dan menjadi pribadi atau kelompok yang teralienasi dalam menghadapi berbagai masalah sosial. Akibatnya, mudah tersulut emosi dan dipengaruhi pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab sehingga terjadilah konflik sosial di masyarakat.

Teladan Nabi

Nabi Muhammad SAW telah meneladankan bagaimana membangun harmonisasi bangsa di Madinah. Di sini Piagam Madinah secara historis penting untuk mengembalikan ingatan umat Islam bahwa dahulu Nabi Muhammad menyusun dasar negara berdasarkan kesepakatan seluruh warga bangsa.
 
Lantas seperti apa korelasinya dengan Pancasila? Di sini Nabi Muhammad memberikan inspirasi bagi aktivis Islam dan ulama Indonesia dalam menyusun dasar negara.

Madinah kala itu memang berkembang menjadi kawasan yang majemuk atau pluralistik. Konsensus atau kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) berdasarkan asas keadilan untuk semua bangsa, baik Muslim, Yahudi, Nasrani, kabilah, dan suku-suku yang hidup di Madinah.

Sejumlah alasan ilmiah dan alamiah penyusunan Piagam Madinah ialah pertama faktor universal, yaitu mengokohkan kemuliaan kemanusiaan (karomah insaniyyah). Kedua, faktor-faktor lokal, yaitu kemajemukan, kecenderungan bertanah air, dan semangat toleransi keagamaan dan kemanusiaan.

Piagam Madinah berisi 47 pasal. Ia merupakan supremasi perjanjian negara pertama dalam sejarah Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad. Dengan kata lain, Nabi SAW mendirikan Darul Mistaq, negara kesepakatan antarkelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
 

Penulis adalah Redaktur NU Online