Opini

Jadi NU Lahir Batin hingga dalam Politik

NU Online  ·  Kamis, 21 Juni 2018 | 13:45 WIB

Oleh M. Fahmi Basya 

Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.

Definisi di atas tertuang dalam Naskah Khittah NU poin kedua yang disusun Abdul Mun’im DZ dalam bukunya Piagam Perjuangan Kebangsaan (2011). Naskah Khittah yang dirumuskan oleh KH Achmad Siddiq dibantu oleh beberapa kiai lain menjadi tonggak kembalinya NU dalam rel perjuangan seperti cita-cita organisasi pada awal didirikan.

KH Achmad Siddiq menegaskan bahwa Khittah NU tidak dirumuskan berdasarkan teori yang ada, tetapi berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Tujuan kembali ke khittah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan keindonesiaan.

Bagi NU yang sudah kembali menjadi organisasi sosial keagamaam dan kemasyarakatan ini, politik hanya instrumen mencapai tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Sebab itu, politik yang dipraktikkan NU secara struktural adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika, bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua cara. 

Warga NU harus menyadari betul bahwa NU juga tidak melarang warganya yang tidak masuk dalam struktur pengurus jam'iyah baik dari tingkat Ranting sampai PBNU untuk masuk pada salah satu partai politik yang ada di indonesia sesuai ijtihadnya dalam rangka ingin berkontribusi dalam berdakwah memperjuanagkan kemaslahatan bagi bangsa dan negara.

Namun, untuk mewujudkan itu warga NU juga harus selektif dalam menentukan pilihan mau masuk parta politik mana, tidak boleh hanya berijtihad berdasar pada keinginan nafsu pribadinya, melainkan harus meletakkan pilihan itu yang sesuai tujuan organisasi NU. Sebab semua partai politik itu dalam pandangan NU hanya sebuah instrumen atau salah satu dari wasilah wasilah untuk sampai pada maqashid jam'iyah.

Maka bila tujuan itu diyakani benar dan baik maka wasilahnya juga harus benar dan baik, tidak bisa kita memperjuangkan hal yang kita yakini benar dan baik, tapi dengan wasilah atau cara yang tidak benar dan tidak baik atau menghalalkan segala cara karena sesuai qoidah fiqh :

الوسائل في حكم المقاصد 

Oleh karenanya, kalau dalam satu partai ada sebuah pemikiran, tujuan atau tindakan yang jelas menyimpang dari garis perjuangan ulama NU, maka wajib hukumnya bagi warga NU untuk tidak masuk dalam partai tersebut, seperti parta politik yang pimpinan atau kadernya selalu menfitnah para ulama atau pimpinan ormas NU, nyinyir dengan amaliah-amaliah NU, dan parpol yang mendengungkan khilafah sebagai ganti Pancasila, UUD 45 dan bentuk negara yang telah disepakati oleh para muasis NU dan para pendiri bangsa ini.

Akhirnya dengan kita bisa memilih dan memilah dengan baik, kita akan benar benar menjadi warga NU dzohiron wa bathinan yang bisa berharap masuk dalam doa salah satu pendiri NU, beliau Hadratussyekh KH Hasyim As'ari :

"Siapa yang mengurusi NU, saya anggap santriku, siapa yang jadi santriku aku doakan husnul khotimah".


Penulis adalah Katib Syuriyah PCNU Sleman, Yogyakarta