Oleh: Fahmi Zakwani*
Sudah sekian banyak tulisan dan pidato yang telah membahas tentang cara menyikapi perbedaan yang ada di sekitar kehidupan manusia. Toh, kita tetap saja belum bisa mengaplikasikan sepenuhnya dari apa yang sudah kita pelajari dari pembahasan ini. Teror sebuah organisasi yang mengatasnamakan agama terhadap Gus Dur beberapa waktu yang lalu adalah salah satu bukti yang nyata. Penulis melihat banyak sekali faktor yang menjadi penyebabnya. Namun, tulisan ini tidak bertujuan membahas faktor-faktor tersebut. Penulis hanya ingin memberikan contoh-contoh sikap para pendahulu kita ketika menghadapi suatu perbedaan.
Perbedaan di kalangan umat Islam sudah ada semenjak zaman kekasih Allah Muhammad Saw. Beliau sering meminta pendapat para sahabat ra ketika ingin memutuskan suatu perkara. Meskipun pada akhirnya keputusan itu kembali kepada beliau. Dan terkadang perbedaan itu dibiarkan saja. Dan jelas para sahabat ra memiliki pendapat yang berbeda-beda karena setiap pribadi memiliki keunikan masing-masing. Sedangkan Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah yang selalu didampingi Jibril sebenarnya mudah saja untuk memutuskan perkara itu. Justru di sinilah, Beliau ingin mencontohkan bagaimana seharusnya menjadi pemimpin yang benar di tengah-tengah perbedaan. Siapapun yang "dimenangkan" tak merasa besar hati, sementara yang "dikalahkan" tak harus merasa rendah diri karena perbedaan itu didasarkan niat yang ikhlas.
Di antara para sahabat yang sering berbeda adalah Abu Bakar Asshidiq ra dengan Umar bin Khattab ra. Sesekali pendapat Abu Bakar yang dibenarkan Nabi, pada kali lain justru pendapat Umar yang dipakai. Suatu contoh, pada saat perjanjian Hudaibiyah. Saat itu Umar berdebat dengan Abu Bakar, karena Umar tidak setuju dengan isi perjanjian itu karena beliau merasa Islam dilecehkan oleh Kafir Quraisy. Padahal Rasulullah saw sendiri yang ikut menyepakati isi perjanjian. Namun, setelah Umar mendengar penjelasan dari Rasulullah saw, maka Umar pun dapat memahaminya.1
Dan kita dapat lihat di sini, bahwa penjelasan dari Rasul Saw kepada Umar tidak mungkin terdapat unsur yang dibuat-buat apalagi suatu kebohongan hanya untuk mendapatkan dukungan dari Umar. Bukankah Rasulullah saw terkenal dengan sebutan Al-Amin semenjak masa sebelum kenabiannya.
Satu hal lagi yang dapat kita ambil dari sini. Sebelum terjadinya perjanjian ini, kaum Muslimin sempat termakan isu bahwa Utsman bin Affan ra yang diutus Rasul Saw ke Makkah telah dibunuh penduduk Makkah. Saat itu kaum Muslimin langsung berkumpul untuk berperang mati-matian. Di tengah panas-panasnya isu tersebut, tiba-tiba muncullah Utsman yang diisukan telah terbunuh, sehingga kemarahan kaum Muslimin teredam.2
Isu, fitnah dan segala bentuk yang sejenisnya memang amatlah membahayakan bagi semua orang. Karena hampir di setiap jenis kelompok dari yang kecil sampai yang besar ada pribadi-pribadi yang menunjukkan perangai yang kurang baik. Maka kita haruslah secermat mungkin menghadapi isu-isu yang mereka keluarkan. Tabayyun (klarifikasi) amatlah diperlukan dalam hal ini.
Kemudian, pelajaran-pelajaran berharga terus dicontohkan ulama-ulama Islam. Bahkan, “jihad” mereka telah menghasilkan buku-buku yang menjadi kiblat bagi Barat pada zaman keemasan kaum Muslimin. Lagi-lagi dalam kitab-kitab itu kita mendapatkan perbedaan-perbedaan yang mendewasakan. Salah satu contoh yang sangat menyentuh hati bisa kita lihat dari kitab Nahwu (kaidah bahasa Arab) yang sering kali kita gunakan. Bahauddin Abi Muhammad bin Abdurrahman bin Abdullah Al Aqily ra yang masyhur dengan sebutan Ibnu Aqil dalam mensyarah Alfiyahnya Jamaluddin Abi Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Abdullah bin Malik ra atau Ibnu Malik selalu saja menunjukan perbedaan-perbedaan di kalangan ulama bahasa Arab di dalam banyak kaidah-kaidah Nahwu. Selain menukil pendapat yang sesuai dengan mereka, mereka tidak membuang atau mengenyampingkan pendapat yang berbeda. Mereka akan mendukung suatu pendapat setelah mereka menemukan dalil-dalil yang mendukung. Baik dalil itu dari Al-Quran maupun dari syair-syair Arab. Dalam satu kaidah, mereka akan mendukung golongan A ketika memiliki dalil kuat. Tapi di dalam kaidah yang lain, mereka bisa mendukung golongan B jika ada dalil untuk kaidah itu. Bahkan seorang guru penulis, Ustadz Nasbin Panyahatan berkata: “Kita bisa belajar bagaimana berpolitik yang benar dari kitab Ibnu Aqil ini”. Alias, tidak pernah ada ciri-ciri ta’ashub (fanatik berlebihan) dalam kitab ini. Sebagaimana yang penulis sebutkan tadi, ini hanya sebuah contoh dari sekian banyak kitab-kitab karangan Ulama Islam yang tidak mengucilkan apalagi sampai menyingkirkan perbedaan.
Sedangkan di kalangan ulama Indonesia sendiri, pemahaman akan pluralisme semenjak dulu sudah mulai ditanamkan. Pada tahun 1926, beberapa bulan sebelum organisasi NU berdiri, Kiai Hasyim Asy’ari menulis sebuah artikel dalam majalah Suara Nahdlatul Ulama. Dalam artikel ini beliau menegaskan tentang diharamkannya bedug sebagai penanda waktu shalat karena tidak ada Hadits yang menjelaskannya. Sebulan kemudian, Kiai senior lainnya, Kiai Fakih dari Gresik menulis artikel yang isinya membantah pendapat kiai Hasyim tersebut. Sebagai tanggapannya, Kiai Hasyim mengundang ulama Jombang untuk berkumpul di Pesantren Tebu Ireng dan meminta agar kedua artikel tersebut dibaca keras. Setelah dibacakan dihadapan para tamu, Kiai Hasyim berkata: &
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
4
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
5
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
6
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua