Opini

Skandal BBC dan Mitos Netralitas Media pada Isu Israel-Palestina

NU Online  ·  Rabu, 30 Juli 2025 | 18:05 WIB

Skandal BBC dan Mitos Netralitas Media pada Isu Israel-Palestina

Ilustrasi Palestina dan Israel (Foto: Freepik)

Dunia jurnalisme Barat beberapa waktu lalu diguncang skandal besar. Lebih dari 100 staf BBC memberi pernyataan sikap tertulis yang ditujukan kepada Direktur Jenderal BBC, Tim Davie. Pimpinan mereka sendiri.


Poin utama dari surat pernyataan itu adalah; staf BBC tidak mau lagi menjadi bagian dari corong propaganda Pemerintah Israel. Mereka lelah dengan standar ganda BBC pada isu Israel-Palestina selama beberapa bulan ke belakang.


Dalam surat itu disebutkan, "Sering kali, BBC justru sedang menjadi tim humas bagi pemerintah dan militer Israel."


Skandal ini jadi sorotan publik setelah Owen Jones—kolumnis The Guardian—memposting tulisannya tentang surat tersebut melalui akun Twitternya pada 3 Juli 2025. Owen Jones menjelaskan bahwa staf BBC menilai bahwa kantor berita mereka sendiri telah memandang nyawa orang Palestina lebih rendah dibanding nyawa orang Israel.


Korban dari pihak Palestina selalu ditutup-tutupi, sedangkan korban dari pihak Israel selalu dilebih-lebihkan. Suara rakyat Palestina jarang sekali ditampilkan. Bahkan sekalipun pada akhirnya ditampilkan, orang Palestina akan “diadili” karena tuduhan afiliasi dengan Hamas.


Ironisnya, BBC nyaris tak memberitakan secara proporsional tentang surat penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional terhadap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Israel. BBC juga kerap menutup-tutupi seruan genosida yang dilontarkan pejabat-pejabat Israel.


"Banyak liputan BBC tentang konflik ini (Israel-Palestina) dipengaruhi oleh rasisme anti-Palestina," tulis surat pernyataan tersebut.


Mitos Netralitas Media
Salah satu kekecewaan para staf BBC adalah hilangnya kesempatan untuk menyampaikan liputan yang adil dan berimbang. Atasan mereka kerap berlindung di balik klaim “netralitas”. Bahkan, jurnalis yang membagikan artikel kritis terhadap Israel pun secara internal dianggap “tidak netral”.


Pertanyaannya kemudian, benarkah media dan jurnalis harus netral? Jawabannya: tidak.


Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku The Elements of Journalism, menyebutkan di pendahuluannya bahwa netralitas merupakan mitos dalam dunia jurnalisme. Bagi Kovach dan Rosenstiel, media tidak harus netral.


Selama ini, netral selalu dikonotasikan sebagai pilihan baik dan suci. Padahal justru sebaliknya, sikap netral bisa masuk kategori keji dan jahat. Terutama jika sikap netral dihadapkan pada kondisi ketidakadilan atau ketimpangan.


Kondisi inilah yang dialami oleh para staf BBC. Mereka mengetahui kondisi ketidakadilan pada isu Israel-Palestina tapi tidak bisa berbuat banyak karena kantor berita mereka menggunakan diksi “netralitas” untuk bersembunyi. Menggunakan “netralitas” sebagai jubah moral.


Padahal, netral merupakan salah satu sikap munafik dalam kerja jurnalistik. Sikap netral justru menunjukkan keberpihakan kepada pihak yang dominan. Sikap ini merupakan bentuk pembiaran terhadap situasi ketimpangan. Apalagi, jika dilihat lebih dalam, pada praktiknya selama ini, sikap netral pada media tidak pernah bisa dilakukan.


Tidak perlu sampai ke perihal kurasi berita yang tayang, pilihan kata yang digunakan dalam penulisan berita sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana suatu media tidak bisa netral. Jika orang Israel menjadi korban, mereka disebut “dibunuh” (baca: murdered), tapi jika orang Palestina menjadi korban, mereka disebut sebagai “kerusakan tambahan” (baca: collateral demage).


Pilihan diksi seperti ini sudah menunjukkan sesuatu. Bahkan untuk media yang mendaku “netral” seperti BBC atau media Barat yang lain, mereka tetap tidak luput pada praktik keberpihakan.


Keadilan Media
Kalau media tidak bisa netral dan selalu berpihak, lalu apa yang tersisa?


Jawabannya satu: adil. 


Prinsip utama jurnalisme merupakan sikap adil terhadap fakta. Ini tergambar dari elemen-elemen jurnalisme yang disusun Kovach dan Rosenstiel. Elemen-elemen yang seharusnya jurnalis ketahui dan juga publik harapkan terhadap media.


Kovach dan Rosenstiel menyadari bahwa media tidak bisa lepas dari jebakan framing, stereotipe, dan bias dari jurnalisnya. Untuk itulah mereka tidak memasukkan elemen netral sebagai bagian yang harus dimiliki media. 


Apalagi—harus diakui—produk media bukanlah fakta, ia adalah representasi dari fakta. Ada distorsi fakta yang terjadi sehingga diperlukan perangkat lain untuk membuat produk media lebih tepat guna untuk sampai ke publik.


Dari beberapa elemen jurnalisme Kovach dan Rosenstiel, ada dua di antaranya (dari sembilan elemen) merupakan pengejewantahan tentang kewajiban media bersikap adil. Dua elemen itu adalah menjadi anjing penjaga (watchdog) dan loyal terhadap publik.


Menjadi anjing penjaga dan loyal terhadap publik merupakan dua elemen jurnalisme yang membuat media justru tidak boleh netral. Sebaliknya, dua elemen ini justru mengharuskan media untuk berpihak guna menciptakan kondisi yang lebih adil.


Dari penjelasan ini, maka bisa diartikan media harus berpihak pada kelompok rentan yang termanifestasi sebagai “publik” dan kritis terhadap kelompok dominan sebagai anjing penjaga yang galak. Dengan sikap seperti ini, media diharapkan bisa mendorong kondisi riil yang tidak timpang sebelah.


Akan tetapi, jika yang terjadi sebaliknya bagaimana? 


Misalnya, media justru merilis berita yang kritis terhadap kelompok yang rentan dan berpihak pada kelompok dominan, maka ia tidak layak disebut sebagai produk media massa. Ia lebih tepat disebut sebagai media propaganda.


Persis yang dilakukan BBC dan banyak media Barat lainnya pada isu Israel-Palestina. Mereka berulang kali membesarkan narasi dari Israel tapi mengecilkan narasi tentang Palestina, sembari mengklaim diri sebagai pihak yang netral. Sebuah sikap yang, andai Uskup Desmond Tutu (penentang apartheid di Afrika Selatan) masih hidup, akan ia kritik keras.


Katanya, “Jika Anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, berarti Anda telah berada di pihak yang menindas.”


Syafawi Ahmad Qadzafi, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta