Opini

Identitas, Islam, dan Muallaf

NU Online  ·  Ahad, 25 Juni 2017 | 23:02 WIB

Oleh Muhammad Ali Wafa
Begitu pentingnya sebuah nama sehingga setiap orang harus memilikinya. Nama kata lain dari identitas yang mutlak dan wajib dimiliki. Ada Paspor, KTP, SIM, dan lainnya, tanda pengenal atau identity card (kartu identitas) yang sering ditanyakan. Tanpa tanda pengenal, orang bisa bermasalah atau menemukan banyak kesulitan.

Bertemu orang tidak dikenal pertanyaan pertama yang disampaikan adalah siapa namamu? What's your name bahasa Inggrisnya dan man ismuka bahasa Arabnya. Pertanyaan ini adalah materi pertama dalam pelajaran bahasa dengan tema introduce, at-ta'aruf, atau perkenalan. Begitu juga dalam dengan bahasa lainnya. Di mana topik pertama pembahasannya selalu tentang identitas.

Tidak ada yang tidak bisa dilepaskan dari nama atau identitas. Apa yang anonim akan dicari namanya, apabila tetap tidak ada akan diberikan identitasnya. Anak sebelum lahir sudah disiapkan nama sebagai identitas pribadinya. Saat lahir, identitasnya dipertegas dengan selamatan, syukuran, atau aqiqahan dalam bahasa formalnya. Setelah itu, pada saatnya ia akan ditanya tentang akte lahir dan kartu keluarganya.

Apapun akan bermuara pada nama atau identitas. Maka, tentang pentingnya nama dan identitas itu, Allah SWT yang pertama kali diajarkan kepada Adam AS adalah tentang nama (wa ‘allama Adamal asma’a). Identitas akan selalu terintegrasi dengan manusia khususnya dan hal lain pada umumnya. Saking pentingnya, identitas itu akan terbawa sampai ke akhirat kelak. Setiap orang akan dipanggil sesuai dengan namanya masing-masing.

Ada yang menarik tentang nama dan identitas kaitannya dengan muallaf. Lumrahnya, non-Muslim yang masuk Islam (muallaf) namanya diganti dengan nama khas Islam. Jika tidak, nama depan atau belakangnya ditambah dengan nama khas Islam. Tetapi, KH Ali Mustafa Yaqub saat mengislamkan bule berkebangsaan Prancis yang bernama Sbastian France Gendrong tidak mengubah atau menambah namanya dengan nama khas Islam. Kiai Ali tetap membiarkan nama baptisnya sebagai identitas walaupun agama barunya adalah Islam.

Kiai Ali tidak menyebutkan alasannya. Ia hanya menjelaskan bahwa mengganti atau menambahkan nama dengan nama khas Islam tidak wajib bagi muallaf. Menurutnya, yang terpenting adalah identitas agamanya sudah berganti menjadi Islam, bukan mengganti namanya. Seseorang menyarankan agar Kiai Ali memberikan nama khas Islam, tetapi ia tidak menggubrisnya.

Tampaknya apa yang ia maksud sama seperti apa yang disampaikan oleh Lim Jooi Soon (Pakar Alkitab), muallaf Tionghoa Malaysia yang namanya tidak mau diganti menjadi nama khas Islam setelah masuk Islam. Menurutnya, tradisi mengganti nama muallaf dengan nama khas Islam membuat banyak orang Tionghoa takut untuk memeluk Islam. Ia menambahkan, imbas mengganti nama itu juga menghambat akses dakwah terhadap orang Tionghoa. Muallaf Tionghoa itu berdalih, saat Salman Al-Farisi dan Bilal bin Rabah masuk Islam namanya tidak diganti oleh Rasulullah SAW. Salman dibiarkan dengan nama Persinya dan Bilal tetap dengan identitas Afrikanya agar dakwah terhadap kaumnya mudah diterima. Sederhana, hanya karena nama hidayah bisa berbalik. Untuk itu, menurut muallaf yang satu ini, mengganti nama muallaf dengan nama khas Islam tidak mengikuti sunah Nabi SAW.

Itulah pentingnya nama dan identitas yang memiliki peranan vital bagi kehidupan seseorang. Tentang suatu eksistensi, harkat, martabat, dan pengaruh, identitas, dan nama bisa menjadi penentunya. Karena alasan ini, paman Rasulullah SAW Abdul Mutthalib enggan bersyahadat meski mengakui kerasulan keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Begitulah urgensitas nama dan identitas itu. Untuk itu, Rasulullah SAW menitahkan agar setiap anak diberi nama yang baik karena itu adalah doa dan akan berpengaruh terhadap masa depannya. Dalam sabdanya, Rasulullah SAW juga memerintahkan agar seorang anak diberi nama “Abdullah” atau “Abdurrahman” karena kelak mereka akan dipanggil dengan nama-nama itu di akhirat.

Tampaknya, tradisi mengganti nama muallaf berdasar pada perintah Rasulullah SAW yang kedua di atas. Apalagi, ada ulama yang menjelaskan bahwa kelak di akhirat orang-orang akan dipanggil dengan nama khas Islam, bukan dengan nama Tionghoa, Latin, atau lainnya. Tetapi, apakah hal ini adalah suatu keharusan? Dalam bahasa syariat, apakah nama khas Islam itu wajib bagi setiap orang yang menyatakan dirinya Muslim?

Secara tekstual, titah Rasulullah SAW di atas dapat dipahami sebagai suatu keharusan. Tetapi keharusan ini tidak sampai pada level wajib. Secara kontekstual, penekanan nama di atas bukan pada kata atau lafalnya, tetapi makna atau artinya. Artinya, diambil dari bahasa apapun suatu nama, asal artinya bagus dan baik juga dianjurkan. Karena itu, menurut para ulama, titah Rasulullah SAW dengan nama khas Islam di atas bukan suatu yang wajib, tetapi bersifat anjuran semata. Maka dari itu, pada kasus Salman dan Bilal, Rasulullah SAW tidak mengubah nama keduanya.

Islam adalah identitas atau nama dari suatu agama. Agama yang mengedepankan substansi atau esensi, bukan simbol atau kulitnya. Simbol memang penting, tetapi jika hanya simbol yang dipentingkan itu tiada artinya, tidak sampai pada realitas beragama atau berislam. Seperti bibir yang dibalut lipstik berwarna merah padahal dasarnya adalah hitam. Bahasa al-Qur'annya hanya sekedar kata tapi tidak sampai pada amalnya. Bungkusnya memang bagus tapi isinya jauh dari kata sesuai.

Islam artinya damai. Selain sebagai arti, damai adalah identitas dari agama Islam itu sendiri. Setiap Muslim harus menebar kedamaian sebagai wujud dan identitas keberagamaannya. Membawa kesejukan dan ketenangan dalam agamanya. Pesan damai ini tidak hanya berhenti di kata dan bukan sekedar simbol untuk dipajang. Tetapi pesan damai ini harus menyatu dalam aplikasi, amal, sikap, perilaku, dan tindakan.

Akhirnya, nama dan identitas adalah simbol dan juga hakikat. Agama butuh terhadap simbol sebagai syi'arnya. Tetapi nilai dan ajarannya adalah hakikat yang harus diutamakan. Idealnya, simbol dan hakikat berjalan seimbang. Tetapi apabila hanya salah satunya saja, maka hakikat, esensi, atau substansi yang harus dikedepankan. Islam bukan simbol tetapi tentang ajaran. Islam simbol adalah “Islam KTP” namanya. Identitasnya Islam tetapi aplikasi nilai dan perilakunya bukan Islam. Ini tidak dibenarkan.

Berislam tidak cukup dengan bersyahadat. Berislam harus menegakkan nilai dan esensi syahadat itu. Untuk itu, realitas Islam adalah menegakkan ajarannya yang rahmatan lil alamin sebagaimana Allah SWT mengutus Muhammad SAW tidak lain dan tidak bukan kecuali sebagai rahmat. Wallahu a'lam bis shawab.


*) Pengajar di Darus-Sunnah dan Peneliti di Ali Mustafa Yaqub Institute.