Sudah berpuluh-puluh tahun Gerakan Pemuda Ansor menasarufkan jiwa dan raganya untuk kemajuan bangsa dan negara ini. Namun, rasanya ritme gerakan ini seperti mendapat banyak cobaan dan ujian. Euforia mempertahankan keutuhan bangsa ini dirasa membuat larut dan membuat lupa sehingga tidak sempat memikirkan kemajuan organisasinya sendiri. Meskipun, secara ideal semua tugas harus dijalankan dengan baik dan efektif.
Ada dua masalah besar yang saat ini perlu dipikirkan bersama secara organisatoris supaya pemuda Nahdlatul Ulama ini tidak keropos dari dalam. Pertama, persoalan kaderisasi. Saat ini Ansor memang memiliki jutaan anggota dari tingkatan pusat hingga tingkatan ranting yang didominasi oleh pemuda-pemuda desa. Namun pertanyaan besarnya: apakah mereka mengerti nawacita perjuangan Ansor? Apakah mereka tahu apa yang menjadi tantangan Ansor? Saya yakin lebih dari setengahnya hanya pasukan penggembira yang puas di tataran ikut menjalankan amaliah yang sudah terbangun selama ini.
Tidak mudah memang memberikan pemahaman menyeluruh kepada semua anggota, apalagi untuk dipaksa paham dengan gerakan yang dilakukan Ansor. Terlebih dinamika yang terjadi akhir-akhir ini justru seringkali membuat kita melahirkan berbagai penyikapan atas peliknya persoalan bangsa dan perpolitikan indonesia yang terjadi. Terjadi kontroversi jelas. Contohnya, kasus “penistaan agama oleh Ahok”, kasus tuduhan kebohongan kepada Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin, deklarasi khilafah, bahtsul masa’il kiai muda, dan lain sebagainya.
Kontroversi atas penyikapan tersebut justru menjadi bumerang bagi internal Ansor sendiri, karena berbagai pendapat tentang pro dan kontra penyikapan malah melahirkan ketidakpercayaan pada pimpinan. Bayangkan, mayoritas kader yang mapan secara ideologi saja bisa terjadi ketidaksepahaman, apalagi yang sama sekali tidak pernah mendapatkan bekal dalam forum-forum ideologisasi. Lagi-lagi ini persoalan pengaderan.
Hal ini harus disikapi serius untuk semua pimpinan Ansor di semua level, paling tidak harus mewajibkan semua pengurusnya untuk mengikuti Pelatihan Kader Dasar, Diklatsar, DKD, DTD ataupun jenjang pengaderan dasar lainnya. Sebab dari sinilah semangat harakah perjuangan terlahirkan. Kalau saja ada kader yang aktif namun belum mapan secara ideologi maka kemungkinan besar akan kehilangan ruh perjuangan karena tidak tahu dimana posisi Ansor dan siapa lawan dan nilai yang diperjuangkan.
Kedua, Masalah perekonomian. Dari dulu sektor ini memang menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi para pengurus Ansor, meskipun sudah diwajibkan semua level kepengurusan harus memiliki amal usaha untuk menopang kemandirian organisasi, namun karena berbagai keterbatasan dan wawasan terkadang hal ini hanya berhenti di tataran wacana.
Sebab, kalau wadah perjuangan belum mandiri secara organisasi maka untuk sekedar melaksanakan kegiatan saja kita akan terus meminta dan mengemis dari orang lain. Iya, kalau yang dimintai orang NU sendiri, la kalau sudah orang diluar NU yang ingin mendekte, atau yang memiliki hasrat politik yang tinggi dan berorientasi kekuasaan. Apa hal ini tidak justru membuat Ansor kerdil dan tidak bermartabat lagi.
Bayangkan, jika setiap level kepengurusan minimal sampai level Pengurus Anak Cabang (PAC) sudah tertata ekonominya, upaya untuk memaksimalkan pengaderan, dakwah dan amar makruf pun akan bisa lebih fokus dijalankan, sebab satu perrsoalan besarnya sudah teratasi.
Menyadarkan Pemerintah dan Swasta
Pemerintah yang sejatinya menjadi pihak yang berwenang mengelola dan mengatur kebijakan harus dipahamkan secara historis tentang perjuangan bangsa sebelum kemerdekaan, berapa ratus ribu santri yang rela melawan pasukan penjajah dengan senjata lengkap, siapa pemudanya. Harusnya mereka tahu bahwa Ansor dan kaum Nahdliyin punya andil besar dalam upaya merebut kemerdekaan dari penjajahan asing. Mereka pun juga harus mengetahui jika pada tahun 1965 negara berada dalam ancaman gerakan PKI, banyak ulama hilang, banyak tentara dibunuh. Siapa yang paling depan berteriak dan melakukan perlawanan? Ansor!
Apakah hal ini kurang cukup untuk membuat mata kita terbuka atas andil yang dilakukan pemuda Nahdliyin kala itu, apalagi yang kurang. Satu lagi, saat sebagian golongan berupaya membuat gerakan protes yang melahirkan upaya makar kekuasaan, kami Ansor lebih memilih untuk menyikapi secara dingin, justru kita bersepakat untuk berikrar di seluruh penjuru daerah untuk menyatakan secara jiwa dan raga siap untuk bela negara.
Bukan ingin pamrih atau apapun, tapi mestinya pemerintah harus memikirkan organisasi perjuangan yang punya tekad kuat untuk membela keutuhan bangsa dan negara, terlebih yang fokus untuk menjaga kedaulatan pancasila. Artinya, pemerintah harus membuat program tentang ekonomi berbasis kepemudaan yang menjangkau ranah organisasi seperti halnya mempermudah perijinan usaha dibidang tertentu, atau ada program stimulan untuk BMT seluruh penjuru, atau mungkin bermufakat untuk membuat undang-undang yang mengamanatkan pemerintah daerah untuk membantu mewujudkan kemandirian organisasi kepemudaan. Paling tidak, ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperhatikan komponen-komponen organisasi perjuangan di tanah air.
Dari sisi swasta pun harus disadarkan atas kondisi ini, kalau bisa ada mandat terpusat dari pemerintah yang mewajibkan swasta untuk memaksimalkan pada sendi perekonomian yang ada dalam organisasi kepemudaan di wilayahnya beroperasi. Saya yakin, melalui Corporate Social Responsibility (CSR) atau dengan cara yang lainya yang diatur sedemikian rupa akan dapat meningkatkan pembangunan ekonomi kepemudaan secara masif. Kalau masih ada yang tanya kenapa pemuda, ya jelas dalilnya, maju tidaknya sebuah negara tergantung dari pemudanya. Semakin banyak pemuda yang mandiri maka akan semakin kuat sebuah bangsa. Hal ini selaras dengan pernyataan, kuatnya organisasi Ansor menunjukkan sebarapa kuat indonesia dimata dunia.
Mengonsolidasi Alumni
Selain kewajiban pemerintah, alumni sebagai senior perjuangan juga harus berfikit tentang keberlanjutan gerakan Ansor agar segala yang diperjuangkan di masanya tidak hilang begitu saja. Terlebih di semua organisasi pengaderan mengalami kesulitan dalam mentransisikan perjuangan dari periode sebelumnya ke periode berikutnya. Sehingga tak ayal apa yang diperjuangkan dengan kucuran keringat hilang dalam hitungan detik karena dikelola oleh orang yang berbeda dan tidak menguasainya.
Inilah salah satu tugas alumni, yakni menjadi kontrol bagi penerusnya dan mengambil peran perjuangan dengan melakukan dukungan baik materiil maupunn gagasan-gagasan. Secara kongkretnya, alumni bisa menginisiasi lahinrya usaha perekonomian di Ansor dan bisa masuk didalamnya sebagai penyeimbang, telebih bisa melakukan investasi demi kejayaan ekonomi organisasi. Kalau semua alumni melakukan gerakan dan peran terukur maka Ansor sekarang dan yang akan datang sudah tidak bicara kesulitan ekonomi atau kebingungan untuk menopang kegiatan namun bisa lebih fokus untuk urusan strategi perjuangan dan pemberdayaan pemuda demi tercapainya nawacita GP Ansor dan Nahdlatul Ulama khususnya.
Penulis adalah Ketua Pengurus Anak Cabang (PAC) GP Ansor Kecamatan GAYAM Kabupaten Bojonegoro-Jawa Timur
Terpopuler
1
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Tetap Gelar Aksi, Tuntut Mundur Bupati Sudewo
2
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
3
Harlah Ke-81 Gus Mus, Ketua PBNU: Sosok Guru Bangsa yang Meneladankan
4
Obat bagi Jiwa yang Kesepian
5
Innalillahi, A'wan Syuriyah PWNU Jabar KH Awan Sanusi Wafat
6
RMINU Jakarta Komitmen Bentuk Kader Antitawuran dengan Penguatan Karakter
Terkini
Lihat Semua