Oleh Hamzah Sahal
Hampir dua jam mencari catatan hasil obrolan dengan KH Aziz Masyhuri yang wafat Sabtu (15/4/2017) siang. Di sela-sela acara peluncuran kembali buku KH Abdul Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar (2012?) di Jakarta, Almaghfurlah pernah cerita kepada penulis tentang penyusunan hasil bahtsul masail yang ia lakukan.
Salah satu obrolan dengan beliau adalah mengenai Ahkamul Fuqoha, nama buku berisi kompilasi hasil bahtsul masail Muktamar NU. Kiai Aziz dalam obrolan itu menyebut beberapa nama, antara lain Kiai Ali Maksum, Kiai Abdul Hamid Kendal, dan Kiai Sahal. Sayang, catatan belum saya temukan, sehingga poin-poin penting pembicaraan tidak bisa penulis sampaikan di sini.
Kiai kita ini punya peran sentral dalam tradisi bahtsul masail di NU. Sentral bukan karena beliau terkenal sebagai "vokalis", menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik seputar agama sebagaimana almagfurlah Kiai Sahal Mahfudh, almagfurlah Kiai Irfan Zidni, Kiai Ma'ruf Amin, Kiai Masdar F Mas'udi, Kiai Malik Madani, Kiai Afifuddin Muhajir, atau kiai muda yang hari ini sedang moncer, Pak Ishom dari Lampung, tapi karena jasanya mungumpulkan dokumen-dokumen tradisi musyawarah keagamaan dari mulai keputusan-keputusan NU di awal berdirinya tahun 1926 hingga hasil Muktamar NU Makassar 2010.
Penulis sering berjumpa Kiai Aziz di perpustakaan lantai dua Gedung PBNU, bukan di meja diskusi lengkap dengan mikrofon di depannya. Jika tidak salah ingat, jumpa pertama kali sewaktu asrama kami di Krapyak rihlah ke Jawa Timur. Di sanalah, kalau tidak salah ingat lagi, memandang wajahnya untuk pertama kali, selepas Subuh di kediamannya, Denanyar, Jombang, sekitar tahun 1999.
Namun, namanya sering penulis baca di Majalah Santri, Aula, dan satu tabloid legendaris yang diterbitkan PBNU, yang namanya tiba-tiba penulis lupa. Nama Kiai Aziz Masyhuri biasanya berdampingan dengan penyebutan Kiai Imron Hamzah, Kiai Irfan Zidni, dan Kiai Ali Haidar.
Namun di sisi lain, sosoknya bukan kiai atau tokoh yang kehadirannya membuat kerumunan bubar lalu antri untuk diciumi tangannya. Kiai Aziz bukan selebriti. Badannya yang gemuk tidak juga berhasil membuat orang mengenalinya.
Kiai Aziz sepertinya memang orang yang bekerja dalam diam, meski pernah menjadi ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI, asosiasi pesantren dilingkungan NU), yang waktu itu ngetop karena Munasnya di Probolinggo dihadiri Presiden Soeharto.
Kiai Aziz, kalau menurut Kiai Idham Chalid, tipe pekerja dengan metode "tukang copet", gesit, hati-hati, beresiko, tapi diam-diam, tidak berisik. Tidak banyak orang mengerti persiapannya, prosesanya, kendalanya. Orangnya memang juga hemat bicara. Namun khalayak ramai, umat, merasakan faedahnya.
Buku atau kitab Ahkamul Fuqoha bukan satu-satu amal jariyah yang ia berikan, tetapi beliau juga menelusuri, menulis, dan menerbitkan biografi banyak ulama. Tentu saja beliau mengasuh pesantren. Kiprahnya dalam mendinamisasi pesantren melalui RMI juga belum tergantikan.
Pokoknya, pakai pokoknya, beliau pribadi istimewa, pakai sekali. Dan jangan lupa, nama beliau sepi dari kontroversi jagat politik di republik NU. Banyak tokoh yang penulis temui, saat menyebut nama Kiai Aziz Masyhuri, selalu saja kebaikan yang muncul. Namun, sayang seribu sayang, namanya belum masuk Ensiklopedia Nahdlatul Ulama.
Penulis adalah Koordinator Departemen Media dan Data RMI PBNU.