Opini

Apa Pun, Cinta itu Milik Allah

Sab, 27 Mei 2017 | 08:00 WIB

Oleh KH Abd Nashir Fattah

Ketertarikan lelaki kepada wanita itu sudah tercipta dan terbentuk semenjak manusia itu masih berada di Surga. Saat itu, Allah SWT menempatkan abul basyar, Adam ‘alaihissalâm di Surga. Dia sendirian. Dia berjalan ke sana kemari tanpa ada yang menemani. Akhirnya dia tertidur. Pada saat dia tidur, Allah SWT menciptakan Hawa dari tulung rusuk pendek Adam sebelah kiri. Ketika terbangun dari tidurnya, dia melihat di sampingnya ada seorang wanita. Dia tertarik (dan hendak menyentuhnya). Kemudian Malaikat menegurnya: "Wahai Adam, tidak boleh (engkau menyentuhnya), sebelum engkau menyerahkan maharnya terlebih dahulu."

Adam ‘alaihissalâm bertanya: "Apa maharnya?" Malaikat menjawab: "(Maharnya adalah) membaca shalawat kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam sebanyak tiga atau dua puluh kali."

Allah Swt berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآب

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaannya kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (Q.S. al Imran: 14)

Dalam kehidupan di dunia ini, manusia dihiasi dengan beraneka macam perhiasan, kenikmatan dan segala hal yang diingini, disenangi, dan dicintai. Namun yang pertama kali disebutkan oleh Allah subhanahu wata‘âlâ berkaitan dengan perhiasan ini adalah "wanita", hal ini dikarenakan fitnah (ujian, red) yang ditimbulkannya lebih berat dan dahsyat dibandingkan yang lainnya.

Baginda Rasul Saw bersabda:

 «مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً عَلَى أُمَّتِي أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ» [مسند ابن أبي شيبة، ج1 ص120

"Tidak aku tinggalkan atas umatku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi lelaki selain wanita.”

Meskipun demikian, jika seorang lelaki menikahi wanita dengan tujuan agar dirinya terhindar dari perbuatan zina dan bermaksud untuk mempunyai banyak keturunan, maka hal yang demikian ini adalah dianjurkan, disunnatkan bahkan bisa jadi wajib hukumnya, sebagaimana banyak hadits yang menunjukkan, menjelaskan, dan menganjurkan hal tersebut.

Abdullah Ibnu Mas'ud Ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda kepada kami:

 [شَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»[رواه البخاري في صحيحه: ج7 ص3، ومسلم في صحيحه: ج2 ص1082

"Wahai anak-anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu berkeluarga hendaknya dia nikah, karena nikah itu dapat menundukkan (memejamkan) mata dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu nikah, hendaknya dia berpuasa, sebab puasa itu dapat mengendalikannya.”

Anas Ibnu Malik RA berkata: Rasulullah memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda:

 [تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [رواه البيهقي في "السنن الكبرى"، ج7 ص131

"Nikahilah perempuan yang penyanyang dan subur, sebab aku akan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak, di hadapan para Nabi besuk pada hari kiamat.”

Allah SWT menetapkan dan memberlakukan Syariat Islam itu pasti sejalan dengan fithrah manusia. Manusia mempunyai fithrah mencintai dan dicintai oleh lawan jenisnya. Untuk menyalurkannya, Allah SWT mensyariatkan pernikahan.

Dengan cinta kasih, pernikahan menjadi lebih indah, tenteram dan memberikan rasa tenang bagi keduanya. Apalagi cinta yang mendalam merupakan salah satu kekuatan yang bisa melanggengkan hubungan (mu’asyarah) antara seorang lelaki dengan wanita dalam mengarungi kehidupannya berumah tangga.

Seorang mukmin, baik lelaki maupun wanita, sesempurna dan setinggi apa pun ke imanannya, setinggi apa pun tingkat keshalehannya, dia tetaplah manusia biasa. Sifat-sifat kemanusiaanya tetap melekat kepadanya. Dia bisa memiliki cinta kasih yang mendalam dan tulus. Dia bisa memiliki rasa rindu yang sangat akan hadirnya seorang pendamping hidup yang dicintai dan mencintainya sepenuh hati. Dia bisa mempunyai keinginan untuk mendapatkan pendamping yang saling memahami dan mengerti kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Karena itu, seorang lelaki shalih dan wanita shalihah tidak akan sembarangan dalam memilih pendamping hidupnya, meski mengatasnamakan "cinta" yang fithri. Sebab di atas "cinta" yang fitri, masih ada cinta yang lebih tinggi dan agung yang patut dijadikan pertimbangan utama, yaitu cinta kepada Allah SWT, Rasul-Nya dan berjuang di jalan-Nya.

Cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya akan mendorong seseorang untuk menyandarkan segala pilihan calon pendampingnya diatas ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Termasuk dalam hal ini adalah pilihan untuk menentukan lelaki atau wanita yang mana, yang bagaimana dan yang seperti apa yang akan dijadikan pendamping hidupnya. Semuanya akan dia sandarkan kepada ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Tidak cukup dengan hanya didasarkan pada, atau bermodal "cinta" yang sifatnya fitri.

"Cinta" itu bisa datang dan pergi, kepada siapa saja, dari siapa saja, kapan saja dan di mana saja, karena memang "cinta" itu adalah milik Allah SWT. Karenanya, baginda Rasulullah SAW berdoa:

 «اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تُؤَاخِذْنِيْ فِيْمَا لاَ أَمْلِكُ»

"Ya Allah, inilah qasmi (menggilirku) dalam hal-hal yang aku miliki, maka jangan Engkau siksa aku dalam hal-hal yang tidak aku miliki.”

Dalam riwayat yang lain:

 اللَّهُمَّ هَذِه قِسْمَتي فِيمَا أمِلكُ، فَلَا تَلُمْنِيْ فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ
 
"Ya Allah, inilah qismah-ku (menggilirku) dalam hal-hal yang aku miliki, maka jangan Engkau cela aku dalam hal-hal yang Engkau miliki dan (hal-hal yang) tidak aku miliki.”

Yang dimaksud dengan "Dalam hal-hal yang tidak aku miliki" adalah "cinta dan kecenderungan yang lebih kepada salah satu istri-istri Rasulullah SAW", demikian kata Imam as Suyuthi. Wallahu a'lam bisshawab.


Penulis adalah Rais Syuriyah PCNU Jombang