Opini

Aceh dan Keislaman di Nusantara

NU Online  ·  Selasa, 25 September 2018 | 23:30 WIB

Oleh Ahmad Rifaldi 

Tulisan ini adalah hasil survei saya dalam beberapa hari kunjungan ke Aceh dalam rangka observasi ilmiah situs kesejarahan. Di sana saya banyak menemukan pengetahuan dan wawasan tentang perkembangan Aceh dari berbagai perspektif. Dengan begitu saya dapat mengetahui bahwa Aceh memiliki kebudayaan yang besar dan juga Aceh sangat berkontribusi terhadap Perkembangan Islam di Indonesia. Sehingga saya dapat megetahui tipologi Islam Nusantara yang memadukan antara budaya dengan syariat Islam lebih dalam. 

Aceh itu memiliki kebudayaan yang sangat besar, terutama Islam. Dari aspek historis, Aceh merupakan bagian dari masa kejayaan Islam di Nusantara. Menurut beberapa pakar sejarah, Islam sudah ada di Nusantara pada abad ke-7 dan mulai berkembang pada abad ke-13 M. 

Dalam buku A History of Modern Indonesia karangan M.C Ricklefs dijelaskan bahwa Islam sudah mulai ada di perairan Asia Tenggara pada masa Sayidina Utsman bin Affan (644-656 M.). Pada masa itu, utusan-utusan muslim dari Tanah Arab mulai tiba di istana Cina. Setidaknya pada abad ke-9 sudah ada ribuan pedagang muslim di Kanton (Tiongkok). Bukti umat Islam sudah ada di Cina adalah adanya makam sahabat bernama Sa'ad bin Abi Waqosh. Kontak-kontak antara Cina dan dunia Islam itu terpelihara terutama lewat jalur laut melalui perairan Indonesia. Hubungan para pelaut Arab di Nusantara di awali dengan urusan perdagangan dengan Kerajaan Sriwijaya di Palembang yang beragama Budha (akhir abad ke-7). Pada pertengahan abad ke-12, utusan-utusan dari Sriwijaya yang ke Cina sudah memiliki nama Arab. 

Menurut pakar sejarah, Kesultanan pertama di Aceh yaitu Kesultanan Peurlak (Abad ke-8). Kesultanan ini bermazhab Syiah. Baru setelah keturunan terakhir kesultanan Peurlak menikah dengan Sultan Samudera Pasai (abad ke-13), mazhab Sunni mulai berkembang. Akan tetapi, ketika saya mewawancarai kuncen pemakaman Sultan Malikussaleh atau Merah Silu, Sultan pertama Kerajaan Samudera Pasai, bernama Tengku Ahmad Yus, ia tidak setuju dengan argumen tentang keberadaan kesultanan Peurlak sebagai kerajaan. Karena sampai sekarang belum ada bukti arkeologis seperti batu prasasti, batu nisan dan lain-lain yang memastikan itu adalah kerajaan. Ia menganggap Peurlak itu hanya daerah yang di dalamnya ada tokoh Agama yang sangat dihormati.

Dari sini kita menemukan sebuah kesimpulan bahwa munculnya Islam di Nusantara diimpor melalui beberapa bangsa yang berbeda, yakni bangsa Arab, Cina, dan India (Persia). Ketiga poros ini yang telah memeluk Islam dan memilih tinggal di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sehingga menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya. 

Perkembangan Islam di Aceh terus meningkat hingga penyebaran Islamnya sampai sekarang kita rasakan di Jawa, yaitu melalui para wali-wali yang kita sebut Wali Songo, bahkan sampai ke Brunei Darussalam dan Patani di Thailand. Aceh berhasil menduduki kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha, dan dari Jawa melalui Wali Songo berhasil menduduki Majapahit yang beragama Hindu. Peradaban Islam di Nusantara banyak melahirkan para ulama dan cendekiawan muslim yang menggema dunia Islam. Maka dari itu, Dunia Islam pada saat itu sangat kaget dengan kebesaran Islam di Nusantara meskipun jauh dari Makkah namun bisa membentuk peradaban Islam skala besar dan disebarkan lebih banyak melalui dakwah sufistik ketimbang bentrok fisik.

Selain perkembangan Islam, Nusantara (termasuk Aceh) juga menjadi sasaran bangsa Eropa dengan kekayaan alamnya, terutama rempah-rempah. Pada abad ke-16 Portugis melalui selat Malaka datang ke Aceh, tujuan Utamanya untuk kerjasama perdagangan. Belanda datang sekitar tahun 1602 di pesisir laut Banten dengan tujuan yang sama. Namun semakin lama, tanduk hitam para Eropa mulai terlihat. Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris memiliki sejarahnya sendiri dalam upayanya menguasai Nusantara.

Dari aspek historis kita dapat menyimpulkan bahwa Aceh memiliki kebudayaan multikultural. Perpaduan elemen budaya dari Arab, Cina, Eropa, India menghasilkan kebudayaan yang unik. Salah satu contohnya adalah masjid, masjid-masjid di Aceh ini secara arsitektural lebih mirip dengan Taj Mahal di India, seperti masjid Baiturrahman yang menjadi simbol Banda Aceh sendiri, bangunannya sangat mirip dengan Taj Mahal. Selain itu, masyarakat Aceh itu dikenal multietnis. Salah satu contohnya yang terdapat di Kampung Meulaboh, masyarakat lokal di sana itu berkulit putih, bermata biru dan berambut pirang. Ternyata asal-usulnya adalah mereka merupakan keturunan bangsa Eropa yang menikah dengan penduduk setempat. Lalu sebagian kampung lagi ada yang keturunan Arab, India, dan Cina. Dengan keragaman seperti itu, maka menjadi asal-usul nama Aceh itu sendiri, berarti Arab, Cina, Eropa, Hindi (Aceh).

Selain itu, dari SDA (sumber daya alam) di Aceh juga sangat kaya, bahkan ada yang mengatakan bahwa Indonesia tanpa adanya Aceh itu tidak akan punya kekuatan. Karena SDA berupa minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya terdapat salah satunya di Aceh. Sehingga dapat dikatakan bahwa Aceh itu kaya secara SDA dan SDM (sumber daya manusia).

Lalu apakah Aceh pada kondisi seperti ini masih kental dengan keislamannya?

Menurut saya, secara adat dan budaya, Aceh masih merefleksi suasana Islam. Walaupun dari segi penataan kota sudah lebih modern dan dari sebgian masyarakatnya juga ada yang tidak merepresentasikan ciri muslim saleh, akan tetapi figur keislaman di sini tetap kuat, terutama dalam kontrol sosial. Meskipun identifikasi keislamannya agak berbeda dengan yang ada di Jawa.

Menurut salah satu warga Lhoksukon Kabupaten Aceh, setiap subuh di kampung ini selalu ada warga yang berkeliling rumah untuk membangunkan subuh. Dan menurut warga Banda Aceh, setiap setengah jam sebelum dan sesudah sholat, warga Banda Aceh yang berdagang akan menutup tempat dagangnya sementara untuk melaksanakan sholat, bahkan para pedagang non-Muslim pun ikut menutup tempat dagangnya demi menghormati warga Muslim yang sedang melaksanakan shalat.

Selain itu, saya juga sering melihat spanduk yang biasa dipasang sebagai simbol untuk memperkuat nkri selalu disandingkan dengan label kekuatan Islam. Baik kepolisian, caleg, dan aparatur lain juga melakukan seperti itu. Maka dari itu, Aceh memang layak disebut Serambi Makkah, karena mempunyai kekuatan Islam yang tinggi, baik dari sejarah dan hukum yang kini masih representasi syariat islam.

Akan tetapi meskipun Islam kuat di Aceh, hal itu tidak menutupi kurangnya pelanggaran kriminalitas. Di Aceh juga banyak bandar atau mafia narkoba, terutama sabu dan ganja. Narkoba ini utamanya adalah koneksi dari mafia luar negeri. Seperti pada beberapa minggu terakhir terdapat berita tentang seorang kakek yang tertangkap karena menjadi bandar sabu. Alasan utamanya karena butuh uang untuk pernikahan anaknya sebesar 30 juta rupiah. Selain itu, para anggota pemerintahan yang tertangkap korupsi juga terdapat di Aceh. Seperti Gubernur Banda Aceh Irwandi Yusuf yang ditetapkan KPK sebagai tersangka pada Juli 2018 karena diduga menerima suap dari Bupati Bener Meriah Ahmadi. Artinya, kriminalitas itu bukan di ukur dari sebuah sistem, tapi dari segi mental perindividu. Mau negaranya Islam sekali pun jika memang mentalitas yang dibangun secara individual itu buruk, tetap akan timbul kejahatan.

Keunikan dari peristiwa Tsunami di Aceh tahun 2004.

Hal selanjutnya yang merupakan bagian terpenting dari Aceh adalah peristiwa Tsunami tahun 2004. Dari peristiwa ini, kita akan menemukan berbagai macam keunikan yang terjadi di Aceh. 

Sebelum dilanda Tsunami, kondisi Aceh sedang krisis. Salah satunya adalah konflik antara TNI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). GAM ini adalah sebuah gerakan demonstrasi skala besar yang menginginkan Aceh lepas dari Indonesia. Pada masa Orde Baru, kekuatan SDA di Aceh banyak diambil untuk kepentingan politis. Salah satunya kepentingan asing. Kendati kepentingannya itu beragam, karena kondisi Indonesia pada saat itu sangat memprihatinkan. Jadi banyak SDA di Aceh digunakan untuk menutup kekurangan daerah-daerah Indonesia lainnya yang sedang melemah.

GAM merasa dikhianati oleh negaranya sendiri. Aceh yang kaya dengankualitas Alamnya tidak memberi keuntungan untuk warganya sendiri. Dengan maraknya isu-isu negatif yang berkembang saat itu sehingga timbul konflik dalam negeri yang berujung pada bentrok fisik antara TNI dan GAM. 

Uniknya setelah tsunami, antara GAM dan TNI gencatan senjata, melakukan kontrak perjanjian sebagai penyelesaian konflik, GAM berdamai dengan pemerintah dan mengakui NKRI sebagai satu-satunya Negara.

Selain itu, kondisi Aceh yang mengalami krisis sebelumnya, setelah tsunami 2004, Aceh mulai berkembang lebih maju, di antaranya meningkat secara ekonomi dan populasi. Padahal, sekitar 170.000 korban tsunami dan banyaknya daerah-daerah Aceh yang hancur saat tsunami. Di antara kemajuannya adalah Aceh semakin banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik lokal maupun asing. Tercatat menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh bahwa pada Juli 2018 pengunjung internasional yang datang dari bandara Sultan Iskandar Muda sekitar 8.283 orang. Terjadi peningkatan 14,29 persen dibanding bulan sebelumnya.

Kejadian unik dari segi spiritual juga ditemukan di berbagai tempat, teutama tempat ibadah. Ada beberapa masjid yang masih utuh kondisinya walaupun dilanda Tsunami seperti Masjid Baiturrahman dan Masjid Rahmatullah yang posisinya dekat dengan pesisir pantai.

Selain masjid, terdapat juga makam wali yang ketika dilanda tsunami pemakaman tersebut tidak rusak, bahkan batu nisan dan pondasi kerandanya itu masih menancap padahal makam itu berada di pesisir pantai berjarak kurang dari 50 meter dengan laut. Wali tersebut adalah Syekh Syiah Kuala atau mayoritas dikenal dengan Syekh Abdurrauf Singkili. Ia lahir di Singkil tahun 1615 M dan wafat di Kuala tahun 1693. Ia merupakan ulama produktif menghasilkan banyak karya serta termasuk tokoh yang mengembangkan ajaran Tarekat Syattariyah. Salah satu muridnya yaitu Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya. Sampai sekarang, karya-karyanya masih masyhur dan manuskrip aslinya menjadi penelitian para filolog.

Inti dari keunikan ini adalah pembuktian hasil dari kekuasaan Tuhan. Itulah keunikan yang Tuhan berikan dengan metode yang paling sempurna tanpa teoritis dan konseptual.